Sebuah anekdot

11 1 0
                                    

Jalan pengeran Antasari menjelang siang membuat aku pusing. Berbagai kendaraan berlalu lalang. Aku bersama dengan Hilmy menuju ke tempat puskemas Baiman. Di situ teman sejawat kami baru saja mengalami kecelakaan.
“Aku ingin meninggalkan Banjarmasin. Merantau sejauh-jauhnya. Agar bisa benar meraih gugusan bintang,” kataku kepada Himi.
“Buat apa kau jauh-jauh jika di Lambung Mangkurat dapat menemukan yang kau mau.
“Mengapa kau tak mengerti Him, sudah lebih dari sepuluh tahun hidupku terkungkung. Dalam kekelaman. Mana bisa aku berdiam diri. Sedangkan mimpi hanya sebuah mimpi.”
“Aku ingin mengetes bagaimana Allah dapat mewujudkan mimpiku!”
“Woy, istighfar. Bisa-bisanya kau berucap seperti itu. Kau ini orang beriman. Tak perlu lah mengetes Allah. Percuma kau ini sama sepertiku. Manusia biasa,” kata Himy sembari memarkirkan motornya di depan puskesmas.
“Apa salahnya? Aku hanya ingin tahu dari jawaban itu. Atau tidak aku ingin mempelajari ilmu falak. Yang dimana katanya bisa menghitung suatu peristiwa terjadi,” kata-kataku berhasil membuat Himi berhenti.
“Kau sudah mulai gila? Apa perlu pergi ke rumah sakit jiwa untuk mengukur kewarasanmu?”
“Aku tak gila, aku hanya bermimpi. Tapi yang menjadi hal terberat, jika aku pergi, otomatiis tidak akan bisa mendayunh jukung milik Unaku lagi,” kataku mendengus.
Aku bersisian dengan Himi langsunh menuju temanku. Abid.
“Aku mohon kau jangan melanjutkan omonganmu itu, jangan merusak suasana dengan Abid. Akan membuatnya semakin terpuruk, akibat kecelakaan ini. Ia tidak jadi pergi ke Surabaya.”
“Surabaya? Memang dia ada urusan apa?”
“Katanya dia ingin berkuliah sembari bekerja,” ucap Himmi.
“Hey apakah kau sudah lebih baik?”

“Alhamdulillah sudah terasa lebih baik,” jawab Abid yang tampak terpaksa dengan senyumnya.

“Kalau begitu, bagaimana cara menikmatinya?”

“Oh iya ku dengar kau akan pergi ke surabaya?” kataku hati-hati. Abid mengangguk.

“Besok kapal itu berangkat, aku tidak mungkin pergi jika kondisi kakiku seperti ini.  Rasanya akan merepotkan banyak orang.” Aku mencerap raut ke sedihan Abid.

“Apa kalian mau membeli tiketku,” jawab Abid  dengan nada yang terdengar parau. Sontak Himi  langsung menggeleng.
“Harga berapa?”
“Aku lepas harganya 20pprb, untuk kau Nang,”
Aku hanya tersenyum saja saat Abid mulai mrnjajakan dagangannya. Tak ada satupun yang  berhasil.m membuat hati saya berguncang. Untuk usng 200rb aku masih belum punya. Namun akan segera kufspatkan sebelum semester depan.
Tak henti-hentinha aku bwristighfar lalu meminta kemudahan. Jija aku mendapatkan tiket itu pasti aku akan merasa senaang, apalagi sambil bekerja mauphn kuliiah.
Setelah berbincang dengan Himy, kami akan mampir ke warung bubur sop bersama dengan aku. Kopinya oaling juara. Meski tenpatnya hanya seadanya beralasskan tikar biass. Tapi sensasinya bagus.

Aku tergelak, jauh di dalam lubuk ahatiky aku sangat ingin membeli tiket itu.

"Sudahlah, ambil saja tiket ini. Aku kasih tahu ya. Surabaya ini termasuk kota yang besar. Jika kau mau melanjutkan mimpimu itu bisa menjadi sebuah piliha.

"Benarkah?"

Abid malah tertawa. "Kau kira aku baru pertama kali ke Surabaya?"
"Di sana banyak sekali makanan khas yang tak jauh beda dengan kita. Selain itu merka juga memiliki sungai yang bisa sebagai ahli tarik lainnya.

"Ahli tarik apa? Kau tidak apa? Mana yang kau maksud dengan Ahli tarik?"

"Jika kau penasaran dengan jawabannya maka belilah tiketku ini. Tidak akan pernah menyesal kau."

Aku duduk menatap jam dinding. Sebenarnya jika 200rb saja aku memiliki tabungan, tetapi aku tidak ingin uang jatah shadaqah ke Uma berhenti. Dilain sisi aku ingin berangkat ke sana. Mengetahui jawaban ahli tarik di surabaya.

Apa semacam penjual teh tarik asal melayu?

Aku memutuskan untuk memikirkannya, mencoba merenung atas apa yang sebenarnya ingin aku raih.

***
Aku memandang langit kamarku, mana bsia aku terkungkung jika ingin meraih bintang yanh sebenarnya. Otakku encer , tapi aku tak ingin di halangi.

Terutama Abah, pasti saat aku memutuskan untuk ke Surabaya. Dia akan mencecarku, bahkan memukulku, apa salahnya jika aku ke surabaya? Aku tidak melakukan hal yang tercela hanya ingin mencari ilmu yang jauh. Sehingga aku bisa lebih mengenal dunia.

Aku mengambil celengan berbentuk bekantan, hasil laba penjualan sayur di pasar sudah mendapatkan hasil yang maksimal. Ini adalah tentang hidupku. Aku yang berhak, tidak ada seorangpun yang bisa menhalanginya.

Aku segera menuju velakang, mengambil palu. Saat celengan berbntuk bekantan itu sudah berhasil terbelah, aku tergelak.

Setelah ku kelompokkan uang berdasarkan nominalnya, akhirnya aku dapat menghitung totalnya.

Ternyata totalnya sudah lebih dari 200.000, malah hampir mencapai 300ribu. Jika nomialnya tertulis jadi seperti ini dua ratus sembilan puluh tujuh ribu.

Aku mengambil gawaiku di nakas. Aku melakukan panggilan terlepon daring.

"Aku akan membeli tiketmu, kita bertemu, sekarang, di warung Acil Siroh?"

Setelah mendengar kabar baik darinya aku bergegas memakai celana panjangku. Lalu menyalakan sepeda motor untuk mengambil salah satu jalan kebahagiaanku. Dan aku sangat menantinya.
Surabaya, tunggu aku.



MundarDove le storie prendono vita. Scoprilo ora