01.

64.1K 3.9K 129
                                    

Melirik arloji di tangan, jarum sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima menit. Meja Kasir 1 masih kosong, sementara Monik yang berada di Meja Kasir 2 tengah sibuk melayani seorang pelanggan yang membeli tunik hijau zaitun. Setiap kali akhir pekan, butik memang selalu lumayan ramai.

"San, Linda belum datang, ya?" tanyaku pada Santi, salah satu pegawai yang lain. Santi celingukan sejenak, lalu menjawab, "Sepertinya belum, Mbak."

Aku manggut-manggut lalu beranjak ke ruanganku. Mengecek layar ponsel, tak ada tanda-tanda Linda akan mengirimiku pesan singkat. Sudah dua hari ini dia tak masuk dan ponselnya tak bisa dihubungi. Perasaan was-was segera mendera, takut ada kejadian buruk menimpanya. Karena biasanya memang begitu. Jika Linda tak bisa dihubungi, tak ada kabar apapun darinya, pasti ia tengah mengalami masalah keluarga.

Akhirnya, karena takut memikirkan hal-hal buruk padanya, aku memilih untuk beranjak. "Nik, pinjam sepeda motormu, ya?" ucapku pada Monik.
"Iya, Mbak." Monik sigap mengambil kunci motor di tas kecil miliknya yang berada di laci sebelah meja kasir. "Mau kemana, Mbak?" Ia mengulurkan kunci tersebut.

"Nengokin Linda ke rumahnya. Firasatku nggak enak." Aku menjawab sembari bergerak keluar, ke parkiran motor karyawan di samping butik.
Rumah Linda berada sekitar satu setengah kilometer dari sini. Karena melewati banyak gang sempit dan kelokan kecil, aku selalu naik motor ketika pergi ke sana. Kadang pinjam motor Monik, kadang punya Santi, atau kadang punya pak satpam, Pak Bahrun.

***

Ketika sampai di rumah Linda, tempat tinggal mungil nan sederhana itu nampak lengang. Pintu depan terbuka sebagian, sementara sepeda motor matik yang biasa digunakan Linda bekerja tak terlihat di depan rumah. Tetangga kanan kiri juga sepi.

"Linda?" Aku memanggil sembari mengetuk pintu. Memanggil sekali lagi, dan terdengar seseorang menyahut. Tak berapa lama, sosok itu keluar. Perempuan bertubuh kurus, semampai, mengenakan kaos longgar lusuh dan celana kulot. Rambut sebahunya berjuntaian menutupi sebagain wajah. Melihat kedatanganku, ia tampak syok.

"Mbak Nessa? Kok di sini?" Ia menyapa.
Aku menatap perempuan itu dengan tatapan tak kalah kaget. Ada lebam di bawah mata. Sementara sudut bibir bagian kanan tampak luka.

"Kamu kenapa?" Aku mendekatinya dengan tergopoh. Mengulurkan tangan untuk memeriksa wajah Linda.
"Biasa, Mbak." Ia menjawab.

"Dipukulin Davin lagi?" tanyaku geram. Linda hanya menepis tanganku lembut lalu menunduk. "Biasa, Mbak. Berantem kayak biasanya dan beginilah. Tadinya saya mau ngasih kabar kalo saya bakal telat ke butik, tapi ponselku rusak dibanting Mas Davin. Sepeda motor ia bawa pergi. Nggak tau kemana."

Aku menggigit bibir. Darah rasanya mendidih sampai ubun-ubun. "Ayo ke dokter. Lukamu harus diperiksa." Aku menarik tangannya, tapi ia menolak.
"Nggak apa-apa, Mbak. Ini sudah mendingan, kok. Kemarin sudah saya periksakan di bu bidan sebelah. Katanya sih nggak apa-apa." Ia menjawab.

"Kamu ini, punya suami pengangguran dan ringan tangan kok diem saja. Laporin polisi, kek. Habis kamu lama-lama diginiin terus."

Linda hanya terdiam mendengar semua omelanku.

"Sesil?"

"Ada di kamar, Mbak." Ia menunjuk kamar tidur. Aku bergerak dan tampak bocah perempuan berusia enam tahun itu bermain-main di sana. Sendirian. Mulutku komat-kamit mengucap syukur karena bocah itu tak apa-apa. Sumpah, jika mendengar Linda dan suaminya ribut, yang terpikir pertama kali adalah anak mereka.

"Aku sudah beberapa kali bilang ke kamu. Cerai saja, cerai. Davin itu nggak layak kamu pertahankan. Dia nggak bisa menempatkan diri sebagai laki-laki dan suami yang baik buat kamu dan anakmu." Kembali aku mengomel. Dan seperti biasa, Linda hanya menunduk lesu.

Ayo Nikah Lagi! Where stories live. Discover now