9. Tragedi

175 87 100
                                    

Menunggu adalah hal yang menyebalkan bagi beberapa orang apalagi yang minus kesabaran. Dan itu yang sekarang dialami seorang gadis dengan paras ketimur tengahan ini.

Semalam dia mendapat kabar dari abangnya jika hari ini akan pulang dan bertugas menjemput adik kecilnya di sekolah. Kini dia pun menunggu di bawah pohon rindang sejak 20 menit yang lalu.

Sampai pada menit ke 40, belum juga ada tanda-tanda bahwa sang abang datang menjemputnya. Tidak seperti biasanya dia terlambat seperti ini.

Gadis ini mulai merasakan nyeri di telapak kakinya, karena terlalu lama berdiri menunggu. Akhirnya dia memutuskan untuk menunggu di pos satpam yang terletak di dekat gerbang sekolah.

Ketika akan mendudukkan dirinya dikursi yang tersedia, seseorang memanggilnya, "Hai Queen."

Queen selaku gadis yang disapa, membalikkan badan menghadap kearah orang yang sudah memanggilnya.

Aku melotot tajam pada sosok yang sedang bertengger diatas motor itu, "Ada perlu apa?" tanyaku tanpa basa-basi.

Romi melebarkan senyuman karena sapaannya kubalas, walaupun dengan ketus, "Pulang bareng yuk."

"Sorry, gua udah ada yang jemput!"

Romi menampilkan ekspresi seolah sedang berpikir, "Dijemput sama bang Devan kan?"

Kali ini tatapan horror ku tertuju padanya. Arghh ... gak habis pikir, kok dia bisa nebak dan jawabannya bener sih!

Romi tertawa renyah, "Cuma nebak aja Queen, eh ternyata benar ya!" serunya kemudian.

"What ever lahh," ucapku dengan mendudukkan diri ke bangku yang tersedia.

"Lahh ... Ayo bareng pulangnya!" kali ini suara Romi berubah seolah tidak mau dibantah. Eits, jangan sebut Queen jika tidak bisa membantah ya, wkwkwk.

"Siapa ya? Gua kaga kenal!" Ketusku pada Romi.

"Eh seriusan Queen, penting banget ini! Soalnya tadi gua dapet kabar kalo bang Devan kecelakaan waktu mau kesini!" cerocos Romi tanpa menyadari mukaku yang mulai berubah kaku.

Aku terdiam dan mencerna informasi yang disampaikan Romi.

"Queen," panggil Romi yang sudah berada didepanku.

Aku mendongakkan kepala menatapnya, "L-lo serius?" ucapku dengan linglung.

Setahuku bang Devan gak pernah ceroboh jika mengendarai motor. Bahkan, dia yang paling over protective jika berkaitan dengan keselamatan.

Romi menampilkan senyum teduhnya, seolah senyum itu dapat menenangkan diriku, "Iya serius, gak mungkin aku bercanda soal musibah."

"A-ayo ... ayo ke tempat abang ku sekarang," ucapku dengan suara bergetar, bukan hanya suara saja melainkan sekujur tubuhku, lemas dibuatnya.

"Ayo," Romi pun mengiyakan ajakanku, "Kamu kuat berdiri, kan?" tanyanya ketika menyadari bahwa tubuhku seperti sehelai daun yang siap jatuh jika tertiup angin.

Aku menganggukkan kepala meyakinkannya dan mulai bangkit dari tempat dudukku untuk mengikuti Romi menuju motor miliknya. Setelah memasang helm dan membenarkan posisi dudukku, Romi mulai mengendari motornya menuju rumah sakit, tempat abangku dirujuk.

Sepanjang jalan, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku, hanya isak tangis yang terus terdengar. Aku tak henti-hentinya merapalkan doa dalam hati, demi keselamatan bang Devan.

"Udah jangan nangis, nanti abang kamu marah loh, dikira aku yang udah buat adiknya nangis." nasihat Romi ketika sudah memarkirkan motornya di parkiran rumah sakit.

Queen Of Ghassan  [HIATUS]Where stories live. Discover now