Lima: Kita Anggap Impas Ya!

15 4 0
                                    

"Jadi kalian mabuk?" sambil mengelus Woori yang ada di pangkuannya, Wooseok memberikan pertanyaan kepada Seungyoun yang sedang duduk bersila di lantai.

Seungyoun menggeleng. "Tidak. Aku-ah bukan, kami sadar." jawabnya.

"Berarti kamu harus menjelaskan detailnya kepadaku. Seya langsung pergi begitu saja berarti itu bukan hal yang kalian rencanakan untuk terjadi." Wooseok masih berusaha untuk tidak terlalu terlihat antusias dan ingin tahu, walau sebenarnya adalah kebalikannya.

Seungyoun menggelengkan kepalanya, ia benar-benar baru merasa bodoh atas apa yang sudah ia lakukan tadi.

"Lebih tepatnya kami berbagi cerita sebelumnya. Aku bercerita tentang Sejin, tentu saja karena dia bertanya duluan. Kemudian aku bertanya balik tentang mantan pacarnya," Seungyoun menjelaskan semuanya kepada Wooseok tanpa dilebih-lebihkan atau dikurangi sedikit pun. "Dia menangis dan reflek aku menciumnya."

"Wow," hanya itu respon pertama yang Wooseok keluarkan ditambah dengan mimik sangat terkejut yang tercetak di wajahnya. "Reflek mencium dan ... hmm tidak aku rasa kalian terlalu menikmati untuk disebut itu sebuah reflek?"

"Aku bersumpah pertamanya memang reflek dan aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Terima kasih kalau bukan karena suaramu, aku yakin benar kami berdua tidak akan berhenti."

"Jadi kau bukan seorang gay lagi sekarang?"

Seungyoun berdecak. "Jangan bercanda."

Wooseok menggangkat bahunya. "Siapa yang tahu?"

"Sekarang berikan aku nomor Seya agar aku bisa meminta maaf padanya karena kami pasti akan menjadi canggung jika aku tidak segera meminta maaf." Seungyoun mengulurkan ponselnya kepada Wooseok.

Wooseok melirik ponsel Seungyoun dan akhirnya mengalah kepada temannya itu. Sambil mengirimkan nomer Seya ke ponsel Seungyoun ia berkata, "Aku tidak tahu Seya akan memaafkanmu atau tidak tapi semoga beruntung!"

- - - - -

Ponsel Seya berbunyi saat ia sedang mencuci piring. Letak ponselnya sekarang terlalu jauh dan tangannya sudah penuh sabun saat ini. Jika itu telepon penting maka nanti akan berbunyi kembali, jadi ia akan menyelesaikan terlebih dahulu urusan piring-piring kotornya.

Sebuah telepon kembali masuk ke ponsel Seya, bersamaan dengan ia yang sudah selesai mencuci seluruh piring kotornya. "Yaaa, sebentar." Setelah mengeringkan tangannya, ia bergegas mengambil ponselnya.

"Halo Seya, ini Seungyoun."

Tanpa sempat bicara apapun Seya langsung memutuskan sambungan telepon ketika mendengar nama siapa yang disebut. Begitulah Seya, refleknya tidak terlalu bagus jika panik dan ia akan cenderung lari dalam masalah yang sedang ia hadapi.

Diletakkannya kembali ponsel di atas meja, ia menarik kursi yang paling dekat dengan tempatnya dan duduk sambil memegangi kedua pipinya. Jika mendengar nama Seungyoun ia otomatis mengingat kejadian saat di balkon apartemen Wooseok.

Harusnya Seya menampar Seungyoun atau minimal marah pada laki-laki itu, sayangnya tidak bisa karena saat kejadian itu Seya merasa tidak ada yang salah dan ia menikmatinya. Malah yang ada ia merasa malu karena sudah bereaksi seperti itu.

Panggilan telepon kembali masuk ke ponsel Seya namun kali ini dari Wooseok. Seya langsung menerima panggilan itu dan juga langsung menghujani Wooseok dengan kalimat panjang. "Pasti kamu yang memberikan nomorku kan? Kalau menelpon untuk membicarakan temanmu, sambungan ini akan langsung aku tutup."

Hening sebentar, kemudian Seya dapat mendengar suara helaan nafas Wooseok. "Padahal aku hanya ingin bertanya apakah kamu masih hidup? Dan oh bahkan sekarang teleponku tidak disambut dengan sapaan lagi."

AtlasOnde histórias criam vida. Descubra agora