Siapa sangka, alumni pesantren yang cupu sepertiku harus masuk ke sekolah terelit di Jakarta. Perkumpulan anak orang kaya dan juga cogan. Hal pertama yang kupikirkan saat masuk sekolah ini, aku harus siap di bully. Aku harus menjaga pandanganku dari berbagai jenis makhluk yang bernama laki-laki. Kuputuskan jadi bongkahan es dimanapun berada. Kalian harus tahu, aku harus menjaga hafalan Quranku dengan menundukkan pandangan. Dan sekolah ini, adalah godaan terbesar. Aku mohon papa, mama, aku pengen balik ke pesantren. Lebih baik jadi nyai dari pada menjadi ilmuwan seperti yang ada di pikiran mama! Tapi ada satu orang yang selalu memperhatikanku, dia sering mendapatiku menangis dan memberikanku dua lembar tissue. Katanya satu buat ngelap air mata, satunya buat ngelap ingus. Ini kisahku, bertahan dengan iman di tengah zaman milenial.