15. 2: Laura Wesley

3.8K 285 45
                                    

Gerardo tidak menggubris teriakan kesal Marcio, justru ia sibuk memerhatikan rona malu di wajah Michelle. Gadis itu tergagap dengan mata yang terarah lurus ke depan.

"Aku tahu tenagamu takkan cukup, jadi aku tidak keberatan mendobraknya untukmu," ucap Gerardo ringan disertai senyum tulus pada Michelle.

Michelle merasa benar-benar tak nyaman. Bahkan segala hal yang ingin ia ceritakan pada Patricia terkait Gerardo kini menguap tak berbekas.

Dalam seperskian detik, ia sudah menoleh horror pada Gerardo. Lelaki itu memang tidak peka akan situasi di sekitar atau memang sengaja berakting seperti ini!

"Kau..." Kedua tangan mungil Michelle mengepal saking gemasnya.

Namun Gerardo telah mengalihkan pandangan ke depan, menampilkan mimik takjub pada Marcio yang dirudung amarah, sementara Patrcia berada di bawahnya. "Wow, Mio. Kau benar-benar nakal."

Pandangan Gerardo pun menelusuri seluruh isi kamar yang tampak kacau. Karpet berantakan, baju berceceran di lantai, dan bau aneh tercium pekat menyelimuti ruangan itu, seolah menandakan bahwa keduanya memang telah melakukannya berulang kali.

Gerardo tidak bodoh akan aroma itu. Aroma itu sangat jelas adalah aroma percintaan yang khas. Apalagi posisi Marcio dan Patricia saat ini makin menjelaskan segalanya. Keduanya bahkan tak menggenakan busana apapun di balik selimut.

"Aku tanya apa yang kau lakukan hah?!" semprot Marcio pada Gerardo yang justru dibalas dengan senyum geli.

"Aku hanya membantu seorang wanita cantik tanpa ia minta," gombal Gerardo sambil mengedipkan satu mata pada Michelle yang mendelik tajam padanya.

Sedangkan Patricia yang merona hendak bangkit tapi Marcio lekas menahan pinggulnya di balik selimut hingga membuatnya kembali terbaring.

"Kita belum selesai. Kau tidak bisa meninggalkanku." Marcio menoleh pada Patricia. Percikan gairah di mata lelaki itu belum tuntas dan Patricia bisa melihatnya dengan jelas.

Bahkan diam-diam tangan Marcio yang di pinggul bergerak naik, memainkan satu buah dada Patricia di dalam selimut, meremas, memijatnya lembut. Refleks Patricia mengigit bibir agar tidak mendesah.

"Dan kalian, apa kalian masih ingin melihat kami?" desis Marcio yang sejujurnya tak dapat menahan hasratnya lagi.

"Jadi kau masih ingin melanjutkan?" tanya Gerardo polos.

Mata Marcio yang asik mengamati wajah memerah Patricia yang berpeluh dan terlihat tersiksa akibat permainan nakal jemarinya, kini melirik tajam pada Gerardo. "Aku belum mencapai klimaks sialan! Keluar dan berikan aku privasi dengan Laura!"

Detik itu Marcio tertegun, sadar bahwa ia salah berucap. Ia memang membayangkan sosok Laura saat bercinta dengan Patricia.

"Laura?" ulang Patricia shock, wajahnya memucat menatap bola mata Marcio yang gelisah, tidak berani memandangnya lagi.

Sedangkan Michelle memicing menatap Gerardo yang menoleh padanya. "Laura Wesley?" tanyanya sarat intimidasi.

Gerardo mendesah berat. Ia melirik Marcio yang masih mengurung Patricia dan kini balas meliriknya juga. Lirikan penuh makna yang hanya diketahui oleh keduanya.

"Bukan. Tepatnya Laura Collin. Ia adalah wanita terakhir yang pernah tidur bersama Mio. Kau tahu, ingatan Mio terkadang cukup buruk."

Marcio melotot mendengar karangan indah Gerardo. Bahkan Gerardo memberikan tatapan sesal pada Michelle sembari memegang tengkuk. "Kumohon maafkan Mio. Ia mungkin sangat senang dengan wanita itu hingga ia mengira Patricia—"

Belum selesai Gerardo berucap, tamparan telak sudah didapatkan oleh Marcio. Tentu Michelle terperanjat dengan mulut setengah terbuka menyaksikan hal itu, sementara Gerardo menutup sebelah matanya, prihatin.

Patricia baru saja memberi hukuman kecil pada Marcio. Marcio sendiri hanya mematung dengan rasa kebas di pipinya. Sebelum perlahan ia menoleh pada Patricia. Tapi sekali lagi, tamparan itu dilayangkan gadis itu pada pipinya yang lain. Membuat mata Marcio terbelalak secara spontan.

