Intro 2; Sagara Maheswara

9.9K 1.3K 726
                                    

Jika ada hal yang lebih mengerikan dari kehilangan, itu adalah menghilangkan sesuatu yang paling berharga. Satu yang tidak dapat ditukar dengan harta. Kenangan. Karena kenangan adalah waktu yang dibekukan untuk tetap tinggal, maka menghilangkannya berarti memaksa diri sendiri untuk melupakan.

Sebelumnya, Gara hanya akan diam saat miliknya hilang. Sebagai si teledor yang suka sekali meninggalkan barang sembarangan, ia tidak pernah keberatan. Saat pensil barunya berkali-kali tertinggal di meja kelas dan lenyap keesokan paginya, ia tidak pernah mempertanyakan. Saat hoodie mahal yang ia beli online dari hasil tabungannya sendiri lupa ia bawa pulang dan hilang, ia juga tidak menaruh curiga kepada siapa-siapa.

Tetapi kali ini berbeda. Ia baru saja menghilangkan jam tangan dari Papa. Kenangan terakhir yang lelaki itu tinggalkan sebelum tiada. Gara tidak bisa kehilangannya. Maka setelah menyadari benda itu menghilang dari tempat di mana seharusnya ia berada, buru-buru ia meminta Pak Adi—supir pribadi Mama—mengantarnya kembali ke sekolah. Padahal saat itu ia baru saja menjejak rumah.

Cowok itu menghela napas panjang, kesal pada dirinya sendiri. Ia sudah menelusuri tiap jengkal selasar dan menjelajah ruang kelasnya yang tak lagi berpenghuni. Ia bahkan pergi ke perpustakaan juga lapangan bulu tangkis, tempat yang tadi sempat ia kunjungi. Tetapi benda seharga nyawa itu tetap tidak ia temui.

"Tolol banget gue. Kenapa bisa ilang coba?" Cowok itu mendecak dengan napas yang kembali ia hela keras.

Ini salahnya. Dari awal, ia memang tidak pernah ditakdirkan untuk dapat menjaga apa-apa. Karena semua yang berusaha ia jaga selalu berakhir dengan menjadi tiada. Pertama mimpinya, lalu Papa, dan sekarang kenangan terakhir darinya.

Seketika Gara diam. Udara di telapak tangannya tiba-tiba terasa seperti api yang membakar. Kejadian ini menambah panjang catatannya sebagai orang yang hanya bisa menghancurkan. Yang tidak pernah pandai menggenggam. Karena setiap yang ia genggam akan selalu berhasil ia remukkan. Lalu hilang.

Cowok itu kembali ke mobil dengan pintu yang ia banting kasar. Menggaungkan dentum dahsyat bersama rintik gerimis yang mulai datang. Lihat, bahkan langit ikut mengejeknya yang tidak pernah becus mempertahankan. Semesta memang selalu tahu cara membuatnya merasa menjadi pecundang.

"Ketemu, Mas?"

Suara Pak Adi dari balik kemudi mengalihkan fokus Gara. Tapi hanya sebentar, sebelum cowok itu memejam dan menghela napas panjang.

"Nggak. Udah ilang. Kayaknya anak-anak sini mata duitan. Mereka tahu barang mahal yang bisa dijadiin uang."

Sesungguhnya Gara tidak pernah memandang sesuatu melalui harga. Kali ini pun sama. Baginya benda itu bermakna bukan karena dibeli dengan uang berjuta-juta. Tetapi karena kenangan yang tersimpan di baliknya. Jam itu ia dapat dari Papa saat ia berhasil mendapat ranking kedua di bangku Sekolah Menengah Pertama. Prestasi yang dipandang sebelah mata oleh semua orang karena menjadi yang kedua berarti tidak sempurna, tetapi dihargai luar biasa oleh Papa.

Gara masih ingat bagaimana lelaki itu tersenyum bangga dengan dua jempol terangkat di udara. Katanya, Gara sudah melakukan yang terbaik. Menjadi yang kedua bukan berarti tidak sempurna. Semesta hanya sedang memberinya waktu agar tidak lagi jatuh ketika nanti ia berhasil menjadi yang pertama. Dan kalimat itu tertanam kuat di dada Gara, mengakar, sampai sekarang. Sampai jasad lelaki itu menyatu dengan tanah di luar sana. Sampai memori tentangnya terkubur oleh waktu yang beranjak meninggalkan pijakannya.

Tiba-tiba cowok itu merasakan panas yang membara di kelopak mata. Sebelum suara Pak Adi terdengar senada rintik gerimis yang mendinginkannya.

"Jangan gitu, Mas. Bisa jadi tadi ada teman Mas Gara yang nemuin di kelas, terus disimpenin dulu. Besok coba ditanyain lagi, Mas."

Sebelum Senja Tenggelam Où les histoires vivent. Découvrez maintenant