"Kenapa kamu lihat aku kayak gitu? Kamu datang mau ketemu sama aku, kan?"
Untuk sejenak, sama seperti sekumpulan Tentara yang kini mulai kembali berpura-pura sibuk, aku pun sempat syok dengan apa yang di lakukan Mas Axel tadi.
Siapa yang sangka di tengah sapaan Gading yang membuatku syok, dia akan datang tiba-tiba dan memeluk erat Gading dengan dalih dia yang menggantikan aku untuk memeluk temannya itu, ayolah, itu terdengar sangat manis dan posesif.
Gading yang biasanya pendiam menjadi mengejutkan saat tertawa begitu lepas menyapaku, begitu juga dengan Mas Axel, baru saja dua orang perwira muda ini memperlihatkan sisi lain diri mereka pada Anggotanya.
Telapak tangan Mas Axel terulur, menantiku untuk menyambutnya, hal yang membuatku terdiam untuk beberapa detik.
Melihatku yang hanya terdiam menatapnya, membuat Mas Axel seperti habis kesabaran, setengah menggeram dia meraih tanganku, menggenggamnya kuat, seolah menunjukkan jika aku adalah miliknya.
Tidak memberiku kesempatan untuk berbicara pada Gading hanya untuk membalas sapaannya tadi, Mas Axel justru semakin menggila, dengan wajahnya yang memerah dia kembali berbalik pada anggotanya, khususnya pada mereka yang sedang piket di Pos Penjagaan "Kalian perhatikan baik-baik siapa wanita yang ada di samping saya, dia yang akan menjadi calon istri saya."
"Siap, Komandan."
Astaga, aku langsung menutup wajahku dengan sebelah tangan, sungguh aku merasa malu sekarang ini dengan ulah barbar Mas Axel sekarang ini, seperti anak kecil yang takut mainannya akan di rebut oleh orang lain, apa lagi saat dia dengan garangnya melemparkan tatapan permusuhan pada Gading yang hanya bisa geleng-geleng.
Sayangnya Gading adalah makhluk yang seperti Mas Axel dan mempunyai sikap seperti Zero, pendiam dan sekali berbicara mulutnya tidak akan segan untuk melukai lawan bicaranya, dengan santai dua prajurit satu angkatan itu saling berpandangan.
Suara lirih bernada rendah penuh ancaman itu terdengar dari Gading saat dia berhadapan dengan Mas Axel.
"Nggak usah di perjelas, semua udah tahu kalo mahluk cantik ini punya lo, dari awal memang punya lo."
Luntur sudah formalitas di antara keduanya, yang ada justru tampak seperti dua anak SMA yang akan tawuran.
"Bagus deh, kalau tahu. Jadi siapa pun akan tahu batasan pertemanan kalian." Genggaman tangan Mas Axel mengerat, tampak seperti menahan kesal pada Gading yang hanya menatapku lekat, tatapan yang seolah menanyakan, benarkah kamu kembali pada sosok yang sudah menyakitimu?
Jika ada yang tahu bagaimana pedihnya perlakuan Mas Axel dahulu, yang mengetahui bagaimana sulitnya aku membangun kepercayaan diri yang hancur karena orang yang aku pikir peduli ternyata menyakitiku dia adalah Gading, prajurit satu Letting dengan Mas Axel.
Tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah sangat canggung ini aku hanya terdiam, hingga akhirnya helaan nafas panjang terdengar dari Mas Axel sebelum dia memutuskan berbalik, mengajakku pergi dari hadapan Gading.
"Jangan sia-siain yang sayang sama kita, Xel. Banyak orang yang akan dengan senang hati gantiin posisi lo di samping dia."
💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔
"Tempo hari ada Bule tengil itu, dan sekarang ada Gading yang koar-koar dan tanpa sungkan nunjukin jika kalian pernah sedekat itu, sebenarnya ada berapa banyak laki-laki yang lo deketin? Lo udah putus kan sama si Bule itu."
Gerutuan Mas Axel terdengar tanpa terputus sama sekali, bibirnya sama sekali tidak berhenti mengeluarkan kekesalannya semenjak dia menarikku dari gerbang, mendumal tentang segala hal yang menurutnya membuatnya kesal, mulai dari Zero, bahkan hingga Mas Axel.
Dan apa dia bilang tadi, astaga dia benar-benar menganggap Zero adalah pacarku? Mulutku nyaris terbuka untuk menyanggahnya, tapi dengan cepat aku diam, membiarkan Mas Axel dengan pemikirannya.
Dan berbeda dengan Mas Axel yang terus menerus berbicara, bibirku justru terkunci rapat, memilih memandang punggung tegap yang kini berjalan di depanku, menggenggam tanganku erat tidak membiarkanku berjalan sendiri.
