Bagian-43 (End)

947 50 9
                                    

Hujan terus mengguyur tubuh Yora yang masih setia memeluk tanah gundukan yang masih baru itu. Seakan enggan untuk pergi dari sini, dengan mata sembab Yora menatap nanar makam yang ada didepan nya itu, seakan tak percaya dengan semua ini Yora bahkan menampar pipinya sendiri. Yora tak bisa menerima kalau dipapan makam itu bertuliskan nama Bian Adiaraga.

"Yora, udah lebih baik kita pulang," ucap Reina sambil memegang bahu Yora.

Sedari tadi Reina masih menunggu Yora untuk pulang karena semua pelayat pulang. Bahkan orang tua Yora pun sudah duluan dan membiarkan putrinya itu meluapkan rasa sakit hatinya dengan sedikit lama dimakan Bian.

"Nggak Rei, nggak! Bi-Bian ... disini sendiri aku takut dia kesepian hiks-hiks."

"Udahlah Yora, Bian udah pergi lo harus menerima semua ini."

"Nggak Rei, Bian masih hidup dia belum mati, ya dia belum mati. Bian aku kan kuat, dia nggak mungkin pergi." Yora bicara seolah-olah Bian masih hidup, padahal kenyataannya dia lihat sendiri mayat Bian sudah terbaring dirumah sakit kemarin.

•Flashback On•

Begitu sampai diruang mayat, Yora langsung menyibak kain putih yang menutupi tubuh Bian. Tubuhnya langsung melorot melihat kondisi Bian, wajahnya sudah tak bisa Yora kenali lagi, karena banyak sekali luka diwajahnya. Meski begitu yang didepannya ini benar-benar Bian dilihat dari gelang yang berada di pergelangan tangannya itu adalah gelang yang biasa Bian pakai.

"Nggak mungkin, ini salah! Iya ini salah dia bukan Bian, bukan. Yanto nggak mungkin pergi secepat ini, nggak mungkin!" teriak Yora menguncang tubuh Bian.

Jangan tanyakan kondisi Reina, kondisi Reina sama kacaunya dengan Yora. Dengan mata yang sama-sama mengalir deras, tidak mungkin Bian pergi secepat itu, ini sulit dipercaya.

"BIAN BANGUN, KAMU NGGAK BOLEH NINGGALIN AKU, NGGAK MUNGKIN, BIAN HIKS-HIKS, BANGUN MAAFIN AKU, AKU BUTUH KAMU BIAN, KAMU NGGAK BOLEH PERGI HIKS-HIKSS,"

"ARGHHHHH! BANGUN HIKS-HIKS BIAN!"

"BIAN!!"

Reina dan Yora langsung menoleh mendapati seorang pria baruh baya yang kondisinya tak jauh berbeda dari Reina dan Yora.

Yora tak peduli dengan siapapun sekarang dirinya masih terus-menerus memeluk erat tubuh Bian.

"Bian, maaf 'fin Papa nak. Maaf 'fin Papa, Papa menyesal hiks-hiks,"

Adiaraga langsung berlutut di hadapan tubuh Bian, menumpahkan semua air matanya ketika melihat anaknya sekarang terbaring. Anaknya yang telah kehilangan nyawanya, yang membuat Adiaraga lebih menyesal lagi adalah bahwa Bian lah yang menjadi pendonor jantung untuk Derren.

"Maafkan Papa, karena Papa kamu jadi begini. Maaf hiks-hiks ... Papa menyesal hiks hiks,"

Tapi penyesalan mereka semua terlambat, nasi sudah menjadi bubur, Bian tak akan pernah hidup kembali. Bian telah mati bersama dengan semua penderitaannya selama ini, Bian memang pantas untuk pergi dari dunia kejam ini. Meninggalkan semua orang yang dulu sangat-sangat begitu menyakitinya.

•Flashback Off•

"Yora."

Yora langsung menoleh mencari asal sumber suara itu, berharap jika yang memanggil nya itu adalah Bian. Namun bukan, bukan Bian yang memanggilnya melainkan Abi.

