BAB 12 : PUAS KAMU?!

1.8K 56 0
                                    

Semua terjadi begitu cepat, berakhir dalam hitungan menit, dan benar-benar diluar dugaan. Argan coba menetralkan ritme jantungnya yang berdegup dua kali lebih kencang dengan menarik napas panjang dan mengembuskan berkali-kali. Sensasi sesak terus menyergap organ pernapasannya, seolah paru-parunya mengisut kekurangan oksigen.

Saat melihat Tiara pingsan di depan matanya tadi, rasanya seperti balok kayu mendentam punggungnya. Argan sungguh merasa bersalah. Dulu Tiara bukanlah gadis lemah. Dulu dia adalah gadis kuat. Tapi, ketika menyaksikan sendiri betapa sekarang gadis itu mudah sekali pingsan, Argan jadi memutar kembali percakapannya dengan Tino; kalau kini Tiara bergantung pada obat-obatan dan mudah sakit-sakitan.

Seharusnya ia tidak berbicara telak seperti itu kalau tahu begini jadinya. Seharusnya Argan dapat mengontrol ucapan yang keluar dari mulutnya agar terdengar lebih lembut dan tidak mengejutkan kalau seandainya ia mempertimbangkan kondisi Tiara. Seharusnya ia tidak gegabah. Seharusnya ia tidak egois. Seharusnya ... seharusnya ...

Meskipun Tiara adalah masa lalu, tapi bagaimana pun juga dia adalah gadis yang 'pernah' sangat dicintainya. Tidak seharusnya Argan membuat pingsan gadis malang itu.

Bayangan wajah kaget Tiara dan detik-detik pingsannya gadis itu pun berkelebat hebat di benak Argan.

"Gimana ini bisa terjadi?" Edo turun dari lantai dua, berjalan menghampiri Argan dan Tino di ruang tamu.

"Ini salah saya, Om," sahut Argan, sesaat setelah telinganya mendengar derap langkah dari arah tangga. Tanpa melihat, Argan tahu kalau itu adalah Edo melalui suara baritonnya.

Edo menuruni undakan tangga terakhir, lalu duduk di sebelah Tino. "Bisa tolong ceritakan bagaimana kronologinya?"

Argan mengangkat mata menatap Edo, namun sedetik kemudian ia menurunkan lagi tatapannya. "Seharusnya tadi saya bisa milih kalimat yang lebih pas, Om. Maafin saya, Om.

"Lo mau cerita gimana kejadiannya atau gue yang cerita?" sergah Tino, menggerakkan tubuh ke depan. "Lo sama sekali gak jawab apa yang ditanya," sindirnya seraya berdecih.

"Tino," peringat Edo, menoleh ke arah Tino dan mengedutkan kening, seolah memberi isyarat agar tidak memperkeruh suasana.

Argan memijat pelipisnya. Pusing dan rasa bersalah beradu satu menggerayangi otaknya. "Biar saya yang cerita aja, Om," putus Argan sembari menatap Edo dan Tino bergantian. Edo mengangguk samar, sementara Tino melipat tangan di depan dada dan memalingkan wajah ke luar jendela.

"Kalo gitu ceritain yang bener," sinis Tino, bersamaan dengan datangnya Rini dari dapur. Wanita itu berjalan mendekat sambil membawa nampan berisi cangkir minuman dan sekaleng roti.

"Makasih, Tante," ucap Argan, mengamati gerak-gerik Rini yang menyajikan cangkir ke atas meja tamu. Wanita yang sudah melahirkan Tiara itu kemudian ikut duduk di samping suaminya seraya memangku nampan bermotif dedaunan tersebut.

"Pas banget Mama datang, biar kita bisa sama-sama denger penjelasan Argan gimana kejadiannya sampe Tiara pingsan." Edo melirik Rini sekilas, lalu beralih menatap Argan.

Rini mengangguk, tersenyum tipis. "Iya, Pa," respons Rini, "silakan diminum tehnya, Gan, No," lanjutnya, menatap Argan dan Tino.

"Iya, Tante," sopan Tino, menurunkan tangan dari depan dada, dan meraih secangkir teh hangat dari atas meja.

"Bisa dilanjutkan ceritanya?" Edo ikut meraih secangkir teh dan menyeruputnya. Asap masih mengepul-ngepul di atas cangkir milik Edo dan Tino. Mungkin mereka mengambil cangkir itu untuk menghargai Rini yang sudah membuatkan.

Argan berdeham kecil, memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman. Tanpa sengaja, matanya melirik jam bundar yang tergantung di belakang Edo. Jarum jam itu menunjuk pukul 22.30 malam. Ia jadi teringat bagaimana keadaan Rachel yang saat ini sendirian di rumah. Sejak jam 8 tadi, Rachel sudah beberapa kali menelepon dan mengirim pesan. Gadis itu menanyakan dimana keberadaan Argan yang tak kunjung pulang.

BETWEEN Onde histórias criam vida. Descubra agora