Penerang di Balik Kekelaman

40 3 2
                                    



***** 

Suara hujan lebat lesap seketika waktu telah menunjukkan hampir jam tiga sore. Nampak helaian janur kelapa yang menghiasi tiang-tiang pagar yang dibuat dari batang tebu diikat bersama tombak menari-nari tertiup oleh angin.

Ruangan itu hanya terisi oleh wanita. Mereka semua sedang memandang seorang wanita keturunan banjar kalau berbalut kain kuning basahan yang dibawa untuk duduk di atas kuali yang dibalik. Kuali itu beralaskan anyaman bamban. Dia nampak menunduk sambil memegang kelapa yang baru menunaskan beberapa helai daun yang telah berbalut kain kuning. Dengan gerakan perlahan dia telmpelkan kelapa itu pada perut besarnya.

Bibirnya tersenyum tipis saat menatap Ibunya dan Ibu Mertua, serta lima tetua berkebaya encim dan kakamban bermotif buah manggis yang sedang mengelilinginya. Seorang bidan dalam gerombolan itu menyiramkan air bunga lalu para tetua lainnya saling bergantian membalurkan kasai - bedak dingin – kepada si calon ibu. Setelahnya mereka juga menciduk banyu baya, banyu yasin yang sudah dicampur dengan banyu burdah.

Sang ibu berdoa untuknya, agar lancar saat melahirkan tanpa diganggu roh-roh jahat. Seketika semua wanita yang ada di ruangan itu mengaminkannya. Tak mudah bagi calon ibu itu melaksanakan tian mandaring dengan ekonomi yang dapat dibilang pas-pasan. Karena keturunan dari suaminya yang mengharuskan terjadinya upacara itu. Dengan meyakini jika akan ada rejeki menyambut calon bayi, akhirnya dapat terlaksana. Meski ada beberapa sumbangan kue dari kerabat terdekatnya.

Setelah upung mayang dipukul sekeras-kerasnya oleh bidan hanya dalam sekali pukulan, upung itu pecah. Semua yang berada di ruangan itu berucap syukur, calon bayi lelakinya dalam pertanda baik bahwa dia tidak akan mengalami gangguan sampai melahirkan.

Air kelapa yang merembes pada sela bulir mayang melesat sempurna pada lidahnya.

"Pelan-pelan Nak," ucap Ibunya. Wanita itu tampak menitikkan air mata saat air kelapa itu dapat terteguk sedikit demi sedikit.

Kambang mayang yang berada di tengah-tengah diambil sebanyak dua tangkai, kemudian diletakkan di sela-sela kedua telinga sebagai sumping. Akhirnya tibalah saat seluruh bagian mayang dilepaskan dari selubung. Dengan di bantu ibunya, ia melangkah ke depan. Setelah itu melangkah ke belakang dan terakhir kembali melangkah ke depan. Air kambang itu dicipratkan ke perut, bahu dan kepala dengan sepasang mayang.

Dengan diiringi selawat sebelum masuk waktu ashar, wanita itu telah di bawa masuk untuk dirias bak pengantin. Wanita itu duduk di depan kue empat puluh. Setelah itu hidangan disajikan dan dikemas khusus untuk bidan serta para tetua yang memandikannya.

***

Amat Ripan – Empat tahun setengah

Pada usia empat tahun, aku dapat dikatakan memiliki pehamahaman kognisi yang baik. Aku selalu dapat berkomunikasi dengan baik kepada Uma dan Abah. Seringkali pembahasanku memang tak dapat di mengerti bagi teman-teman seusiaku. Pertanyaanku selalu melalang buana dengan hal yang janggal. Seperti halnya, mengapa malam itu gelap, pagi itu terang?

Sejauh ini aku sudah membuat Uma pusing, paling Uma hanya tersenyum saat aku bertanya seperti itu. Aku sempat bertanya juga, mengapa bisa seorang menghitung datangnya bulan? Seperti Umaku yang setiap bulannya selalu menghitung datang bulan. Yang tak kusangka, Uma malah histeris saat mengetahui perhitungannya tentang datang bulan benar, tapi jawabannya salah. Telat bulan, entahlah apa arti telat bulan itu bagi Abah dan Uma. Aku mencoba tak memikirkannya namun tetap saja otak kecilku tak dapat menemukan jawabannya.

MundarWhere stories live. Discover now