Bang Ripan!

9 0 0
                                    

Ilham - lima belas tahun

****

Saya berlari sekonyong-konyong saat melihat punggung Bang Ripan mulai terpukul oleh benda tumpul milik Jagau berkaus biru. Lutut saya mendadak lemas. Tapi sekuat mungkin saya harus berada di samping Bang Ripan. Saya memekik kencang.

"Abang!"

Para intel tiba-tiba ikut berlari, dari sisi sebelah kiri. Pekikan para intel itu berhasil membuat Jagau Halangan itu terbirit-birit. Abang Ripan terjatuh, dibelakangnya ada Mas Himi. Saya segera menepuk-nepuk pipinya.

Akhirnya salah satu pembeli Samia melihat kejadian ini.

"Abang Ilham? Siapa dia?" tanua Samia. Gadis berkepang dua itu ikut berjongkok.

"Ini Abang saya Nona, habis terkena pukul Jagua, saya lagi menunggu mobil ambulan," kata saya sambil mengusap-usap tangan Abang Ripan.

"Yaampun lalu ini menunggu ambulance? Sudah Abang calling?"

"Bang Him, apa sudah tersambung telepon daruratnya?"

"Belum Ham, alamak pulsa abang masa tenggang!" kata Bang Hilmi membuat saya menghela napas.

"Siapapun! Saya minta tolong telepon Ambulan, saya mohon!" saya terisak, melihat yang berlalu lalang itu hanya menonton saja.

"Abang, naik mobil Sami saja. Samia sudah di jemput barusan aja," kata Samia membuatku mengangguk. Tanpa pikir panjang,saya berusaha mengangkat Abang Ripan dibantu dengan Bang Himi untuk mencapai mobil Samia.

Setelah masuk ke dalam mobil, saya duduk sambil menyangga kepala Abang Ripan di pangkuan. Samia gadis berkuncir dua itu duduk di depan, di sampingnya ada lelaki paruh baya berseragam hitam. Dia sesekali melihat kami, raut wajahnya ikut cemas.

"Aku punya minyak kayu putih, biar Abangmu hangat Bang," kata Samia menyodorkan minyak kayu putih. Saya menyambarnya.

"Terima kasih Non, saya banyak sekali merepotkan."

Netra kami bersirobok, dia tersenyum wajahnya yang ketimur tengahan menyipit.

"Tidak merepotkan, selagi bisa bantu juga, lagian aku suka. Jadi punya teman Bang," kata Samia lagi.

"Saya pindah ke mari belum genap sebulan Bang, di rumah Papa. Niatnya mencari suasana baru, namun semakin yakin, akan melanjutkan sekolah di sini."

Saya membalasnya dengan senyuman. Samia menoleh, " Oh iya Bang, sekolah Abang di mana? Jika aku nggak salah nebak, Abang masih sekolah juga kan?"

Saya mengangguk, "Nona benar, saya masih sekolah, di dekat Antasan itu. Alhamdulillah kemarin resmi jadi siswa SMU di sana."

"Wah apa sekolah itu jauh dari antasan?"

"Rasanya tidak, hanya berjarak dua kilometer."

Senyuman Samia semakin merekah, "Aku bakal minta papa buat sekolah di sana!" katanya berhasil membuat netraku membulat.

"Ehmm, i..itu terserah Nona."

Mengapa rasanya saya susah menelan saliva, saat dia menarik sudut bibirnya.

***

Baru kali ini saya memasuki kamar Abang Ripan. Ukuran kamarnya persis seperti kamar saya. Hanya saja letak perabotannya sangat presisi. Abang Ripan memiliki kebiasaan unik, dalam kotak kaca kecil dia mengatur kumpulan kuriding, yang pertama kali dia dapatkan. Lalu tepat di sisi kiri kotak itu tak sengaja melihat sebuah tempelan koran bergambar Ponpes Darussalam dan Masjid Sabilal muhtadin, apakah itu salah satu impian Bang Ripan?