"Kau benar-benar menjijikan," desis Patricia, matanya memanas. Detik berikutnya ia mendorong paksa Marcio dari atas tubuhnya hingga membuat penyatuan mereka terlepas seketika, termasuk tangan Marcio yang tadi menangkup buah dadanya.

Marcio tidak melawan ketika tubuhnya terjatuh di ranjang, matanya memerhatikan lekat Patricia yang bangkit bersama selimut membungkus tubuh. Wajah gadis itu tampak kesal, kecewa dan sebutir air mata sempat dilihat Marcio menetes dari mata Patricia. Sebelum gadis itu berlari keluar—sedikit tertatih-tatih—dengan seluruh pakaiannya yang telah dipungutnya di lantai.

"Patricia!" panggil Michelle ketika Patricia sempat menyenggol bahunya sekilas. Michelle bisa melihat Patricia masuk ke kamar di pojok ruangan, dan membanting pintu.

"Oops, aku tahu seperti apa rasanya," ceplos Gerardo spontan, lalu memijat kening dan enggan memandang Marcio yang terlentang tanpa busana di atas kasur. Tatapan Marcio terarah pada langit-langit kamar, seolah menahan kedongkolan.

"Kau benar-benar tidak tahu malu, Mio. Aku merasa gagal sebagai Kakakmu."

"Brengsek," umpat Marcio kecil, merutuki dusta sialan Gerardo.

Sementara Michelle bergegas menyusul Patricia tapi Gerardo menggapai sejenak tangannya. Refleks Micelle berbalik, memelototinya. "Lepaskan tang—"

"Tentang Laura Wesley, seluruh berita menyiarkannya, dan aku turut berduka cita atas kematian temanmu," ucap Gerardo sungguh-sungguh, membuat Michelle terdiam sesaat.

"Dan aku bersumpah, aku akan membantumu untuk menemukan pelakunya," tambah Gerardo, dan di detik itu pula, ia melepaskan tangan Michelle, isyarat bahwa Michelle boleh pergi.

Michelle lantas menatap lamat-lamat Gerardo yang menyunggingkan senyum teduh. Sinar kejengkelan di mata Michelle perlahan surut, lalu ia membalas, kelewat pelan, "Terima kasih."

Setelah itu Michelle segera memunggungi Gerardo dan mengikuti jejak kepergian Patricia. Gerardo pun hanya memerhatikan Michelle sampai hilang di balik pintu kamar lain.

"Laura Collin huh?" ungkit Marcio yang sudah selesai memakai boxer. Gerardo lantas menoleh pada Marcio yang sedang mengusap pipinya, dan mendelik jengkel padanya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kedua pipimu, tapi kau tidak seharusnya memberi alasan gila seperti itu agar aku juga mengalami hal serupa denganmu Edgar." Intonasi bicara Marcio terdengar sinis.

Gerardo malah tersenyum konyol, satu tangannya memegang pipi. "Oh, ini hadiah spesial dari Michelle untukku. Ia terlalu peduli padaku."

Lalu Gerardo melangkah masuk, mendesah singkat. "Tapi kau, apa kau tahu? Kau hampir mengagalkan segalanya lagi Mio."

Marcio tidak menggubris keberadaan Gerardo dan memilih memungut kaos dan celana pendeknya di lantai. Tepat Marcio berhasil menggenggam seluruh pakaiannya itu, detik itu rambutnya tiba-tiba dicengkram oleh Gerardo dari belakang.

"Argghhh!! Apa yang kau lakukan, sialan?!" umpat Marcio karena Gerardo menarik kepalanya ke samping, mengiringnya untuk ikut melangkah keluar kamar. Tidak ada kemarahan di wajah Gerardo, hanya ekspresi yang kelewat santai.

"Sebaiknya sekarang kita pergi dari sini dan membiarkan kedua wanita itu menenangkan diri, Mio."

Marcio mau tidak mau terpaksa mengikuti Gerardo sembari memaki kesakitan, "Arrggh! Lepaskan tanganmu sialan!"

Dan Gerardo menjawabnya dengan intonasi santai lagi, kali ini disertai kekehan kecil. "Ternyata kau masih belum berubah Mio. Tetap menggemaskan seperti dulu."

"Kau memang benar-benar gila!" Marcio mengumpat untuk kesekian kalinya di sela erangan kesakitannya. []

***

diketik 1034 kata; 16 oktober 2020

Jangan lupa follow instagram: simplegirly__ sama wattpad yaaa ❤️😘 jangan lupa juga buat voment, share dan selalu bahagia yaa!

End Of MissionWhere stories live. Discover now