Panik!

21.1K 3.1K 27
                                    

Tinggal dan besar di ibu kota membuat Ilham terbiasa dengan kemacetan yang kadang membuat kepalanya pening. Bunyi klakson dari orang-orang tak sabar menambah kesan ruwet jalanan Jakarta.

Bola mata bulat dengan pupil cokelat terang milik Ilham menelusuri jalan raya. Mencari sekiranya hal yang mampu membuatnya sedikit menghilangkan penat menunggu kemacetan.

Seorang anak lelaki dengan pakaian lusuhnya, membuat Ilham tersenyum miris kala mobil-mobil yang anak itu hampiri tidak ada yang mau membuka sedikit saja kaca mobil mereka, untuk memberi waktu si anak tersebut menawarkan dagangan.

Ilham membuka kaca mobilnya full. "Dek sini!" Ujarnya sambil menyebulkan kepala lewat kaca mobil. Melambai pada anak lelaki itu.

Dengan langkah semangat dan senyum merekah anak lelaki tersebut menghampiri Ilham. Melupakan beban yang ia bawa dikedua tangannya. Wajahnya penuh dengan bulir-bulir keringat.

"Abang mau beli yang mana?" Tawar anak lelaki tersebut secara langsung.

"Saya mau beli air mineral 5 sama mau beli tissuenya 2!" Kata Ilham sambil menperhatikan anak tersebut menyiapkan pesanan Ilham.

Di usia anak lelaki yang sekitar sepuluh tahun. Ilham salut dengan semangatnya berjualan. Tidak menyerah dengan kehidupan atau memilih untuk menjadi pengemis.

"Terimakasih ya bang! Abang pembeli pertama. Alhamdulillah bisa beli obat ibu!" Katanya dengan senyum lebar memperhatikan deretan giginya yang tak beraturan. "Ini Bang!"

"Sama-sama. Semoga Allah berikan kelancaran dan rezeki yang berkah!" Ujar Ilham sambil menyodorkan uang pecahan seratus ribu setelah menaruh belanjaan miliknya di kursi belakang. "Kembaliannya untuk kamu dan ibumu!"

Anak kecil tersebut menggeleng menolak pemberian Ilham, dengan tegas dia mengatakan. "Ibu bilang, berapa pun uang dari jualan. Kita harus bersyukur. Walau kita orang miskin jangan sampai orang lain mengasihani kita. Biar Allah saja yang mengasihani kita!"

"Memangnya apa yang salah kalau kita menerima belas kasih orang lain?" Tanya Ilham memancing jawaban indah dari didikan seorang ibu yang luar biasa.

Anak lelaki itu mengusap dahinya yang berkeringat. Senyumnya membuat matanya menyipit. Kulit cokelatnya mengkilat dibawah terik matahari.

"Tidak ada yang salah Bang! Tapi, ibu juga bilang kalau aku terbiasa menerima belas kasih orang lain. Nanti aku jadi anak yang tidak mau kerja keras. Lalu, selalu mengharapkan orang lain. Itu tidak baik kata Ibu!"

Ilham tersenyum lebar mendengar jawaban anak lekaki tersebut. Masyaa Allah! Anak yang didik dengan pemahaman yang baik ditangan yang tepat memang tidak akan mengecewakan. Benar adanya madrasah pertama seorang anak adalah ibunya.

"Kembaliannya tolong ambil. Kalau tidak bisa untuk ibu dan kamu. Bisakah bantu abang untuk membelikan makan sore untuk anak-anak yang lainnya? Tolong doakan semoga teman abang bernama Mocyra cepat sembuh!"

Ilham menambahkan selembar lagi pecahan seratus ribu memberikannya pada anak lelaki tersebut yang kali ini tidak menolak. "Terimakasih sekali lagi bang! Semoga teman abang yang bernama kak Mocyra cepat sembuh!"

"Aamiin!" Ujar Ilham.

Nyatanya bukti mencintai itu bukan sekedar kita memberikan sebuah hadiah berupa beda. Tetapi, mengingat dan mendoakan kebaikannya lebih bermakna dari sekedar benda dunia. Dan Ilham mengakui bahwa dirinya memang masih mencintai Cyra.

Hanya doa yang bisa Ilham berikan untuk Cyra saat ini. Semoga Allah mudahkan untuk hal lainnya.

________________

Menjadi seorang owner salah satu brand pakaian muslim yang alhamdulillah mulai banyak konsumennya. Ilham cukup keteteran. Ditambah partner kerjanya tidak bisa mengecek langsung bagian produksi dikarenakan sedang mempersiapkan pernikahan. Mau tidak mau Ilham harus ke yogya untuk mengecek berapa persen produk siap di pasarkan.

Niatnya hanya dua hari di yogya, karena ada suatu hal yang mengharuskan Ilham mengecek ulang keseluruhan. Mulai dari bagian produksi, pemasaran hingga bagian packing. Mau tidak mau Ilham mengundurkan jadwal pulang. Kantor offline yang berbeda kota dengannya, sedikit menyulitkan gerak Ilham untuk mengecek bisnisnya.