Kepala saya mendongak, Masya Allah, betapa takjubnya saya saat melihat langit kamar Bang Ripan. Ada beberapa tempelan beberapa benda antariksa yang tidak terlalu saya pahami. Saya baru tahu sisi lain Bang Ripan setelah melihat kamarnya. Kamarnya terhitung lumayan rapi, meski berserakan buku-buku pelajaran di bawah meja. Saya duduk di samping Bang Ripan. Sambil menatapnya wajah Bang Ripan yang masih tertidur. Ternyata baru saya sadari jika alis kami sangat mirip.

Pintu terbuka, Abah langsung melepas jaket seragam pelabuhan untuk di lampirkan di kursi kayu. Raut senjanya nampak lelah, karena saya taksir beliau memacu kecepatan setelah mendengar Abang Ripan terkapar. Umi Bunga pun beraut sedih. Saya mencoba tersenyum agar suasana ini mencair.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Bukannya Abang ke sekolah untuk mengurus ijazah?" tanya Abah mengacak rambutnya.

"Ilham kira, Abang tidak akan kembali ke pasar Bah. Kata Bang Him, Abang Ripan di ganggu Jagua saat akan menuju jukung Ilham. Saat itu Abang Ripan, melawan terjadilah baku hantam itu."

Wajah Abah masai, beliau mengembuskan napasnya kasar. Saya takut jika Abah sudah memasang wajah seperti itu.

"Mengapa harus menjadi sok jagoan dia! Seperti lupa kita ini, rakyat biasa," cecar Abah. Saya hanya dapat menunduk sambil terus beristighfar.

Saya hanya takut jika Abang Ripan mendengarnya, pasti hatinya akan terluka. Saya tetap mengelus pundak Abang Ripan.

Netra Abang Ripang mengerjap lemah. Mata saya terbuka semakin lebar. Alhamdulillah Abang Ripan sadar. Saya langsung mendekap tubuh kekar Abang Ripan dengan erat. Tidak tahu lagi, buncahan bahagia ini membuat saya refleks begitu saja. Raut wajahnya masih tampak kusut. Namun saya tetap tersenyum saat kedua manik hitamnya melihat saya.

Dugaan saya benar, Abah sudah terlanjur tersulut emosinya. Raut wajah Abah menjadi kaku, tidak ada lagi guratan senyum saat melihat Abang Ripan mulai mendapatkan kesadaran. Saya melihat Umi Bunga yang hanya dapat mengelus lengan Abah. Saat Abah sudah berada dalam puncaknya, saya berdiri. Bergantian mengusap lengan Abah. Membisikkan sesuatu..

"Abahku sayang, demi Allah yang menciptakan kita, demi Uma yang berjuang melahirkan Ilham, tenangkan Abang dengan kasih sayang Abah, Ampuni Abang Ripan."

Pelukan saya mengendur. Napas Abah makin stabil. Beliau mencerap saya lalu ke Abang Ripan. Abah membuang mukanya ke kanan lalu meninggalkan kami. Uma Bunga juga mengikuti Abah keluar dari kamar. Saat ini hanya tersisa kami berdua

Raut Abang Ripan nampak terpukul rupanya. Saya ingin mendekat, namun tidak mungkin. Selalu ada tembok seperti menara panggung yang menjadi pembatas kami. Akhirnya saya memilih diam. Sembari menunggu Bang Ripan berbicara.

"Untuk apa masih di sini? Aku ingin sendiri," katanya parau. Aku menatap Abang Ripan lekat, terlihat titik air di sudut matanya, yang tidak kentara.

"Baik Bang Ripan, saya keluar. Tapi saat Abang ingin Ilham temani tidak apa, pasti akan kembali," jawab saya sambil melemparkan senyuman meski saat ini dia menatap jendela. Semoga setelah ini Bang Ripan dapat membalas senyumanku.

MundarWhere stories live. Discover now