3 | Dia yang Menjadi Semestamu

5K 998 727
                                    

Sejak hari di mana semesta menghadirkannya, Laksa tidak pernah mengatakan bahwa ia tidak bahagia. Meski yang ia miliki hanya raga tak berdaya juga cacat di mana-mana, tidak pernah ada keluh yang ia suarakan kepada siapa-siapa. Bahkan jika nanti, semesta juga yang akan meminta ia melepas segalanya; entah harta atau nyawa, ia akan tetap mengatakan bahwa semua baik-baik saja.

Karena dari awal, hidup Laksa memang telah ia pasrahkan. Ia tidak pernah menuntut bahagia meski sebenarnya bisa. Tidak pernah meminta yang sempurna jika cacat saja sudah membuatnya bahagia. Ia juga tidak pernah berniat mengejar keluarga tempat di mana seharusnya ia berada, kendati ia punya hak untuk itu semua.

Baginya, memiliki Ayah yang serba bisa sudah sangat sempurna. Terlepas dari statusnya yang hanya anak angkat, atau fakta lain seperti hidup sederhana di bawah atap renta juga harta yang tak seberapa. Laksa sudah cukup bersyukur karena masih ada tempat yang menerimanya. Setidaknya masih ada Ayah, yang tulus mencintainya, meski ia bukan siapa-siapa.

"Maaf, ya, Nak. Kamu jadi harus Ayah suruh ambil laundry dulu gara-gara kemarin Ayah lupa minta tolong mbaknya buat antar ke rumah. Jadi ngerepotin kamu, nih, pasti Ayah."

Suara Ayah dari panggilan telepon yang ia loud speaker seketika menyentak lagi kesadaran Laksa. Buru-buru cowok itu mengerjap dan memasukkan buku catatannya ke dalam tas. Kelas yang sudah kosong membuatnya merasa bebas melakukan apa saja, termasuk membiarkan suara Ayah menggema ke seluruh penjuru ruangan sembari ia membereskan alat tulis yang berserakan.

Kebiasaannya di jam terakhir adalah mendengar guru menjelaskan, tanpa mau mencatat. Jadi saat semua orang beranjak, ia akan tinggal, meminjam buku catatan si murid paling pintar dan menyalin pakai jurus kilat.

"Ayah jangan bilang gitu, dong! Gara-gara omongan Ayah, aku jadi kesindir. Ngerasa banget kalau selama ini aku jadi anak cuma bisanya ngerepotin. Untung aku ganteng, jadi Ayah nggak tega ngebuang aku. Coba kalau enggak, pasti udah dari dulu dilempar ke gorong-gorong."

Samar, Laksa bisa mendengar tawa Ayah menggema disusul batuk ringan setelahnya. Hal yang membuat cowok itu seketika berhenti dan meremat pensil di tangannya. Ada sesuatu yang menusuk dada Laksa, tetapi yang lebih menyakitkan adalah ketika ia mendengar sendiri betapa keras usaha Ayah untuk kembali tertawa. Untuk tetap terlihat baik-baik saja.

"Kamu sebaiknya jangan gede kepala. Ayah nggak mungkin besarin kamu cuma-cuma. Nanti juga kalau Ayah kepepet nggak punya duit, ginjal kamu bakal Ayah jual ke bandarnya. Atau Ayah nikahin kamu sama janda kaya raya."

Seharusnya, Laksa bisa tertawa. Atau membalas kalimat Ayah dengan lelucon lain yang lebih gila, seperti biasa. Namun, kali ini ia justru diam dan bahkan hampir mematahkan pensilnya. Cowok itu memejam lama, masih sambil mendengarkan suara batuk Ayah yang entah bagaimana ikut menyakitinya juga.

Ia tahu, Ayah tidak baik-baik saja.

"Sa, kamu masih nyimak Ayah apa malah molor di kelas? Kok nggak kedengeran suaranya?"

Di detik itu akhirnya Laksa menghela napas panjang dan memasukkan pensilnya ke dalam tas. Kemudian ia membawa ponselnya ke genggaman. Berusaha membuka lagi obrolan seolah sebelumnya tidak pernah ada pedih yang ia rasakan.

"Sst! Ayah diem dulu coba. Aku tuh lagi ngitung harta kekayaan Ayah seandainya ginjalku beneran dijual atau kalau Ayah nikahin aku sama janda yang punya tanah berhektar-hektar. Kira-kira itu duit kalau aku beliin cilok dapet berapa biji, ya?" Ada tawa yang pecah di akhir kalimat Laksa, tetapi mata cowok itu menggambarkan sebaliknya. Dan sebelum semesta benar-benar mematahkannya, ia putuskan untuk mengakhiri panggilan di sana.

Suara batuk Ayah terdengar begitu menyiksa, Laksa tidak sanggup merekamnya lebih lama.

"Ya udah, Yah, aku mau jalan sekarang aja. Ayah mau nitip apa biar sekalian aku cariin pas pulang." Meski isi dompetnya adalah angin dan uang dari Gara juga sudah ia kembalikan, kalau untuk Ayah, ia masih punya simpanan. Uang itu memang sengaja ia sisihkan, jaga-jaga kalau mendadak dompetnya kecopetan atau ia kalap menghabiskannya untuk jajan.

Sebelum Senja Tenggelam Where stories live. Discover now