1

923 25 0
                                    

Langit masih abu-abu saat Melisa membuka mata. Sepasang mata cokelatnya memandang keluar jendela. Langit mendung semendung hatinya.

Pagi ini Ben akan berangkat ke Aussie untuk melanjutkan kuliah yang lama ia impikan. Jadi arsitek lalu berkarir di negeri orang.

Sejak menginjak SMA, Ben sudah tahu harus apa dan bagaimana, harus masuk kelas unggulan, juara kelas, masuk IPA, harus masuk jurusan Arsitektur, bahkan harus kuliah di Sidney.

Berada di sampingnya selama 3 tahun rasanya capek. Apalagi dengan keterbatasan Melisa dalam bidang eksakta. Ben di IPA, Melisa di IPS. Ben les intensif, Melisa tanding tari.

Tapi itu tidak menyurutkan perasaan sayang Melisa kepada Ben sedikitpun. Melisa berharap, Ben pun demikian. Namun kepergian Ben ke Aussie membuat Melisa kembali mempertanyakan kelanjutan hubungan mereka.

Pikiran Melisa selalu berkata, hari-hari indah yang mereka lalui selama 3 tahun ini tidak semudah itu dilupakan, kan?

Melisa meraih HP di nakas.

"Hhuuhhhhh...." Melisa menghela nafas panjang sambil meletakkan kembali HP nya.

Ben tidak meneleponnya sekalipun sejak tadi malam. Ya, mereka mengucapkan perpisahan hanya lewat telepon.

Ben bahkan gak mengijinkan Melisa mengantarnya ke bandara meskipun Melisa membujuknya dengan segala rayuan.

"Kamu kan tau, ini cita-citaku dari dulu Mel." ucap Ben malam tadi.

"Ya tapi kamu juga kan diterima di Universitas Indonesia." Melisa mengerahkan usaha terakhirnya. Siapa tahu Ben berubah di detik-detik terakhir.

Ben terdengar menghela nafas panjang, "Ini bukan sekedar jadi arsitek, Mel." Ben diam sejenak. Ia berusaha merangkai kata-kata yang tepat tanpa harus menyakiti hati Melisa, "Aku ingin merasakan kultur study yang berbeda, pandangan yang berbeda, ilmu yang berbeda."

"Nanti kan bisa, tunggu kamu lanjut S2." Melisa memotong kata-kata Ben, "Aku bisa ikut nanti."

"Mel, Mel! Kita udah bahas ini berkali-kali. Dan setiap kali, kita tau ujungnya gimana. Besok penerbanganku. Aku ga mau kita pisah seperti ini."

"Kalo gitu aku ikut anter kamu ke bandara!" tegas Melisa.

Ben akhirnya mengucapkan kenyataan pahit yang Melisa harus hadapi, "Kamu kan tau Mama Papa ku gimana ke kamu."

Melisa diam. Ia menggigit kuku ibu jarinya, mencoba sekuat tenaga menahan air mata yang sudah menumpuk di sudut matanya.

"Oh Tuhan! Serendah apa aku di mata keluarga Ben sebenarnya?" Melisa menjerit dalam hati.

"Kita udah bicarakan ini kan?" lanjut Ben, "Kita berpisah sebentar lalu sama-sama lagi. Aku janji, Sayang."

Melisa menunduk, jarinya mulai gemetar, ia mencengkram HP nya semakin erat.

"Sayang...." Suara Ben rendah dan lembut.

Hati Melisa masih bergetar setiap Ben memanggilnya sayang. Meskipun setiap hari Ben mengucapkannya. Setiap hari, setiap bulan, meskipun bertahun-tahun. Melisa masih bergetar.

Apakah Ben merasakan getaran yang sama? Apakah perasaannya bisa menembus jarak 3.500 KM jauhnya?

Tesss....!

Air mata Melisa meluncur deras tepat saat ia menutup matanya.

Hatinya tahu, semuanya tak akan sama lagi.

Hatinya tahu, semuanya tak akan sama lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MY GUARDIAN ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang