Saya Mundar

11 2 0
                                    

Saya mendapati tubuh ini sudah berada di dalam kamar milik saya. Bukankah terakhir kali saya sedang duduk di tepi hulu kuin bersama Abang Ripan? Saya hendak berdiri dari tempat tidur. Namun urung saat kepala saya masih nyut-nyutan. Di ruangan ini, saya tidak menemui batang hidung Abang Ripan. Apakah Abang baik-baik saja?

Umi Bunga baru memasuki kamar saya, senyumnya merekah. Namun badan saya masih terasa dingin, mengejang hebat sampai-sampai saya harus bertelungkup selimut. Mencium aroma bubur sop buatan Uma Bunga saja membuat saya ingin muntah.

"Kau sakit demam berdarah Ilham. Uma sudah panggilkan dokter puskesmas kemari. Cuba makanlah dulu, biar sedikit ada tenaga untuk tubuhmu," kata Uma. Tangannya dengan lembut mengusap kepala saya yang sudah diberikan daun dewa serta handuk dingin.

"Abang Ripan bagaimana Uma? Ilham ingat terakhir dengannya di bawah pohon bakau," ucap saya penuh harap.

"Abangmu baik-baik saja. Mungkin sekarang dia sedang berada dalam kamarnya," jawab Uma Bunga sembari menyuapkan bubur sop ke dalam mulut. Saya terpaksa menahan rasa mual yang membuncah saat membayangkan yang terjadi sebelum ini.

Jika benar yang saya pikirkan, Abang Ripan adalah orang yang menolong saya saat ambruk. Dia pasti menyusuri sungai martapura sendirian dengan hati yang berkecamuk. Saya menatap langit kamar saya yang berwarna ke abu-abuan. Saya sangat bersyukur jika Abang Ripan baik-baik saja. Mencoba mengingat saat Abang Ripan berpantun menghibur pembeli, untuk sekantung buah kasturi, sungguh hari ini merupakan salah satu hari bahagia saya.

Selain Abang Ripan yang mendayung hari ini, peracakapan kami luar biasa. Ekspresi Abang Ripan yang beranomali saat mendapati gadis berkerudung kuning gading itu memintanya membuat pantun. Saya tergelak. Ingin sekali saya pamerkan kepada urang banjar jika Abang saya dapat tersipu dan tersenyum seperti itu.

Setelah satu sendok terakhir suapan terakhir bubur sop sampai pada kerongkongan, saya menatap Uma Bunga.

"Uma, boleh bantu papah ilham ke kamar Abang Ripan?"

"Tidak perlu Ilham, Uma baru saja melihat Abangmu pergi ke luar. Mungkin dia sedang ingin bersama kawannya itu. Kau istirahat saja ya," kata Uma Bunga lalu menarik selimutku.

Dari jendela, saya melihat Abang Ripan dengan jaket hitamnya sudah berada di atas boncengan Abang Hilmy. Suatu saat saya juga ingin menjadi Abang Hilmy yang dapat bermain dan tertawa bersama Abang Ripan.

****

Hari pertama saya sekolah menengah umum tidak terlalu bisa di bilang menyenangkan, justru lebih menyenangkan saat saya bersama kawan-kawan seperti Utuh yang bersama-sama memanjat pohon Mundar. Kata kawan-kawan saya, saya adalah yang paling pintar memilih buah yang matang. Tidak satupun buah Mundar yang saya petik terasa asam.

Mereka sampai memanggil saya Mundar. Padahal mereka tidak mengerti saja. Jika bakat ini saya dapatkan dari Abang Ripan. Dia memiliki intuisi yang kuat. Saya hanya mengamatinya dari bawah saat tangan panjangnya meraih buah manggis versi kecil itu.

"Bagaimana rasanya?" tanya Bang Ripan dengan suara baritonnya.

"Manis Abang!"

"Jika kau memanjat untuk dijual, kau harus pilih yang warnanya paling merah dengan ujungnya ada titik, itulah yang paling manis dari yang termanis."

Saya berdecak, Abang Ripan telah turun dari pohon itu. Abang Ripan meletakkan keranjang berisi buah mundar.

"Setelah ini kau saja yang ambil buahnya, kau rasakan dulu, jika asam jangan kau kasih aku," ucap Abang Ripan sembari melangkah menuju rumah.

Saya semakin bersemangat dan percaya diri. Hari ini waktunya saya mencari buah Mundar yang manis. Saya mencari yang paling merah. Ah itu dia. Kaki saya menaiki satu dahan yang menyamping. Dengan tangan yang masih menautkan pada dahan yang lebih besar, akhirnya saya dapat meraih buah itu. segera saya buka, ternyata manis!

Rasanya saya senang sekali, berhasil pada percobaan pertama. Akhirnya saya mencoba menaiki dahan yang lebih tinggi, karena buah Mundar yang merah merona itu bergerombol memukau. Saya meraihnya dengan susah payah. Tangan saya yang pendek susah. Dengan sedikit menjijit. Nyaris saja tergelincir, karena tubuh saya tidak setinggi Abang Ripan.

Keringat saya bercucuran hebat, karena jika saya bergeser sedikit, bisa-bisa bukan Mundar yang terjatuh, namun tubuh kecil saya. Saya tidak ingin jatuh, karena akan jadi merepotkan. Saya berpikir keras. Caranya hanya tinggal satu saya berayun pada dahan itu sambil meraih buah mundar lalu kaki saya menapak ke dahan yang lain. Jika telat saja sedetik tubuh dan buah mundar ini akan terjatuh.

Semoga perhitungan saya tidak salah. Dimulai dengan basmalah saya mulai mengarahkan tangannya saya pada satu ranting. Ternyata tangan saya dapat meraihnya.

Satu renteng buah mundar telah ada dalam genggaman akhirnya. Saya dapat berhasil turun. Bergegas menuju rumah untuk menyerahkan hasil petikan kepada Abang Ripan.

Namun setelah sampai pintu. Abang Ripan menatapku nanar.

"Jangan lagi kau memanjat pohon Mundar, jika itu dapat merusak dahannya!" Kata Abang Ripan. Hatiku mendadak semakin sesak.

****

MundarWhere stories live. Discover now