Pantun Lok Baintan

10 1 0
                                    

Amat Ripan - Sembilan Belas Tahun

*** 

Setelah kejadian kemarin, aku langsung menyambar tangan Abah dengan sedikit kuat, mungkin saja sudah menimbulkan tarikan kuat pada urat tangan Abah. Kucium sebentar lalu kepalaku mendongak. Netra kami beradu, namun netraku kalah tajam dengan milik Abah. Tatapannya bagai elang yang bertengger di pohon Enau. Aku berjalan menuju jukung yang terparkir di halaman belakang. Sebelumnya jukung itu masih terparkir di pasar. Namun Abah mengambilnya kemarin.

Aku jadi berpikir, apa aku memang harus tetap di sini? atau justru seharusnya pergi? Jika aku tetap tinggal dengan mereka, otak kananku akan macet, dan aku takut jika berakhir depresi yang hanya dapat melihat langit-langit penuh poster majalah bekas tentang gugus bintang, tanpa dapat mewujudkannya. Aku menyambar dayung yang akan di ambil Ilham. Ilham tampak mengernyitkan dahinya.

"Aku saja yang mendayung. Kau duduk di buritan," kataku membuat mata Ilham membulat. Lalu dia membentuk senyuman. Senyuman Ilham yang lagi dan lagi mengingatkanku dengan Uma. Aku menghela napas. Tak apalah, kali ini aku yang mendayung, sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Ilham yang telah menolongku. Acil Bunga selalu mengusap pucuk kepala Ilham sebelum kami naik jukungg. Tapi denganku, tentu saja tidak, aku tidak ingin Acil mengusap rambutku.

Riaknya tak sederas biasanya, mungkin karena hujan kemarin turun. Telah lama aku tak mendayung jukung, rasanya ototku harus dilemaskan lagi. Ilham sesekali menoleh melihatku sembari tersenyum.

"Abang, terima kasih," ucapnya.

Aku hanya berdehem dan tak mengerti arti ucapan terima kasihnya karena apa?

"Ilham punya teman baru, namanya Samia. Dia kemarin yang membantu Ilham untuk menolong Abang Ripan," katanya lagi. Selama aku berada satu jukung dengannya, hal ini adalah kalimat terpanjang yang dia lontarkan kepadaku.

"Sampaikan terima kasih pada kawanmu itu," jawabku.

"Insya Allah Abang Ripan, dia pasti sangat senang mendengarnya," kata Ilham lagi. Tak terasa dia juga akan memakai seragam abu-abu di SMA Banjarmasin dulu. Alamak, mengapa aku mulai memperhatikannya?

Hari ini kami banyak sekali membawa buah mandar dan kasturi. Setiap hari selama musim penghujan, Acil Bunga memetik buah-buah yang dapat dikatakan langka. Buah itu hanya dapat berbuah setahun sekali. Apalagi saat ini sedang musim hujan, sangat melimpah. Oleh karena itu kami tidak bersandar di Antasan Pasar Siring. Akan tetapi kami akan mendayung sampai Lok Baintan. Jarak tempuhnya lumayan jauh, sekitar satu jam dari Banjarmasin.

Sesampainya di Lok Baintan, aku mendapati satu klotok yang telah di kelilingi jukung. Sepertinya kami terlalu siang sampai sini, tapi tak apalah. Tetap ku dayung jukung itu merapat ke klotok berwarna biru. Tanganku mengapit sisi terluar klotok agar jukung tetap dalam posisi stabil.

Ilham beranjak, berdiri mendekati klotok. Terlihat banyak pasangan muda mudi yang berada pada klotok itu. wajah polos Ilham menjajakan buah kasturi membuat mereka tergelak.

"Kasturinya bisa beli perbiji, bisa di coba dulu sebagai tes lidah, tidak akan membuat keracunan tapi malah membuat ketagihan," ucap Ilham sambil tersenyum khasnya.

"Kambang mawar ada di taman,

Wangi sekali baunya,

Senyuman datang dari seorang teman

Menjadi obat pelipur saya," ucap Ilham membuat yang lain tergelak. Aku menyadari jika kehadiran Ilham dimanapun, selalu menimbulkan suatu interaksi positif bagi banyak orang. Dia memiliki magnet tersendiri seperti saat Uma menjajakan dagangannya, saat Uma bersilahturahim.

Tak sadar susut bibirku yang tadinya terangkat mendadak mengendur saat tak sengaja Ilham menatapku.

"Semoga laris hari ini Bang Ripan!" katanya

"Bang, bisa pantun juga tidak?" tanya seorang gadis berhijab kuning gading yang sekarang menatap ke arahku. Aku menggeleng namun, kuurungkan. Aku sebenarnya tak pandai melontarkan pantun, namun tetap ku coba.

"Di atas ada pesawat tarabang

Tarabang di atas awan

Bersama angin pohon berkembang

Cagar hidup adalah senyuman," kataku sekenanya. Alamak, sial juga rasanya menjadi sorotan di klotok. Pipiku bersemu, aku tak biasa menjadi pusat perhatian seperti ini.

Gadis berkerudung kuning gading itu akhirnya memborong semua buah kasturi.

"Aku sengaja kesini untuk mendapatkan buah kasturi ini Abang. Jadi saya beli kasturi ini dari Abang."

"Baik, Saya jual kepada kau nona berkerudung kuning," kataku mantap lalu uang sejumlah seratus ribuan telah berpindah ke tanganku.

Saat ini hujan tiba-tiba turun, aku mengambil jas hujan yang terletak dibagian bawah buritan.

"Ham ini jas ujan kau, punyaku tertinggal, kau pakailah saja," kataku menyodorkan jas ujan kepada Ilham.

Ilham nampak mencerapku berkali-kali, lalu kepalanya menggeleng.

"Abang saja yang pakai, Ilham sudah terbiasa terkena hujan Bang."

"Jika kau memaksa, aku pakai sekarang," kataku yang langsung memakai jas hujan miliknya itu. dapat dikatakan jika jas ujan ini kurang besar, tapi tak apalah. Aku harus mendayung jukung sampai ke rumah.

Selama perjalanan arus sungai semakin deras, suara Ilham samar-samar, kali ini dia membantuku mendayung. Nampaknya nipahnya tak dapat melindungi badannya yang kurus. Kaus hitam yang sudah berubah warna miliknya mulai pudar.

"Kita harus menepi sebentar."

Aku meletakkan dayung melintang di atas jukung. Sementara Ilham terlihat dia mengusap badannya yang basah kuyup.

"Kau itu tak perlu menjadi buaya air payau jika terkena hujan saja selemah itu. Ini pakailah jas ujanmu."

Tangan Ilham gemetar saat meraih jas ujan miliknya. Ia masih saja dapat tersenyum.

"Terima kasih Bang."

Kami duduk memeluk lutut di pinggir pepohohan berbatang putih dengan daun tunggal. Ada beberapa daun yang rontok mendarat tepat di kepalaku. Kusibak daun itu lalu menerawang kea rah langit yang masih menangis. Lalu aku menoleh ke Ilham dan ... mulutnya membiru.

"Abang Ripan ternyata pandai membuat pantun, ilham baru mengetahuinya."

"Biasa saja, urang banjar harus bisa lah pantun begitu pang," ucapku sambil mengambil balangkasua. Buah yang bentuknya mirip kopi, tetapi ukurannya tiga kali lipatnya.

"Uma pasti bangga punya anak seperti Abang Ripan," kata Ilham lalu tubuhnya ambruk. Kepala Ilham terkantuk dayung jakung, celaka!

MundarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang