05.

30.3K 3.7K 209
                                    

Masih di Tahun 2017

Aku sadarkan diri di sebuah klinik keluarga. Allen berdiri di sisiku dengan wajah cemas. Dari cerita yang ia kemukakan, ia segera menghubungi klinik terdekat untuk mengirimkan ambulan ketika aku meminta bantuannya di detik-detik sebelum jatuh pingsan.

"Aku kabarin Mas Dru dulu ya, Mbak." Allen meraih ponselnya.

"Jangan." Buru-buru aku menahan lengannya. "Nggak usah," ucapku lirih.

"Kenapa?"

"Aku nggak apa-apa. Setelah dioksigen satu jam, aku akan segera pulih. Dan aku akan segera pulang. Jangan kasih tahu dia, nanti dia cemas." Aku nyaris menertawakan kalimatku sendiri.
Dru cemas padaku? Aku tidak yakin Ia akan merasakan hal itu.

"Tapi-"

"Kamu saja yang nungguin. Bentar, kok. Nggak apa-apa, ya?"

Allen mengangguk segera. "Siap."

Dan siang itu, akhirnya Allen menungguiku di klinik. Ketika napasku stabil, ia memutuskan untuk mengantarkanku pulang dengan mobilnya. Sementara mobilku sendiri, aku menghubungi staff Papa untuk mengurus.

***

Uap mengepul dari teh chamomile yang baru kuseduh. Wangi khas bunga tersebut segera memenuhi ruangan. Sambil menunggu sedikit lebih dingin, kubawa cangkir teh tersebut ke teras samping. Duduk di sana menenangkan diri sembari menatap hamparan bunga mawar di kebun. Allen baru pulang beberapa waktu yang lalu, sedangkan Dru belum sampai rumah. Akhir-akhir ini dia memang sering begitu, pulang lambat. Kali ini ia telat setengah jam. Lama-lama aku pun mulai terbiasa dengan keterlambatannya.

Sebagai seorang istri, terkadang pikiran buruk memenuhi kepala. Apa ia bertemu Friska? Apa mereka menghabiskan waktu bersama? Apakah mereka sekadar berdiskusi ataukah melakukan hal-hal lain? Sebuah prasangka yang normal mengingat hubungan kami yang ... begitulah.

Ketika itu terjadi, ketika pikiran-pikiran buruk mendominasi, aku akan selalu berusaha menguatkan diri dengan mencari kesibukan lain. Membaca, menjelajah internet, atau menghubungi beberapa teman untuk mengobrol.

Berhasil? Tentu tidak.

Aku masih merasa sakit, merana, tak berdaya, dan ... jelek.

Yup, I felt worthless and ugly. Entah kenapa sekarang aku merasa tak percaya diri dengan fisikku. Ditambah dengan keberadaan Friska yang luar biasa memesona, aku serasa tak ada apa-apanya.

Aku baru saja hendak menyeruput tehku ketika terdengar deru mobil Dru di halaman. Menoleh sebentar, aku kembali asyik menikmati minuman di cangkir.
Terdengar Dru mengucap salam dan aku menyahut pendek.

"Al bilang kamu kena asma?" Pria itu mendatangiku. Aku menoleh ke arahnya, menatapnya dalam. Firasatku benar. Kuperhatikan lagi, tak ada raut cemas di wajahnya.

"Dia memberitahumu?" Aku bertanya balik. Ia mengangguk. "Tadi dia menelpon."

Kuletakkan cangkir teh ke meja lalu menjawab, "Aku memang punya asma sejak dulu. Tapi sekarang sudah membaik. Allen membantu membawaku ke klinik."

Dru manggut-manggut. "Syukurlah." Ia beranjak. Langkahnya tertahan ketika kupanggil namanya pelan.

"Tadi siang aku bertemu Friska," ucapku. Berharap akan ada ekspresi lain di wajahnya, nyatanya tidak. Ia tetap menatapku datar. Tak nampak ada rasa kaget.

"Aku tahu. Friska sudah memberitahu." Ia menjawab kemudian.

Dan sekarang aku yang dilanda rasa syok luar biasa. Friska memberitahu Dru bahwa kami bertemu? Apa ia mengadu dan menceritakan hal buruk tentangku? Atau ia mencoba playing victim sekarang?
Aku mengepalkan tanganku geram. Lancang sekali ia memberitahu terlebih dahulu.

Ayo Nikah Lagi! Where stories live. Discover now