4. Let Me In.

72 45 20
                                    

Sebuah kamar kecil berwana coksu hanya ada sebuah ranjang kecil lengkap dengan kasur dan sepasang bantal, satu buah lemari, dan tentunya meja belajar. Sangat sederhana. Di atas ranjang sorang lelaki tinggi dengan kulit putih bak tahu sutra tengah merebahkan tubuh sambil menatap layar HP, matanya melirik jam dinding sudah pukul satu malam namun kantuk tak kunjung tiba.

Kedua manik hitam kini beralih menatap langit-langit kamar, otaknya kembali memutarkan kejadian tadi membuat jemari panjang itu kembali mengelus lengan yang telah dibalut perban.

"Manis.." kedua bibir pucat bersuara lirih saat mengingat wajah wanita itu.

"Sialan! Kenapa malah kepikiran dia, ingat Fran cewek yang lo incar itu Indri, Indri... Ingat itu!"

Bagi Fran ini tidak wajar, memikirkan wanita yang baru di jumpai dua kali, bahkan saat jantungnya berdetak dikala mengingat momen itu benar-benar tidak wajar karena seharusnya yang ada dalam pikirannya, yang membuat jantungnya berdetak kencang adalah Indriani sang wanita incaran bukannya Hanzel.

Lelaki itu meraung lantang, membenturkan kepalanya pada kasur dengan keras, tangan kembali mengacak-acak rambutnya membuat dirinya serupa gembel. Mulutnya kini mulai melafalkan beberapa Do'a sambil memaksa kedua mata tertutup rapat, berharap dirinya lekas hanyut dalam keseruan berpetualang dalam mimpi.

****

"brakk.. "

Tangan Fran menarik sosok wanita dengan cepat, hampir saja wanita itu terserempet motor untung tangan nya mampu menjangkau tubuh sang wanita.

"Lu bodoh? Apa sengaja mau mati!," Ucap Fran dengan nafas yang masih berderu kencang.

"Heh kenapa diam saja"

Fran membalikan tubuh wanita tersebut agar menghadap kearahnya, perawakan mungil membuat Fran harus menundukkan kepala agar dapat membaca mimik wajahnya.

Betapa kaget Fran saat matanya menangkap wajah wanita yang tak asing lagi baginya dengan kedua bola mata cantik nampak berkaca-kaca, deru nafas yang dengan jelas dapat didengarnya. Wanita yang selalu terlihat menyebalkan kini terlihat jauh berbeda, sudut matanya menunjukan sisi rapuh membuat Fran ingin memeluk erat.
Namun segera ditepis keinginan konyol itu.

"Woy siapa lu?"
Celutuk seorang wanita kedatanganya yang.m tidak terduga memecahkan keheningan, jemari Wanita asing itu langsung menyingkirkan lengan kekar Fran.

"Lu! Lu kan yang di kantin itu!"
Teriaknya sambil menodongkan jari telunjuk tepat di jidat Fran.
"Mau cari masalah apa lagi Hah!"

"Eng..bukan gitu.." Ucap Fran

Fran berniat menjelaskan keadaan yang sebenarnya namun belum sempat ia melanjutkan kata-katanya wanita itu malah melangkah cepat sambil menarik wanita yang sedari tadi dalam dekapan lengan kokoh Fran.

"Awas muka Lu gue tandai, jangan sampai berurusan lagi sama Hansel, cowok sinting!"

Wanita itu berteriak sambil membawa lari Hanzel, tanpa memperdulikan tatapan puluhan orang kini tengah menghakimi Fran yang tak bersalah.
Sungguh malang nasibnya, menolong orang bukanya mendapat ucapan terimakasih atau sekedar basa-basi justru dituduh melakukan hal tidak jelas.

#FRAN prov

Mataku menatap kosong punggung dua sosok wanita yang melesat cepat, menghilang dalam jangkauan mataku. Sebelum pada akhirnya tatapan tajam menyadarkan.
Ya benar, kini aku menjadi pusat perhatian puluhan orang yang bahkan tak kukenal satupun, dengan segera secepat mungkin kakiku melangkah pergi, rasanya ingin segera menghilang saja.

Kau tau hal yang lebih menyakitkan dibanding kata-kata adalah tatapan karena kau hanya bisa menerka-nerka apa yang terpampang pada otak tanpa tau kepastiannya dari tatapan yang diberikan.
Meski kau tau pasti mereka menatap dengan artian tidak baik namun kau tidak memiliki wewenang untuk menuntutnya, berbeda dengan ucapan ataupun ketikan yang bisa kau jadikan bukti untuk menuntut mereka.

