1.⠀Fajar Fana

871 107 68
                                    

BAB 1FAJAR FANA

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB 1
FAJAR FANA

Saya tahu mereka lapar,
haus dengan dahaga yang ingin
segera saya tuntaskan pula.




















MANEKEN-MANEKEN ITU berdiri dengan angkuh, hening dalam kebuasan pikiran saya. Tanpa busana, juga tanpa ekspresi manusia. Tatapan kosong mereka seakan tiada berdosa, laksana sekawanan burung bangkai yang tak sabar hendak menghadapi hidangannya. Saya tahu mereka lapar, haus dengan dahaga yang ingin segera saya tuntaskan pula.

Mereka menginginkan perjamuan. Mereka menginginkan ritual tahunan. Mereka menginginkan pesta.

Saya memandang ke sekeliling kamar. Semua barang saya sudah dipak dengan rapi di dalam sebuah koper besar dekat pintu. Cat dinding yang berwarna hijau zaitun tampak menyedihkan ketika saya balas menatapnya, seakan berbisik, "Kami akan merindukan Anda, pasti."

Saya dulunya selalu merasa ruangan ini terlalu kecil, tetapi semakin saya menikmati setiap prosesnya, semakin saya mencintai tempat ini. Sayang sekali, saya tak bisa tinggal lama. Saya harus bergegas.

Saya menatap dengan nanar pada tempat tidur tunggal dekat jendela. Seberkas cahaya matahari masuk dan menyorot papan tempat tidur dengan syahdu. Sudah sekian lamanya saya tak merasakan cinta kasih. Saya tersenyum kecut, sembari membuat janji dalam hati.

Orang-orang berkata, luka yang ditorehkan pada tubuh lambat laun akan menghilang juga, benar berborok tetapi tiada lagi berdarah. Orang-orang berkata pula, luka yang tersimpan di dalam tubuh—bukan, bukan luka dalam tubuh sebagaimana orang-orang berpendidikan itu senantiasa peringatkan, tetapi luka yang ada, luka yang tak tampak dan tak terasa, tetapi jelas masih di sana. Luka-luka yang membuat tahun-tahun berikutnya suram dalam rasa takut yang tak pernah dipandang eksistensinya.

Kadangkala racauan pikiran saya menggila dalam benak. Terkadang saya tak mampu menahan diri untuk tak terjaga, tak mampu menahan diri untuk tak mengingat.

Saya menunggu.

Saya menolehkan kepala kepada pria yang terbujur kaku di lantai. Matanya beku, mendelik pada langit-langit. Teror akan keadaan yang berbalik masihlah membayang pada roman wajahnya. Maneken-maneken itu berdiri mengelilinginya, senyap dalam amarah yang telah terbalaskan.

Pria itu terbaring di tengah kubangan darahnya yang mulai mengering pada karpet di lantai apartemen saya. Sebilah pisau masih tertancap di perutnya. Lidahnya menyembul keluar, kini menampakkan warna yang mulai kelabu. Andaikata saya tak hendak bersegera pergi, pastilah saya akan sangat terganggu dengan aroma yang menguar dari tubuh tak bernyawa itu.

Mereka semua sama saja. Beberapa digerakkan ambisi mengejar kehidupan fana, beberapa lagi membawa dosa yang bergantung di antara kedua paha sembari bibirnya tak henti mengucap doa. Pria yang satu ini, contohnya, mendambakan nama besar dan hadiah berlimpah. Ia seakan menjadi bukti bisu bahwa hawa nafsu manusia tak akan pernah ada habisnya.

Saya menunggu.

Saya mematutkan diri di depan cermin untuk yang terakhir kali, mengagumi refleksi saya. Dalam balutan gaun putih selutut yang selalu menjadi favorit saya, saya merasakan nostalgia hari-hari lalu, pada wajah-wajah samar yang selalu dapat saya ingat tatkala pikiran saya sedang jernih. Tidak pada saat ini, tentunya.

Saya berjalan ke arah koper, menariknya dengan pelan-membuka pintu, menutupnya, lalu berjalan sepanjang koridor dengan hentakan samar.

Ketika saya melewati unit apartemen terakhir yang ada di koridor itu, saya berhenti sejenak. Saya menarik napas, mencoba menemukan bukti keberhasilan rencana saya. Pikiran saya kembali melayang pada hal-hal yang baru saja saya lakukan pada pria dalam apartemen di ujung koridor itu. Ia tertidur lelap, tak akan pernah lagi terjaga. Mungkin noda darah pada dindingnya perlu dibersihkan dengan pemutih, tidak lebih. Tampaknya saya memberi polisi sedikit pekerjaan ketika mereka kemari nantinya. Saya juga memberi mereka pemandangan tak biasa kala mereka tiba.

Setitik rasa sepi melingkupi hati saya ketika kesunyian koridor apartemen memantulkan langkah saya, mengingatkan saya pada tahun-tahun yang lama berlalu. Saya menggelengkan kepala, mengusir semua ingatan itu dari pikiran. Saya tak ingin ketinggalan kereta.

Kali ini saya tahu saya dapat berhenti menunggu.

Penantian saya terbayar pada akhirnya.

Dari keheningan pagi, sayup-sayup terdengar suara panik dari koridor di lantai kedua. Suara itu semakin nyaring dan tak berirama, memberi gambaran kondisi si empunya.

"KEBAKARAN! KEBAKARAN!"

Ketenangan pagi buta pecah seluruhnya. Riuh-rendah suara orang-orang di bangunan apartemen, jeritan bersahut-sahutan tatkala kantuk yang melingkupi mereka direnggut paksa: suara derap kaki-kaki yang berlari, teriakan, juga kehebohan yang tak kuasa saya dengar. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk pada akhirnya bisa berbaur dengan orang-orang mengantuk yang tengah berlari, diliputi ketakutan akan api yang menyebar.

Saya menatap bangunan apartemen yang hampir terasa seperti rumah itu untuk terakhir kali. Bayangan akan leher yang digorok secepat kilat merasuki ingatan saya. Saya mengerjap sembari menggosokkan tangan, mengusir dingin yang menjalar perlahan.

Fajar baru saja menyingsing. Maneken-maneken yang saya tinggalkan di sana lambat laun pastilah akan dilahap api. Setidaknya, pria-pria yang mati itu tidak sendiri. Para maneken telah merebut kendali.

Ritual berakhir, untuk saat ini.

Maneken-maneken itu mendambakan pesta yang lain lagi.









hi, darlings!

apa kabar? kuharap segalanya selalu baik.

bab pertama ini kudedikasikan untuk artheta sebagai orang pertama yang menemukan dan meninggalkan jejak di buku ini. terima kasih, ari! kuharap kamu menyukai ceritanya

aku akan dengan senang hati mendedikasikan bab-bab selanjutnya untuk para pembaca yang meninggalkan komentar pada buku ini. jadi, jangan sungkan memberi komentar, baik itu kritik maupun saran ya!

bagaimana dengan bab pertama ini? apa kalian mulai bisa menebak?

titipkan pesan dan kesan kalian di sini ya! kritik dan saran kalian juga akan sangat diapresiasi. bakal kujadikan bahan untuk perbaikan di masa mendatang, pastinya.

terima kasih karena sudah bersedia singgah. sampai jumpa di bab kedua PESTA PARA MANEKEN!

with love,
PEM PARENTI

PESTA PARA MANEKENWhere stories live. Discover now