PROLOG

92 41 18
                                    

Setelah seharian hujan, sore ini mendadak reda, matahari muncul dengan wajah kehausan, dengan tergesa mereguk sisa air di cekung cekung aspal. Senja cerah jatuh di pantai, ia tersenyum menawan mengulur salam perpisahan. Semburat cahaya membias merah, merubah warna langit yang memayungi kota Karawang, menyapu persoalan siapa saja yang memandangnya.

Tapi tidak bagiku, kerisauan dan kegelisahan hidup sepanjang hari senantiasa aku alami. Aku tahu semua telah terjadi, kefanaan ini membuatku lemah tak bernyali. Aku mendongakkan kepala, berharap pada langit agar yang fana bisa menjadi nyata. Tugas tangan ini sedari tadi hanya untuk berdusta, sekedar menghapus airmata dari netra. Ku tanya hati, apakah kita bisa kembali berbagi cerita, lalu pulang bersama? Aku tidak tahu, karena aku tidak punya harapan.

Terhitung sudah lebih dari satu tahun lamanya, jiwa yang terluka ini pergi membawa segenggam cinta. Tetapi hal ini tidak bisa dianggap berlalu begitu saja. Seperti tawa yang kini tak lagi bersama, akhirnya suara itu fana. Kau datang seperti bahaya yang tiba-tiba mendorongku untuk jatuh lagi. Entah dalam cinta atau kebodohanku sendiri. Aku jatuh dan terjebak. Diantara inginku memilikimu dan anganku mencintaimu.

Hari ini, aku masih menjadi pluviophile-mu. Aku rela dijatuhi derasnya rindumu padaku.

----

Hai, maaf ya aku masih random.

Jangan lupa votement ya. Jangan jadi silent reader!

pluviophile-mu.

PLUVIOPHILEWhere stories live. Discover now