1 | Pertama dan Awal dari Segalanya

7.4K 1.1K 806
                                    

Akan selalu ada hangat yang merayap bersama lembut gesek dedaunan di luar. Akan selalu ada tawa yang mengisi saat meja makan itu dipenuhi hidangan untuk sarapan. Namun, sejauh Gara menikmati semua, rasanya tetap ada yang kurang. Karena meski di hadapannya ada Mama, satu kursi kosong yang ditinggalkan Papa akan tetap menjadi cacat yang membuat segalanya tak lagi sempurna.

Bagaimanapun Mama berusaha membuat semua terlihat baik-baik saja, Gara tahu, di rumah ini, tidak ada lagi yang sama. Perginya Papa adalah luka tak kasatmata yang akan terus menganga, untuk semuanya.

"Sayang, Mama hari ini pulang malam lagi kayaknya. Kamu mau makan sama apa nanti? Biar Mama orderin."

Topik sederhana di meja itu kembali dibuka setelah sebelumnya patah oleh dering ponsel Mama yang menggema tiba-tiba. Gara yang awalnya tidak peduli pun sekarang terpaksa mengulas senyumnya.

"Terserah Mama aja." Cowok itu membawa potongan besar udang ke mulutnya, berusaha terlihat biasa. Ia sudah lelah menyampaikan betapa ia tidak menyukai sikap Mama. Untuk itu ia mencoba diam dan menerima, berharap wanita itu akan menyadari semua dengan sendirinya.

"Kok terserah Mama? Kan kamu yang mau makan."

Memangnya kapan wanita itu pernah mendengar apa maunya? Sejak kecil, Gara terbiasa hidup di bawah aturan Mama. Ia melakukan segalanya sesuai apa yang wanita itu minta. Di rumah ini, keinginan Gara tidak pernah ada artinya. Sia-sia.

Untuk itu ia hanya tersenyum dan mencoba menatap Mama setulus yang ia bisa.

"Mama pasti lebih tau apa yang aku suka." Kalimat Gara terdengar seperti sanjungan, padahal sebenarnya ia sedang menekan. Mencoba menyampaikan bahwa ia keberatan. Namun, Mama memang tidak pernah mengerti apa yang ia inginkan.

"Oke, kalau gitu nanti Mama order sekalian buat Mama makan siang di kantor. Nggak apa-apa, kan?"

Tidak. Gara lebih suka mi instan yang ia masak sendiri dengan tangannya atau makanan kaki lima yang diam-diam sering dibeli Raja. Ia lebih suka memilih semua sesuai keinginannya daripada menuruti mau Mama. Namun, ia tahu penolakannya pasti hanya akan sia-sia. Mama akan tetap keras kepala dengan bersembunyi di balik kedok bahwa semua wanita itu lakukan demi kebaikannya.

Satu-satunya yang bisa Gara lakukan hanya mengangguk dan menarik ujung bibirnya. Berusaha tetap menjadi Gara yang penurut dan tidak pernah melawan Mama. Walau dengan begitu ia sendiri yang tersiksa.

"Suka," jawab Gara singkat. Ia bisa melihat Mama tersenyum setelahnya, seolah ia baru saja melakukan sesuatu yang luar biasa. Iya. Memang sesederhana itu membuat Mama bangga. Ini keahlian Gara, yang tidak pernah mampu dilakukan oleh Raja.

"Oh, iya, ngomong-ngomong sekolahmu gimana? Mama udah lama lho, nggak dengar kamu cerita. Baik-baik 'kan kamu di sekolah? Teman-temanmu nggak pada nakal, kan?"

"Biasa aja, Ma. Nggak ada yang wow yang bisa aku pamerin. Dunia sekolah yang sebenarnya tuh enggak kayak yang ada di sinetron."

Di detik itu tawa Mama pecah bersama uap kopi yang mengepul di udara. Tetapi Gara justru mendecak dan berhenti mengunyah makanannya.

"Mama nggak percaya?"

"Mama ketawa bukan karena nggak percaya, Sayang."

"Terus kenapa?"

Sejenak wanita itu mengangkat gelas kopi dan menyesap buihnya. Kemudian ia tersenyum, tepat ketika alas benda itu kembali menyentuh meja.

"Dulu kakakmu juga jawab gitu pas Mama tanya. Ekspresi kalian berdua pun sama. Mama kadang nggak nyangka, kok bisa anak-anak Mama selalu kompakan, dalam segala hal?"

Sebelum Senja Tenggelam Where stories live. Discover now