Samar-samar telingaku menangkap suara memangil, tapi siapa peduli? Mungkin saja suara itu hendak menghakimi lagi. Yang terpenting sekarang secepat mungkin pergi dari tempat ini, dari kepungan mata yang menyelidik, menghakimi, menghina, dan berbagai tatapan dengan arti lainnya.

Menghentikan lari dengan nafas yang tersengal-sengal, ruang kelas masih lengah hanya ada beberapa anak yang tengah bergelut dengan alat musiknya masing-masing. Bola mataku berputar mengelilingi ruangan hingga kembali fokus pada sosok wanita yang tengah duduk sendirian.

Iya tepat sekali, siapa lagi wanita yang selalu kucari kehadiran sosok wanita, jika bukan INDRI. hehehhe..

"Indri pagi! "
Sapa ku dengan senyum semanis mungkin dan betapa senangnya hatiku mendapati dirinya membalas sapaan dengan senyum manis terlukis indah pada bibir merah, sungguh indah ciptaan Tuhan.

~*******~

Detik jam terdengar nyaring, dalam sebuah ruangan besar bernuansa elegan nan mewah, warna silver nampak mendominasi ruangan tersebut. Ruang yang tertata serapih mungkin, beberapa rak buku besar dengan berbagai buku bisnis, saham, dan hal rumit lainya tertata rapih, bersih tanpa sebutir debu.

Salah satu benda yang menyita perhatian adalah meja kayu dan kursi berwarna merah terang yang menampakan martabat sang pemiliknya, dibelakangnya terpampang foto sepasang suami isteri dengan seorang anak lelaki mengenakan busana rapih nampak tersenyum bahagia dengan ukuran teramat besar.

Dua orang lelaki dengan wajah dan perawakan sama persis seperti foto yang terpampang itu kini saling menatap, seulas senyum penuh wibawa terpancar dari lelaki yang kini tengah duduk di kursi bak Raja, tepat di depan seorang pemuda nampak tengah mengamati selembar foto wanita.

"setuju kan?," Ujar lelaki paruh baya sura penuh wibawa namun hangat.

"Dia wanita cantik dan baik percayalah padaku," lelaki dengan penuh karisma itu menatapnya penuh harap.

"Iya Appa," Balasnya

"Syukurlah, Kau memang anak Appa yang sangat berbakti. Appa bangga padamu," Kedua tangan lelaki itu terbuka lebar, tatapan hangat terpancar pada kedua manik matanya "Kemarilah sayang..."

Sang pria yang sedari tadi terdiam kaku, kini mulai melangkah berlahan untuk menyabut pelukan hangat dari lelaki yang tak lain adalah Ayah kandungnya, Sosok lelaki berkarisma penuh dengan kasih sayang Yang hangat. Seorang Ayah yang sempurna bagi keluarganya.

Dalam pelukan matanya kembali menatap selembar foto yang tergeletak pada meja kantor. "Kenapa harus DIA?," Batinnya belum bisa menerima.

Matanya terpejam, Otaknya kembali mencerna kejadian mengikutkan, ini begitu rumit baginya hingga membuat dadanya terasa sesak.

Selang beberapa saat pelukan itu mulai merenggang, dengan cepat jemarinya mengusap wajah dengan kasar, mimiknya berubah dalam sekejap hanya karena tak mau membuat sang ayahnya merasa khawatir.

Seulas senyum kembali Ia pamerkan, sekilas nampak begitu tulus dan menyejukkan hati, lelaki itu bak aktor ulung yang mahir mengendalikan ekspresi hanya dalam hitungan detik saja wajahnya nampak tenang dengan senyum ceria khasnya.

Entah harus mendeskripsikannya sebagai sosok yang hebat, sosok bertopeng, atau sebutan kasar seperti orang munafik? Yang terus-menerus menutupi rasa sakitnya, berulang kali membohongi diri sendiri dan semua orang di sekitarnya. Berlaga sombong seolah dia mampu mengendalikan semuanya agar baik-baik saja hanya dengan tetap mempertahankan senyum dan wajah tenangnya itu.

Munafik?

--------------------------7.49---------------------------

Hai jangan lupa vote ya

Awas kalo lupa kena marah Kris loh 😁😁

HeaAin Problem (REVISI)Where stories live. Discover now