Sesederhana ini pemandangan yang aku lihat, tapi sukses membuatku menghangat, semua perlakuan Mas Axel membuatku merasa begitu berarti untuknya sekali pun mulutnya berbicara pedas.
"Sedekat apa kalian ini, sampai Ndan Bayu juga bilang kalau Gading tidak pernah berhenti memujimu, bahkan dia meminta Ayahnya untuk melamarmu, kalian ada hubungan?"
Langkah Mas Axel tiba-tiba berhenti, tampak dia yang seperti kebingungan sendiri karena terjebak emosi, mata tajam itu menatapku lekat dengan pandangan bertanya.
"Mas Axel beneran mau tahu? Yakin?" potongku memutus tatapan curiganya.
"Iya. Dari tadi diem mulu, ayo jawab, kalian ada hubungan? Gading manusia yang bahkan nggak kenal sama cewek, dan tadi dia minta lo buat meluk dia, teman nggak sedekat itu."
Melihat bagaimana Mas Axel yang cemburu begitu buta seperti sekarang membuatku terkekeh, entah karena Gading yang terang-terangan memperlihatkan ketertarikannya padaku, atau dia tidak terima miliknya di lirik orang lain, entahlah, tapi sungguh posesif sekali Mas Axel ini.
"Yang bilang teman siapa, Mas?"
Pertanyaanku yang berbalik pada Mas Axel membuatnya menggeram kesal, dengan jengkel dia berkacak pinggang, sungguh jika seperti ini dia seperti raksasa yang ingin menelanku.
"Lalu, kamu mau bilang jika kalian pacaran?" dengan dramatis Mas Axel mengusap wajahnya, sungguh lucu sekali dia ini, "berapa banyak pacarmu, Ay. Si bule pacarmu dan sekarang Lettingku juga pacarmu, astaga, benar-benar!"
Tawaku meledak melihat Mas Axel yang seperti anak kecil sekarang ini, niatku ingin menggodanya semakin menjadi, "nggak pacaran, sih. Tapi waktu di Semarang sebelum Gading pindah tugas dia memang ngelamar aku. Mas Axel tahu dari mana kalo Gading pernah minta orangtuanya buat lamarin aku? Yang aku tahu Gading nggak akrab sama Mas, kalo akrab aku nggak akan mau temenan sama segerombol pencemooh seperti Mas Axel."
Mas Axel ternganga, "ngelamar lo? Dia beneran udah ngelamar lo?"
Aku mengangguk, bersedekap dengan tenang menghadapi manusia tidak pasti seperti calon suamiku ini, "iya secara pribadi memang Gading sudah ngelamar aku, memangnya kenapa Mas? Syok amat."
Mas Axel menarikku untuk duduk di kursi depan rumah dinasnya, rumah kecil sederhana yang tampak begitu nyaman, hijau dan menyegarkan, mengabaikan Mas Axel yang uring-uringan aku lebih memilih memperhatikan betapa rapinya Mas Axel dalam menata rumah kecil ini
Bisa aku bayangkan bagaimana nantinya hari-hariku di rumah ini, mengurus segala pekerjaan rumah tangga sendiri sembari menunggu Mas Axel yang pulang bertugas, sungguh bayangan yang indah jika kami benar menjalani pernikahan ini dengan penuh cinta.
"Sudah marahnya, Mas?" tanyaku setelah akhirnya Mas Axel menjatuhkan dirinya di kursi sampingku lelah sendiri dengannya yang sejak tadi uring-uringan.
Mata hitam tajam itu kini melotot mendengar pertanyaanku, membuatku langsung menjawil ujung hidungnya yang mencung, sungguh menggemaskan seorang Mas Axel yang sedang cemburu.
"Nggak usah pegang-pegang. Gue nggak mau tahu ya, lo harus selesaiin hubungan lo sama semua laki-laki itu. Ingat, Sa. Sejak cincin itu lo pakai, lo milik gue, lo terikat sama gue."
Arogan dan tidak terbantahkan. Tapi kalimat yang di tunjukan Mas Axel barusan membuat tanya baru untukku.
"Aku nggak bisa di ikat dengan cincin, Mas. Aku terikat dengan cinta, apa cinta itu sudah ada di hatimu sampai kamu secemburu ini terhadap mereka yang ada di dekatku?"
"..............."
"Atau memang yang membuatmu benci setengah mati padaku justru karena cinta itu sudah hadir sedari dulu? Karena aku tahu dengan benar, benci yang berawal dari cinta yang di kecewakan itu sulit untuk di maafkan."

YOU ARE READING
Diary Aysha
RomanceIni tentang dua Putra seorang Perwira Tinggi Militer, Aysha Fadhilah dan juga Letnan Axel Heryawan. Tentang kisah cinta di antara mereka berdua dan orang-orang di sekeliling mereka, tentang pedihnya cinta pertama, sakitnya sandiwara, dan bahagianya...