Kekelaman Meradang

18 1 0
                                    

Amat Ripan –  Delapan belas tahun setengah

*****

Pukul lima pagi, ketika langit masih gelap, matahari belum nampak. Angin bersiut membuat bulu kudukku meremang. Angin itu pun meranggaskan daun pohon bakau di sepanjang sungai matapura. Deru alkon dan klotok di belakang kami semakin terdengar saat menyalip dari sebelah kiri. Seperti saling susul menyusul sampai tujuan. Aku meluruskan kakiku di atas buritan, lalu mencelup tanganku di air.

Jukung ini berjalan semakin melambat sontak aku menoleh kepada Ilham. Matanya terlihat sedikit sayu, dan berair seperti telah menguap berkali-kali. Aku tak tahu mengapa selalu saja begitu. Padahal hal ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari sebelum berangkat sekolah.

"Hai mana bisa kau duduk sambil melamun seperti itu? Mengayuh jukung itu haruslah kuat, bertenaga, dan pastinya berkonsentrasi. Tak boleh lembek apalagi kau sampai tak fokus. Bisa-bisa kau dimakan buaya air payau, lebih lagi kalah dengan Acil-acil!" kataku kepada Ilham. Adik laki-lakiku. Aku tak peduli dengan pandangan heran dari orang pada jukung lain yang berpapasan dengan kami. Ilham tersenyum tipis sambil mengusap sisa-sisa bulir air matanya.

"Maafkan saya Abang, baiklah akan saya kerahkan seluruh tenaga untukmu Abang! agar kita tidak telat lagi sampai Siring!" katanya sedikit parau tapi sudah cukup menyentakku. Suaranya yang pecah akibat pubertas itu meredup diganti dengan kecipak air akibat dayung yang semakin menggebu.

Dari radius lima meter aku menyorot lampu petromak ke arah sungai. Terlihat banyak enceng gondok yang menghalangi. Namun jukung kami justru hendak menerobosnya.

"Minggirkan enceng gondok itu dulu dengan dayungmu Hei! Percuma lah jika enceng gondok itu tak disingkirkan, malah tak bisa jalan jukung ini. Sudah berapa kali aku ajarkan, Jangan bertindak semaumu!" kataku menyeringai.

Jukung ini melambat, lalu ilham beranjak ke tepi sambil menarik-narik enceng gondok itu ke arah kiri. Ternyata dia mengambil sebilah pisau untuk membelah enceng gondok itu sampai akhirnya jukung kami bisa berjalan dengan lancar.

Setelah hampir dua puluh menit berada di atas jukung, matahari mulai tampak, meski masih malu-malu. Aku mengedarkan pandangan ke hulu sungai besar martapura, yang beriak tapi bersih meski warnanya kecoklatan. Tanganku merogoh saku untuk mengambil kuriding. Alat musik terbuat dari pohon enau yang belum berbuah. Setelah menarik napas perlahan, kuriding itu berhasil kutiup nyaring. Aku tak mempedulikan Ilham yang sedari tadi berusaha mengatur kecepatan jukung agar cepat sampai. Tangan kecilnya berupaya untuk menarik tubuhku yang tingginya berbeda sepuluh centi serta berat yang berbeda lima belas kilo darinya.

Kalian pasti sangat membenciku, mengapa harus memperlakukan Ilham begitu? Akan aku ceritakan bagaimana kehadirannya bisa membentukku seperti ini.

Kekelaman pertama, aku pernah bermimpi bersama Uma bisa naik kapal bersama. Naik jukung yang lebih besar. Tapi apakah saat ini bisa? Tidak bisa. Semua itu karena Uma meninggal setelah melahirkan Ilham. Kekelaman kedua, semenjak kepergian Uma, Abah tak kuasa merawat ading aku ini. Setiap hari dia menangis, sampai-sampai gendang telingaku rasanya ingin kurobek saja. Agar tidak mendengar tangisannya di tengah malam. Oleh karena itu hadirlah Acil Bunga, wanita asli dayak bakumpai yang Abah persunting untuk menggantikan Uma. Ini gila, bagaimana bisa Uma digantikan dengan cepat? Sampai saat ini Acil Bunga tetaplah menjadi Acil, bukan Uma.

Kekelaman ketiga, setiap malam saat langit bertaburan bintang aku duduk di selasar menatap gugus bintang. Uma sering bercerita jika Uma sangat ingin aku menjadi salah satu murid Syekh Muhammad Salman Jalil Arsyad al-Banjari. Tuan Guru ahli falak pada Ponpes Darussalam yang merupakan mursyid dari Guru Ijay atau KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani. Lebih tepatnya saat aku memahaminya di umurku saat ini adalah menjadi agen peradaban. Setelah kelahirannya, nyatanya aku tak bisa mewujudkan salah satu mimpi, karena Abah tidak mengijinkanku ke pondok pesantren karena ingin berkumpul bersama dengan Ilham di rumah.

MundarWhere stories live. Discover now