21 | Retakan Panjang Bernama Luka

5.9K 900 688
                                    

Dinding-dinding rumah itu masih temaram. Penerangan yang melebihi kata sempurna di sana ternyata tidak pernah cukup untuk menjadikan rumah itu terasa nyaman. Padahal dulu saat Laksa masih tinggal bersama Ayah di rumah kumuh yang cat temboknya bahkan mulai pudar, mereka hanya punya sedikit penerangan, yang kadang-kadang juga harus terkena pemadaman. Tetapi di sana rasanya ia tidak pernah kekurangan.

Sepertinya benar, hidup di tempat mewah tidak menjamin sebuah kenyamanan. Namun, untuk kembali ke rumah Ayah dan hidup sendirian juga tidak mungkin Laksa lakukan. Dulu, jauh sebelum kepergian Ayah, lelaki itu pernah berpesan bahwa saat ia berpulang, Laksa harus kembali kepada keluarga tempat seharusnya ia tinggal. Memulai hidup baru, dan meninggalkan luka masa lalu yang pernah ia dapatkan.

Maka saat hari itu Raja datang—tepat dua hari setelah Ayah dimakamkan, kemudian menawarkan Laksa untuk ikut pulang bersamanya, anak itu tidak menolak. Demi memenuhi pesan terakhir Ayah. Di samping itu, sebagai anak yang bahkan masih di bawah umur, Laksa tahu bahwa hidup sebatang kara bukan perkara mudah. Kehidupan yang harus ia jalani tidak akan sesederhana cerita fiksi yang sering ia baca di platform bernama wattpad, maupun kisah yang digambarkan di serial televisi kesukaan Ayah.

Lagipula, meski sedikit, di rumah ini ia juga masih memiliki hak. Jika bukan sebagai putra Papa Maheswara, setidaknya ia masih memiliki tempat sebagai adik Raja.

Anak itu baru selesai mengirim doa untuk Ayah dan Gara, ketika ia membuka jendela kamar dan melihat Raja duduk di lantai teras di bawah sana. Sendirian. Dengan gitar di pangkuan yang kemudian ia petik sembarangan.

Senyum Laksa mengembang. Tanpa pikir panjang anak itu memakai sendalnya dan bergegas keluar. Lalu tanpa meminta izin ia duduk tepat di sebelah Raja yang sekarang diam.

"Gue nggak suka diganggu. Sana balik!" katanya. Tetapi seolah menulikan telinga, Laksa justru meluruskan kakinya ke depan, membiarkan dingin malam menyapu kulitnya yang telanjang.

Kemudian ia membawa kedua tangannya ke belakang, menumpu beban tubuhnya di sana dan menghela napas panjang. "Suntuk banget di dalem. Bosen. Rumah lo gede tapi boring banget, nggak boong."

"Thanks. Sekarang kalau lo mau pergi, gue juga nggak akan nahan." Arah pandang Raja sudah kembali pada kunci G yang ia tekan, sebelum akhirnya satu nada sumbang terdengar. Sementara di tempatnya, Laksa mendecak pelan.

"Sumpah mulut lo jahat banget, Kak. Bener-bener enggak berperikelaksaan. Gue ini udah sebatang kara. Ayah nggak punya, Ibu nggak tau minggat ke mana, duit pun nggak ada. Punya kakak satu aja ilang akhlaknya. Kurang ngenes gimana coba? Cocok banget ini udah dijadiin tokoh wattpad kesenengan ciwik-ciwik." Ada tawa singkat yang Laksa selipkan di antara kalimatnya. Berharap dengan begitu canggung di sana akan mencair bersama tawa dan jarak di antara mereka akan terpangkas hingga tak lagi menyisakan apa-apa.

Namun, Laksa tidak menyadari bahwa kalimatnya justru membuat jemari Raja berhenti memetik dawai. Untuk sejenak cowok itu terdiam, membiarkan jeda di antara mereka terisi oleh sisa-sisa tetes gerimis yang menari di permukaan dahan. Sebelum akhirnya satu dehaman pelan darinya berhasil mengembalikan detik ke keadaan normal.

"Gue udah bilang, kalau lo di sini cuma mau ganggu, balik ke dalem sana! Berisik banget lo." Kemudian Raja kembali memetik dawai gitarnya, mengalunkan nada sembarangan yang ajaibnya masih terdengar begitu sempurna.

Sementara Laksa justru tertawa, padahal tidak ada yang lucu di sana. Alih-alih pergi, anak itu justru memerhatikan bagaimana jemari Raja bermain dan membentuk nada. Indah sekali sampai rasanya ia tidak ingin ke mana-mana. Laksa ingin tetap ada di sana. Duduk di samping Raja, mendengar hela napasnya yang senada bisik pelan angin dari luar sana. Sembari diam-diam menggumamkan pada dirinya sendiri bahwa ia belum sebatang kara. Ia masih punya keluarga. Kakaknya. Raja.

Sebelum Senja Tenggelam Where stories live. Discover now