32: Kemunculan Brandon

2K 201 32
                                    

"Marcio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Marcio..." lirih Gerardo lemah di antara derap langkahnya menelusuri lorong yang memiliki cahaya temaram. Tembakan Michelle tidak sampai mengenai jantungnya. Itulah sebabnya ia masih bernapas, walau nyeri. Perban putih yang membalut kepalanya kini terdapat sedikit bercak darah. Sementara kedua tangannya melingkar di antara Marcio dan Patricia. Jika mata Marcio tertuju lurus tanpa binar ketakutan, Patricia tampak syok, otaknya tidak bisa mencerna, sekujur tubuhnya gemetar.

Borgol tidak lagi mengikat di kedua tangan Patricia karena Marcio telah membukanya. Lelaki itu memungut cepat kunci dari salah satu mayat pria kekar yang tadi terkapar di lapangan usai menembak.

Udara pegap yang berbaur dengan kesesakan kini lebih dominan terasa melingkupi. Bau amis darah yang sangat tajam juga menguar ke indera penciuman mereka semua.

"Bagaimana bisa kau berakhir seperti ini?" desis Marcio kesal saat mengingat insiden di mana ia mendapati Gerardo tergeletak lemas di lantai gudang. Tak ada senjata satu pun yang digenggam Marcio sebab senjata terakhir yang digunakannya, pelurunya telah habis; termasuk senjata api yang dipungutnya di dekat mayat Wilson. "Dan sejak kapan bedebah sialan itu rela berkorban?"

Gerardo tahu maksud bedebah yang dimaksud Marcio adalah Jonas. Meski pandangan Gerardo mulai membayang, melihat wajah Marcio dari samping, tapi ia bisa menangkap setitik air mata yang melesak dari sudut mata Marcio, bercampur dengan bulir keringat yang mengalir, serta luka gores terbuka yang tampak di pipinya.

"Apa kau menangisi Jonas?" ucap Gerardo serak dan tidak bertenaga.

"Untuk apa aku menangisi orang bodoh sepertinya," gerutu Marcio pedas, tapi berbanding terbalik dengan tatapannya masih memandang ke depan, sorot kehilangan itu tampak nyata di sana. "Benar-benar memalukan. Aku tidak akan melupakannya."

Gerardo tersenyum miris, air mata juga turut merangsek di sudut matanya.

Sementara Patricia yang mendengar semua itu hanya diam. Gadis itu tidak tahu harus melakukan apa. Di satu sisi, ia benci dengan Marcio, di sisi lain, ia tidak bisa membiarkan Gerardo begitu saja ketika Marcio meminta bantuannya-untuk turut memapah. Sebab Gerardo tidak pernah bersikap buruk atau pun menyakitinya. Perjumpaan pertamanya dengan lelaki itu menyisakan kenangan baik, terlepas dengan segala yang terjadi.

Tidak seperti Marcio. Lelaki itu sungguh brengsek. Segala hal yang dilakukannya, termasuk... aksi pahlawannya tadi... tidak akan menghapus luka di hati Patricia.

Tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang ingin disamakan dengan wanita lain. Bahkan kini, gema suara Marcio di masa lalu turut berputar di kepalanya, silih berganti.

"Ya, kau bukan Laura. Kau adalah Patricia."

"Aku berjanji bahwa aku takkan salah menyebut nama lagi. Patricia, apa itu cukup?"

"Patricia.... berhenti." Di sela lamunan Patricia, suara Marcio memerintah lembut. Namun telinga Patricia seolah tuli. Tentu Marcio sadar, ada yang salah dari tatapan gadis itu, seolah Patricia kehilangan separuh jiwanya.

End Of MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang