Berita Kehilangan

97 25 8
                                    

"Iya. Dulu aku mana paham. Aku baru tahu maksudnya setelah dia udah enggak ada...."

Tanpa sadar, aku menahan napas. Jika kamu sendiri menyadari Bang Adhy tak pernah kembali sejak kerusuhan 12 Mei 1998 dan mungkin saja tewas dibunuh akibat penculikan paksa, kenapa Om Galang tidak bersikap demikian, Alam?

Aku dihadapkan pada realita bahwa sosok renta itu ternyata hidup di dunia pararel yang berisi dirinya, kamu, serta Bang Adhy. Beliau menolak mentah-mentah kenyataan bahwa anak sulungnya kemungkinan besar telah tewas setelah diculik paksa, disekap, dan disiksa tanpa rasa kemanusiaan. Kini, 21 tahun sudah reformasi, selama itu pula Om Galang masih hidup dalam bayang-bayang penyangkalan. Beliau selalu beranggapan,

Pemimpin Adhyaksa tidak pernah mati. Dia masih hidup, hanya saja sedang berada di suatu tempat aman yang jauh dari pantuan intel dan aparat. Dia masih menjadi anak sulung kesayangannya. Besar kemungkinan, dia juga akan pulang ke rumah seperti biasa, mengutak-atik pemilihan diksi dan gaya bahasa dari koran-koran harian di teras rumah selama berjam-jam.

Maka dari itu, Om Galang selalu bertanya dengan binar penuh harap. "Alam, Bang Adhy udah pulang belum?"

Aku yakin, benakmu pasti ingin sekali berteriak,

Pak, sadar! Bang Adhy udah tewas. Anak sulung kesayangan Bapak itu udah diculik paksa sejak tahun 1998. Bang Adhy disekap dan disiksa tanpa rasa kemanusiaan. Dia nggak mungkin kembali, Pak. Berhenti hidup dalam bayang-bayang penyangkalan. Keluarlah dari dunia pararel. Hadapi kenyataan bersama. Bapak pikir, cuma Bapak yang terluka atas kepergian Bang Adhy? Alam juga. Selain kehilangan Ibu, Bang Adhy, Alam juga kehilangan Bapak.

"Raya."

Aku seketika tersadar dari lamunan. Dengan cepat, aku menoleh ke sumber suara lalu mendapati sosokmu yang beranjak dari tepi ranjang. Alisku sontak berkedut.

Kamu berjalan melintasi meja belajar menuju rak buku di dekat lemari pakaian. Indra pengelihatanku awas memerhatikan gerakanmu yang mengambil sebuah buku bersampul merah dengan foto seorang pemuda. Kamu memandangi buku tersebut lama. Begitu lekat. Kemudian, menghela napas panjang seraya kembali mendaratkan tubuh persis di sebelahku.

"Di ulang tahunku yang keenam sekaligus terakhir bersama Bang Adhy, dia ngasih kado ini, Ya." Kamu mengulurkan buku tersebut kepadaku.

Aku lantas menerimanya. Lalu, membaca judulnya.

Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie.

Mataku terbeliak menatapmu dengan buku itu secara bergantian. "Serius? Buku pemikiran pergolakan mahasiswa ini dikasih ke anak usia enam tahun?"

Kamu tertawa renyah seraya membenarkan. "Iya, serius. Abangku itu emang out of the box dan unpredictable. Tapi, setelah kupikir-pikir, Bang Adhy pasti punya maksud tersendiri kenapa ngasih buku ini. Begonya, aku baru tahu setelah kelas 5 SD. Telat, ya?"

Aku menggeleng lirih. "Nggak ada yang terlambat dalam mengungkapkan sebuah kebenaran, Kak."

Kamu menghela napas berat seraya memandangi atap kamar. Menghalau kristal bening yang menumpuk di kelopak mata.

"Aku nggak akan pernah lupa, Ya, kejadian malam itu. Tepat saat ulang tahunku yang keenam dan Bang Adhy memberikan hadiah buku Catatan Seorang Demonstran." Selepas mengatakan hal tersebut, kamu kembali menatapku.
Kita beradu pandang dalam waktu cukup lama. Sorot matamu yang penuh keputusasaan, membuat dadaku sesak seakan dihimpit sebongkah batu raksasa.

"Kamu tahu nggak berapa tanggal ulang tahunku?"

Aku tahu, Alam. Aku tahu. Aku hafal tanggal ulang tahunmu di luar kepala karena setiap kali dirimu bertambah usia, anak-anak BEM FISIP akan dengan heboh merayakannya di pendopo ruang publik dekat FIB. "Tanggal 11 Mei."

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang