20 | Suatu Hari, Ketika Langit Memihakku

4.2K 850 741
                                    

Dulu, Laksa tinggal di bawah atap renta yang bahkan air hujan dapat menembus celah-celahnya. Di antara dinding-dinding kumuh yang bahkan telah kehilangan kokohnya. Juga di hadapan meja makan lapuk yang setiap pagi hanya diisi nasi putih bersama potongan telur dadar dan satu gelas kopi pahit milik Ayah.

Namun, di sana Laksa tidak pernah merasa kesepian. Ayah berhasil membuatnya merasa kecukupan di tengah kesederhanaan. Sementara sekarang, ia tinggal di rumah yang besar di mana ia tidak perlu lagi cemas akan kehujanan. Setiap pagi, hidangan memenuhi meja makan dari sudut kiri ke kanan sehingga Laksa tidak perlu takut kelaparan. Namun, di tempat ini ... ia merasa sendirian.

Nasi di piring Laksa sudah hampir tandas ketika ia mendengar suara gelas kopi yang kembali menyentuh badan meja. Sejenak anak itu mengangkat pandangan, menatap Ibu Kirana yang duduk tenang dengan ponsel di tangan. Sejak awal wanita itu diam dan Laksa cukup tahu diri untuk tidak memulai pembicaraan.

Kemudian pandangannya bergeser pada Raja yang juga diam. Cowok itu duduk tepat di sebelah Laksa, tetapi rasanya mereka seperti sejauh samudra. Ada sekat panjang yang memisahkan bahkan ketika mereka duduk bersama. Ada satu ruang dalam diri Raja yang hanya terisi oleh nama Gara, yang selamanya tidak akan pernah terjangkau oleh Laksa.

Anak itu mencoba mengalihkan pikiran dengan menghela napas panjang, kemudian berniat melanjutkan makan. Tetapi suara kaki kursi yang didorong kasar ke belakang menahan niatnya. Sekarang ia bisa melihat bagaimana Raja berdiri dan menyambar tasnya.

"Aku berangkat, Ma," pamitnya singkat.

"Sarapanmu habisin dulu."

Ibu Kirana ternyata menyuarakan kalimat yang sama seperti yang diam-diam Laksa pikirkan di kepala. Namun, di detik itu juga tatapan Raja tertuju padanya. Tidak lama, sampai akhirnya cowok itu kembali membuka suara.

"Aku udah kenyang. Lagian suasananya mulai nggak nyaman," ucapnya. Setelah itu ia benar-benar melangkah pergi. Mendiamkan pekik ringan Ibu Kirana yang memintanya berkendara dengan hati-hati.

Dalam hitungan detik, punggung cowok itu hilang. Lalu suara mesin meraung dari halaman depan, memecah dingin embun yang perlahan turun, dan setelahnya semua kembali tenang. Raja sudah melesat ke jalanan, sekarang tinggal Laksa bersama Ibu Kirana di hadapan meja makan.

Wanita itu masih sibuk dengan ponsel, sepertinya urusan pekerjaan. Untuk itu Laksa tidak ingin menganggu. Pelan-pelan ia bangkit, meraih piring bekas makan Raja juga milik Ibu Kirana lalu menumpuknya jadi satu dengan miliknya.

"Permisi, ya, Tante."

Kemudian tanpa menunggu balasan, anak itu bergegas membawa piring kotor yang telah ia kumpulkan ke wastafel. Mencucinya dengan hati-hati, sambil sesekali melirik Ibu Kirana yang masih belum beralih dari ponsel. Anak itu menimbang cukup lama, haruskah ia memulai bicara atau tetap diam saja. Hingga akhirnya setelah menyusun kata sedemikan rupa di kepala, anak itu mengecilkan aliran air dari wastafel, kemudian membuka suara.

"E ... Tante, aku izin ngomong nggak apa-apa, ya? Mulutku emang nggak betah banget kalau suruh diem lama-lama."

Laksa bisa melihat Ibu Kirana mengangkat pandangan sebentar dari layar ponsel yang menyala, sebelum fokusnya kembali ke sana.

"Mau apa?" tanya wanita itu. Membuat Laksa lega karena itu artinya ia diperbolehkan bicara. Kedua, karena dengan begitu ia dapat pelan-pelan memangkas jarak di antara mereka.

"Mau tanya aja, sih. Nanti Tante pulang jam berapa?"

Masih sambil menggulir layar ponsel, Ibu Kirana menjawab seadanya. "Jam lima."

Senyum anak itu seketika mengembang. Maka dengan segera ia menyelesaikan piring terakhirnya dan mematikan keran. Anak itu kemudian bergegas meninggalkan meja makan dan membiarkan Ibu Kirana kembali fokus pada apa yang sebelumnya ia kerjakan. Lalu kembali lagi dengan satu buah payung lipat warna biru terang yang langsung ia letakkan di hadapan Ibu Kirana. Tepat di samping gelas kopinya.

Sebelum Senja Tenggelam Where stories live. Discover now