Pengharapan Tak Berujung

126 28 0
                                    

Setelah menekan dalam-dalam perasaanku agar tak terlalu berharap kepadamu, dengan menyebalkan semesta justru kembali menciptakan skenario pertemuan kita seminggu yang lalu setelah peristiwa drama teatrikal RIP KPK melalui sebuah kebetulan tak terduga.

Kala itu, aku tengah memilah-milah novel di bagian paling belakang rak toko buku Terminal Senen. Aku, kamu, dan kita semua tahu jika toko buku Terminal Senen adalah surganya para pencari buku-buku bekas original dengan harga terjangkau. Indra pengelihatanku tergelitik tatkala tanpa sengaja membaca buku fiksi sejarah berjudul A Tale of Two Cities karya Charles Dickens. Astaga! Itu buku sastra klasik Eropa yang dulu kerapkali diceritakan Bapak dengan gaya bahasanya sendiri ketika aku duduk di kelas 4 SD. Segera saja aku berjinjit untuk meraih buku usang tersebut. Walau warnanya telah kekuningan dan berbau sedikit apak, tetapi tidak memudarkan susunan kalimat di dalamnya. Tulisannya masih terbaca jelas.

Setelah mendapatkannya dengan sedikit perjuangan, aku mulai membolak-balik A Tale of Two Cities. Membacanya sekilas di paragraf pertama. Hingga tanpa sadar, terdengar derap langkah sepatu kets yang beradu dengan lantai sedang berjalan ke arah kumpulan rak fiksi sejarah. Lalu, kembali hening. Suara itu tak terdengar lagi. Namun, rak buku di hadapanku bergetar samar akibat sandaran tubuh seseorang yang kuduga berasal dari derap langkah barusan.

Dahiku refleks mengerut. Namun, aku tak mau ambil pusing. Atensiku tak beralih dari novel Charles Dickens tanpa sedikit pun tertarik untuk mengatahui siapa seseorang yang bersandar pada rak buku fiksi sejarah.

"Dari pertemuan pertama, lo selalu apatis sama keadaan sekitar, ya."

Aku sontak terkesiap. Jantungku seolah melorot dari tempatnya. Mataku terbelalak menyadari celetukan itu berasal dari seorang pemuda jangkung yang sedang melipat kedua lengan di depan dada sembari menatapku lekat-lekat. Pemuda tersebut dipeluk jaket denim hitam serta jeans belel andalan. Rambut hitam legam yang nyaris menutupi telinga itu tampak acak-acakan seperti tak pernah disisir satu tahun.

Dalam sekali sentakan, kututup buku A Tale of Two Cities. Aliran darahku tiba-tiba berdesir hebat, kedua pipiku terasa memanas. Kegugupan kembali menyerangku. Aku ingin mengucap barang sepatah dua kata, tetapi bibirku terlalu kelu untuk memulai pembicaraan. Seolah semua kalimat yang telah kupersiapkan panjang-lebar kembali tertelan ke pangkal lidah. Masalah terbesar seseorang yang memiliki berkepribadian introvert memang kerapkali seperti ini. Tatkala pikiran tengah bekerja keras menyusun kalimat yang tepat, mulut justru berkhianat lantaran kesulitan melontarkan suara. Akhirnya, semua tak lebih kesia-siaan belaka. Bibirku hanya terbuka, kemudian tertutup kembali.

Kamu sontak terkekeh geli tatkala melihatku yang kesulitan berucap. Sialan. Menyadari aku yang segera saja mengalihkan tatapan salah tingkah, tawamu perlahan mereda.

"Lo suka baca novel fiksi sejarah juga?"

"Hah?"

Bodoh, Raya! Kenapa yang keluar justru 'hah'?! Rasanya, aku ingin menceburkan diri ke sungai ciliwung detik itu juga.

"Itu lo baca A Tale of Two Cities. Emangnya, suka novel fiksi sejarah?"

Tergagap, aku pun menjawab, "Iya. Soalnya, kalo aku baca buku non fiksinya kadang suka bikin ngantuk, sih."

Untuk beberapa saat, tawa renyahmu kembali bergema di rak buku paling belakang toko buku bekas Terminal Senen. Kamu mengangguk seraya membalikkan tubuh agar berdiri persis di sebelahku. "Sama. Gue juga suka fiksi-fiksi sejarah. BTW, gue punya novel A Tale of Two Cities di rumah. Mau pinjem, nggak?"

"Makasi, Kak Alam. Tapi, aku udah pernah tau isinya, kok. Tadi cuma pengen nostalgia aja pas jaman-jaman SD waktu Bapak nyeritain isi novel itu pake bahasanya sendiri yang mudah dipahami agar mampu ditangkep anak usia 10 tahun."

"Wow. Serius? Bapak lo nyeritain novel A Tale of Two Cities yang mengambil latar belakang revolusi Prancis pada masa pergolakan antara kelas bawah dengan kelas atas kelompok aristokrat sama anak kelas 4 SD?"

Aku mengangguk, mengiakan. "Itu sebabnya, Kak, aku jadi tertarik buat baca novel-novel fiksi sejarah lain saat kelas 7 SMP dan mengoleksinya."

Kamu berdecak kagum menyadari adanya kesamaan hobi di antara kita.  Sorot matamu mendadak berkilat antusias saat mengaku menyukai novel-novel klasik Eropa terjemahan yang mengambil latar belakang sejarah dunia, atau novel lokal yang mengangkat peristiwa bersejarah di Indonesia.

Aku pikir, mahasiswa jurusan Jurnalistik sepertimu hanya menyukai buku-buku bacaan politik atau isu terkini seputar pemerintahan. Namun, anggapanku salah besar. Kamu justru jauh lebih mengetahui sederet nama sastrawan klasik Eropa dibanding aku yang berasal dari jurusan Sastra Indonesia.

Hal tak terlupakan yang hingga kini masih kuingat saat pertemuan kedua kita di toko buku Terminal Senen ialah saat kita secara bersamaan saling menyahut nama sastrawan Indonesia beserta karya novel fiksi sejarahnya yang membuat terpukau.

"Wajib baca, sih, itu, Ya. Legendaris banget karya-karyanya Pramoedyo Ananta Toer. Tapi, di antara semua novel Pram yang udah gue lahap habis, buatku tetralogi Pulau Buru paling berkesan. Gila sih, itu."

"Iya, bener banget. Selain itu, aku juga suka trilogi Ahmad Tohari. Judulnya, Ronggeng Dukuh Paruk. Mengangkat latar peristiwa pergolakan politik tahun 1960 tentang penghancuran PKI, dan pembantaian simpatisan mereka yang terjadi kemudian." Aku tidak tahu keberanian macam apa yang hinggap di dalam diriku saat membicarakan hal yang kusuka, mulut ini tiba-tiba saja  meledak tanpa bisa dicegah.

"Pernah, dong. Gue udah khatam semua mulai dari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala."

"Kakak punya novel Jantera Bianglala? Boleh pinjem, nggak?"

"Punya." Kamu mengangguk girang layaknya anak kecil yang diberikan permen oleh orangtuanya. "Gampang kalo itu. Besok gue bawain, deh. Gue juga punya karya novel fiksi sejarah lain dari Ahmad Tohari yang judulnya Orang-Orang Proyek dan Bekisar Merah."

"Aku udah baca kalo dua novel itu, Kak."

"Buku-buku Leila S. Chudori nggak kalah keren, lho. Buyah Hamka, Okky Madasari, Eiji Yoshikawa...."

"Seno Gumiro, Kuntowijoyo, Langit Kresna Hariadi, Brahmanto Anindito...."

Lantas, kita pun tertawa menyadari adegan saling sahut itu nama sastrawan Indonesia favorit masing-masing tersebut.

Di sela kekehan lirihmu, kamu pun bertanya, "Lo di sini nyari buku apa?"

Aku menggangkat kedua bahu. "Kalo Kak Alam?"

"Salt to the Sea karya Ruta Sepetys sama A Farawell to Arms punya Ernest Hemingway."

"Aku punya dua buku itu di rumah, Kak. Kalo Kak Laut mau pinjem, besok juga sekalian kubawain."

Obrolan hangat kita di toko buku Terminal Senen mengalir begitu saja mengisi kekongan matahari yang perlahan merangkak ke peraduan. Sejak saat itu, hubungan kita mulai intim. Aku sudah tidak lagi gugup atau canggung berada di dekatmu. Kamu pun demikian. Terlepas dari sosok sangarmu di dalam organisasi dan diskusi-diskusi ilmiah UKM Penalaran, kamu tetaplah Panutan Alam Semesta yang ramah, murah senyum, dan menyenangkan.

Kamu sering menunggu kelasku hingga berakhir lalu kita berdua akan pergi bersama berburu novel-novel fiksi sejarah, atau sekadar berdiskusi mengenai konflik yang diangkat dalam novel di kafe Narchoos.

Alam, satu kalimat yang hingga kini belum sanggup kuucapkan di hadapanmu lantaran terlalu pengecut adalah,

Aku bahagia telah mengenalmu.

•••

Titik TemuWhere stories live. Discover now