"Lo harus ikhlas sin Bian. Gue tahu Bian pasti nggak akan tenang, kalau lo seperti ini,"

"Ngak Bi, Bian belum pergi! Kenapa kalian bilang kalau Bian itu mati hah! Bian itu sedang sembunyi karena dia marah sama gue, sekarang gue lagi nunggu dia keluar hiks-hiks,"

Abi dan Reina saling pandang, seakan mengerti dengan keadaan Yora sekarang. Siapa yang tidak sakit hati kalau orang yang kita cintai meninggalkan kita?

"Ini." Abi langsung memberikan sebuah surat pada Yora, Abi bahkan tak mengira kalau pada malam itu adalah pertemuan terakhir nya bersama Bian. Semua anak-anak anggota Geng mereka tak ada yang melayat ke kuburan Bian, karena apa? Karena mereka benar-benar tidak kuat menerima semua kenyataan ini dan mereka anggap Bian itu masih hidup, huh sungguh miris sekali.

"Apa ini?"

"Surat terakhir Bian buat lo."

Yora langsung membukanya, Yora berusaha menahan air matanya supaya tidak keluar ia harus kuat, supaya bisa membaca surat itu.

Untuk: Yora

Maaf....
Maafin aku, Ra.
Aku tahu ketika kamu baca surat ini, Kamu pasti lagi menangis. Dan aku benar-benar tidak suka kamu menangis untuk bajingan seperti aku. Mereka semua benar, Ra. Aku hidup hanya untuk dibenci.

Aku hidup hanya untuk menjadi kesialan orang lain.

Yora, aku berharap jalan yang aku pilih ini benar.
Aku benarkan? Dengan aku pergi kau pasti bahagia, Ra.

Aku tahu sekarang kau pasti ingin aku pulang.

Tapi Yora....
Aku benar-benar harus pergi, dan maafkan aku karena aku pergi tidak bisa membawamu pergi bersamaku.

"HIKS-HIKS, YANTO! GUE NGGAK AKAN PERNAH LUPAIN LOH, KAMU PASTI KEMBALI, HIKS-HIKS NGGAK MUNGKIN KAMU PERGI SECEPAT ITU, ARGHHHHHHH HIKS-HIKS NGGAK MUNGKIN!"

---
Disisi lain Adiaraga terduduk lesu termenung didalam ruangan rumahnya. Ruangan yang begitu gelap menjadi bukti bahwa sekarang dirinya benar-benar frustasi. Pikirannya yang berkecamuk mengingat semua perlakuannya pada anak kandungnya sendiri, dia memang kejam, telah menyakiti anaknya sendiri darah dagingnya. Hanya karena sebuah kesalahpahaman dia harus menerima hukuman seperti ini, dia harus kehilangan anaknya Bian.

Matanya tertuju pada sebuah surat yang Abi berikan tadi, dengan cepat Adiaraga langsung membukanya, apa sebenernya yang anaknya tulis di sana.

Untuk: Papa

Aku pergi, Pa.
Sesuai keinginan Papa selama ini.
Aku capek kalau harus menunggu lagi.

Selamat tinggal, jaga kakakku Derren. Aku menyayangi kalian sampai kapanpun.

"Hiks-hiks aku Ayah yang tidak berguna, aku Ayah yang kejam, hiks-hiks maaf'kan Papa Nak, maaffin Papa Bian hiks-hiks,"

Adiaraga hanya bisa menyesali perbuatannya, tanpa bisa mengembalikan semuanya yang telah pergi kini semuanya hanya bisa menyesal, menyesal dan menyesal.

Pertanyaannya dimanakah Zico?

Note:

Terkadang hidup itu tak selalu seperti yang kita harapkan, kita sudah berkhayal dan merencanakan semuanya tapi apa hasilnya? Itu semua hancur karena satu garis takdir, takdir yang tidak bisa kita ubah, takdir yang membuat semuanya tak percaya, lalu disini siapa yang salah? Takdir? Tuhan? Ayolah kita tidak bisa menyalahkan takdir, apalagi menyalahkan Tuhan.

--Tamat--

Oke komen perasaan kalian saat baca ceritanya supaya aku bisa memperbaiki apa yang perlu diperbaiki oke.

Masih ada Epilognya.

YORABIAN (END) ✔ Where stories live. Discover now