06.

30.9K 3.9K 306
                                    

Akhir-akhir ini, mimpi buruk itu tak lagi datang menghantui. Mimpi tentang Dru, juga tentang bayi kami yang telah pergi. Di mana biasanya aku akan terbangun tengah malam dengan nyeri hebat di dada, atau keesokan paginya aku terbangun dengan berlinang air mata.

Orang bilang, hanya waktu yang mampu menyembuhkan duka lara pada jiwa. Dan sepertinya mereka benar. Walau terkadang masih nyeri, setidaknya sekarang keadaanku sudah jauh lebih baik. Mungkin dengan membuka hati akan kehadiran cinta baru, semua rasa sakit karena perpisahanku dengan Dru akan terlupakan.

***

Aku mengetuk jemari di meja kasir dengan gusar. Santi tengah menata sebuah tunik di manekin, sedangkan Monik sibuk berkutat di depan layar komputer.

"Duh, kalau Linda kenapa-napa lagi gimana?" gumamku. Hari ini Ia telat lagi, satu setengah jam. Berbagai prasangka tak enak menerpa. Takut ia mengalamai kekerasan lagi seperti waktu lalu.

"Mau nengokin ke rumahnya lagi, Mbak?" Monik menyahut. "Sepeda motorku sudah siap sedia, kok," lanjutnya sembari mengeluarkan kunci motor dari laci lalu menyorongkannya ke arahku melewati permukaan meja.
Menatap arloji di pergelangan tangan, aku mendesah. "Lima belas menit lagi dia nggak nongol, aku samperin ke rumahnya," ucapku.

"Minta ditemani sama pak satpam atau Santi saja, Mbak. Takutnya kalau suaminya Linda ngamuk-ngamuk lagi, bahaya." Monik kembali berujar.

Lagi-lagi aku mendesah, ngeri membayangkan suami Linda kalap seperti beberapa waktu lalu.
"Nik, kelak kalau kamu ada rencana nikah, cari betul-betul lelaki yang baik, ya. Jangan sampai salah pilih." Aku berujar sewot.

"Mbak, lupa, ya? Saya 'kan Aseksual. Saya nggak berencana nikah." Monik menjawab enteng. Aku menepuk jidat sembari menatap ke arah perempuan berusia dua puluh dua tahun tersebut. "Duh, maaf. Lupa," jawabku lalu terkekeh.

Monik memang tak punya ketertarikan untuk membina hubungan intim. Awalnya aku juga tak 'ngeh' dengan orientasi seksualnya. Tapi ketika setahun lalu ada mas-mas cakep dari toko sebelah yang jungkir balik ngejar-ngejar dirinya, ia menjawab halus, "Sudah saya tolak, Mbak. Saya nggak bisa membina hubungan serius dengan dia, atau siapapun."

"Loh,kenapa?" tanyaku waktu itu. Kaget bercampur bingung. Cantik, tinggi, senyumnya memikat, tak ingin membina hubungan serius dengan siapapun?

Dan akhirnya ia berujar jujur, "Saya bisa jatuh cinta, Mbak. Saya bisa membina hubungan emosional yang lebih dalam. Hanya saja, saya nggak bisa berbicara atau melakukan aktivitas seksual. Saya nggak tertarik, nggak ada gairah. Makanya saya menghindari hubungan romantis karena takut membuat orang kecewa. Saya yakin, nggak bakal ada lelaki yang mau menerima perempuan seperti saya. Mengencani perempuan yang cuma mau diajak ngobrol, ngapain?"

Tak jelas apa penyebab Monik bisa seperti itu. Entah karena ia pernah punya trauma seksual di masa lalu, atau memang ia dilahirkan begitu. Bukan berarti orang seperti Monik tak punya libido. Punya, sih, hanya saja seksualitas tidak memainkan peran apapun, sekecil apapun, dalam kehidupannya. Ia sudah mantap ingin menghabiskan waktunya melajang sampai maut menjemput.
"Saya akan bekerja, menabung, menikmati hidup, dan ... mati sendirian."

Astaga, tak dapat kupercaya bahwa populasi satu persen dari milyaran manusia di muka bumi ini sekarang ada di hadapanku.

"Mbak Nessa, nanti saya ijin pulang lebih awal, ya?" Santi datang dan menyela obrolanku dengan Monik.

"Ada apa?" tanyaku heran.

Perempuan yang lebih tua lima tahun dari Monik itu menggigit bibir. "Anu, Mbak, nanti saya harus ke persidangan. Hari ini jadwalnya mediasi dengan bapaknya anak-anak."

Ayo Nikah Lagi! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang