BAB 25 : KEPUTUSAN

1.3K 29 0
                                    

Argan melakukan apa yang ia katakan. Setelah kepergian Edo dari kantornya beberapa waktu lalu, laki-laki berkulit putih itu langsung mengerahkan semua manajer dari setiap divisi untuk berkumpul di ruangan rapat. Tak peduli seberapa banyak pekerjaan lain yang belum selesai atau seberapa banyak karyawan yang mungkin belum sempat sarapan karena berangkat ke kantor pagi-pagi, Argan tak mengindahkan apa pun. Baginya semua bisa ditunda.

Ruang rapat yang semula grusah-grusuh akibat riuh karyawan yang penasaran ada masalah apa mereka dipanggil langsung hening begitu derit pintu terdengar dan daunnya mulai terdorong ke dalam. Sang bos muncul dari ambang pintu dengan penampilan kusut dan garis wajah turun. Dia tampak tidak baik-baik saja. Kantung matanya hitam. Auranya negatif. Jas yang tersampir di lengan bukannya di tubuh seperti biasa makin menjelaskan semuanya. Masalah besar.

Meski sudah tahu alasan mereka dikumpulkan karena suatu masalah, tapi kondisi Argan yang berantakan membuat para karyawan semakin bertanya-tanya. Masalah sebesar apa hingga bosnya yang selalu tampil apik dan rapi bisa sekacau sekarang ini.

Argan duduk di kursi paling depan seraya menghela napas ringan. Tangannya bersandar di punggung kursi, menyadarkannya akan jasnya yang belum melekat di tubuh. Alih-alih di tubuh, malah bertengger di lekukan siku. Argan lantas menatap tak enak ke arah karyawan, lalu dengan senyum canggung mengenakan jas itu dengan cepat. Setelahnya, dia berdeham. Para karyawan sudah duduk di kursinya masing-masing, menunggu rapat dibuka.

"Baik, langsung saja, saya mengundang Bapak dan Ibu ke ruangan ini karena ada masalah besar yang mendadak terjadi. Model yang akan mempromosikan produk kolaborasi antara perusahaan kita dan Rud's Company mengundurkan diri. Saya menggelar rapat ini untuk berdiskusi. Apa ada di antara Bapak atau Ibu yang ingin menawarkan solusi?" Argan membuka rapat tanpa basa-basi. Dia mengaitkan kedua tangan di atas meja dan memasang raut wajah ekstra serius.

Dalam sepersekian detik, Argan dapat menyaksikan perubahan mimik para karyawan yang drastis. Dari serius menjadi terbodoh. Gestur mereka kaget, punggung maju dari posisi semula, dan beberapa mulut di antara mereka bahkan ada yang menganga. Argan menyimak satu per satu wajah bawahannya. Dia sendiri juga kelewat kaget saat pertama kali mendengar berita ini.

"Em ... kalau boleh tahu, kenapa model itu mengundurkan diri, Pak? Apa soal bayaran?" tanya salah seorang anggota rapat berjas abu-abu.

"Bukan. Bukan masalah bayaran, tapi karena model itu jatuh sakit. Saya juga kurang tahu apa penyakitnya karena belum sempat bertanya pada Lita. Model tersebut mengabari lewat Lita." Argan melirik si sekretaris dari sudut matanya. Wanita itu duduk berjarak satu kursi dengannya, tengah membetulkan kacamata saat Argan meliriknya.

"Asma beliau kambuh, Pak. Beliau mengatakan tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini karena tidak mungkin baginya untuk kelelahan. Beliau butuh istirahat. Seperti itu kabar yang saya dapatkan." Lita menatap wajah-wajah yang mengelilingi meja rapat.

Argan mengangguk. "Kita bicarakan lagi masalah pembatalan kontrak secara sepihak dengannya nanti. Sekarang fokus kita mencari solusi untuk permasalahan ini. Kita tidak punya banyak waktu karena semua sudah dipersiapkan."

Sebagian karyawan lantas melengos tertahan, sementara sebagian lagi mengusap wajah bingung. Kini mereka juga pasti didera pusing yang sama seperti Argan. Tentu saja. Tidak ada yang berharap model itu akan mengundurkan diri H-5 sebelum acara promosi dan peluncuran produk.

"Bagaimana? Apa ada saran?" Argan meneliti setiap pergerakan karyawannya.

"Menurut saya, sebenarnya tidak sulit bagi kita untuk mendapatkan model pengganti, Pak. Mengingat banyak model yang ingin menjajal kemampuannya melalui ajang ini. Tapi, meskipun menggunakan model baru dan belum terkenal adalah strategi kita, kita tidak boleh asal-asalan menyeleksi kandidat yang mendaftar. Model tersebut juga harus punya kemampuan mumpuni dan berbakat." Sang HRD pertama kali buka suara.

BETWEEN Where stories live. Discover now