Tetapi, alhamdulillahnya sudah ada solusi yang sudah dibicarakan bersama. Tinggal sekarang Ilham fokus mencari konveksi dan tim di jakarta untuk membangun brand baju muslimah yang insyaa Allah akan launcing tahun depan.

Lelah, sudah pasti. Apalagi berkendara dengan jarak sejauh itu. Entah kenapa Ilham sedang tidak ingin menggunakan mode transportasi umum sehingga dia memilih menggunakan mobil. Ternyata, pegelnya luar biasa.

"Bu, Ilham duluan ya. Badan abang pegel-pegel!" Keluhnya sambil merapihkan piring dan membawanya ke dapur. Sekalian Ilham cuci piring bekas makan dan piring-piring kotor lainnya. Prinsipnya sekecil apapun jangan sampai merepotkan ibu.

Berada diruang makan bersama wanita asing sedikit menimbulkan kecanggungan bagi Ilham. Tadi, sewaktu Ilham datang Anis sudah berada dirumahnya. Kata Ibu Anis sedang belajar memasak. Dan kemungkinan akan sering kerumah juga.

"Loh, ini ada Anis gak mau diajak ngobrol dulu, Bang?!" Tawar Ibu.

"Eh, gak usah, Bu! Kasian Abang Ilham baru pulang juga. Gak apa-apa Bang. Abang istirajat aja!" Ujar Anis dengan senyum tipis dibibirnya.

Ilham melirik Anis, mengangguk singkat menyetujui ucapan Anis. Badannya perlu untuk direbahkan.

"Saya duluan kalau begitu!"

Baru saja Ilham menaiki anak tangga, suara bel  beserta gedoran pintu di rumahnya yang bersautan membuat Ilham mengurungkan niat untuk merebahkan diri. Ilham berjalan sedikit tergesa ke arah pintu utama. Dan begitu terkejutnya Ilham mendapati Rafa tenggah berjongkok di depan pintu dengan wajah penuh dengan keringat.

"Ada apa, Raf?" Tanya Ilham membuat Rafa langsung berdiri dan menariknya. "Kenapa? Coba pelan-pelan dijelaskan!"

Rafa menarik napasnya lalu menghebuskannya, begitu ia lakukan beberapa kali sampai ritme napasnya benar-benar teratur.

"Kak Cyra!" Ujar Rafa dengan nada bergetar menahan tangis. "Kak Cyra tadi bilang ke Rafa kepalanya sakit banget terus gak lama mimisan. Di-di rumah gak ada siapa-siapa Bang! Tadi bunda pamit pergi bentar. Terus, terus ayah lagi ke Bandung!"

Rafa menggenggam tangan Ilham erat. Kini bocah tersebut bahkan sudah menangis. Rafa mungkin panik dan khawatir melihat kakaknya dengan kondisi tidak baik-baik saja. Ditambah tidak ada orang tua di rumah.

"Tolong bawa kakaku ke rumah sakit, Bang!" Isaknya. "Aku udah telpon bunda. Tapi bunda gak angkat panggilannya. Telpon ayah, ayah suruh Rafa ke rumah Abang Ilham minta bantuan sebelum Ayah sampai!" Kali ini Rafa memeluk Ilham. Dengan suara isak tangis yang semakin menjadi-jadi.

"Tunggu sebentar. Abang ambil kunci mobil dan bilang ke ibu! Rafa berdoa dan tenang."

Ilham berjalan dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya berbeda sekali ketika berbicara dengan Rafa dan saat ini. Tadi, Ilham pura-pura tenang agar tidak menimbulkan perasaan cemas berlebih pada Rafa.

"Bu tau kunci mobil Ilham?" Tanya Ilham sedikit berteriak. "Bu maaf!" Lanjutnya ketika sadar telah tidak sopan dengan ibunya.

Ibu memegang bahu Ilham pelan. Menanyakan apa yang sedang terjadi lewat sorot matanya.

"Cyra sakit. Ilham mau bawa dia ke rumah sakit. Bunda sama Ayah gak ada di rumah. Rafa di depan sedang nangis. Bu tolong bantuin Ilham cari kunci mobil!" Lelaki itu bergetar ketika berbicara. Tergesa mencari kunci mobil.

Di sisi lain, ada Anis yang memperhatikan semua gerak-gerik Ilham dengan perasaan sesak yang perlahan menjadi-jadi. Raut wajah Ilham yang benar-benar khawatir bahkan menomor duakan kesehatannya sendiri, sudah terlihat jelas bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibanding Cyra.

Karena cinta itu memang tidak bisa diprediksi jangka waktu dan siapa pemiliknya. Cinta itu fitrah yang Allah berikan pada setiap hamba.

_______________

Bismillah.

Terima kasih yang sudah mau membaca dan vote cerita saya :) Vote dan komen kalian membuat saya semangat update cerita.

Syukron🌼❤

Tetangga Tapi Nikah (END)Where stories live. Discover now