Bab 17

75 6 0
                                    

Sambil menggandeng lengan Jae-yong, Eliza menggertakan meja kantin itu, membuat jantung Jowan dan Emma hampir copot. Lalu menarik Jae-yong dan memposisikan duduknya.

Emma menghela napas, sabar sabar dan sabar. Selama ini dia terus bersabar menghadapi sikap Eliza. Kalau saja Eliza bukan anak orang kaya, ia sudah jauh-jauh hari memutuskan tali persahabatannya karena sikap buruknya.

Jowan merajuk, moodnya buruk seketika. Ia memasang ekspresi muram, memalingkan wajah dan menopangkan rahangnya dengan tangan. Malas menghadap ke arah depan melihati wanita gila itu. Anak ini lagi! anak ini lagi! Wanita gila itu tidak pernah sedetikpun bersikap anggun.

"Maaf mengganggu waktu pacaran kalian." Eliza menyeringai sembari menggeser-geser pantatnya untuk mencari posisi duduk ternyaman. Semantara perasaan Jae-yong tidak jauh berbeda dengan Jowan, berantakan!

"Iya," kata Emma.

Eliza menoleh ke arah Jae-yong dengan seringai binar-binar di wajah. "Sayang, kau mau makan apa?" tawarnya kepada Jae-yong. Seenak jidat ia memanggilnya 'sayang', padahal belum juga resmi berpacaran.

"Aaaah!" gerutu Jae-yong. Ia menarik lengannya yang sedari tadi terlilit di gandengan Eliza. "Jangan panggil aku 'sayang'!" serkasnya sembari memalingkan wajah.

"Oke!" Seringainya tak hilang meski sudah dibentak Jae-yong. "Kau mau makan apa cinta?"

Jae-yong mendengus. Sudah terlanjur dibuat kesal, ia beranjak dari tempat duduknya hendak menjauh dari makhluk abnormal itu. Namun lengannya digengam lekat-lekat oleh Eliza, membuat langkah pertamanya tertahan.

"Oke! Oke! Aku akan bersikap lebih baik lagi," kata Eliza dengan sedikit kepanikan. "Sekarang duduk di sini kumohon."

Jae-yong menoleh ke arah Eliza dengan raut wajah kesal, mencoba menarik lengannya dari genggaman Eliza lagi. "Singkirkan tanganmu," perintahnya. Rasa simpati Jae-yong timbul ketika kepanikan marambahi wajah Eliza, membuat keputusannya berubah seketika. "Aku tidak akan pergi, aku akan memesan makanan," katanya.

Genggaman Eliza memudar, senyumnya kembali lagi. "Sungguh?" tanya Eliza. Gigi-giginya yang putih dan rapi menyeringai ke arah Jae-yong, bak berlian putih susu tanpa noda.

"Kau ingin makan apa?"

"Hamberger!"

"Aku akan memesannya." Jae-yong menarik lengannya keras-keras, lantas pergi memesan dua porsi hamberger.

Katika Jae-yong sudah berjarak jauh, Emma menyipitkan mata ke arah Eliza, menatap curiga temannya itu. "Kalian pacaran?"

Eliza mengatupkan bibirnya dan menggelang pelan dengan gerakan centil yang diperhalus, orang-orang yang tak terlalu peka tak akan sadar gerakan-gerakannya. "Belum," ujarnya. "Sebentar lagi kami pasti pacaran. Tunggu saja."

Tak berselang satu menit, Jae-yong datang dengan tangan kosong. Kemudian duduk di samping Eliza, masih dengan ekspresi cuai.

Eliza berdeham dan memandangi sekelilingnya, wajah-wajah kurang amunisi dan ambisi; datar dan tak bersemangat, sebagian lagi bersungut kesal. Orang-orang seperti ingin mengakhiri hidupnya, lantas ia terpikirkan mencari-cari acara untuk bersenang-senang agar wajah-wajah di sekitarnya tidak terlalu pucat.

Hah! Eliza tak tau diri, padahal mereka berekspersi seperti itu karena muak ketika dirinya duduk di tempat itu.

Selintas wanita gila itu teringat dengan konser Kpop yang akan ia kunjungi di akhir minggu ini. Rasanya akan lebih seru jika ia mengajak Emma dan lainnya ikut bergabung dengannya, barangkali dengan begitu ia bisa menemukan manusia yang sefrekuensi kegilaannya dengannya. Sebab untuk saat ini, ia belum menemukan orang-orang di lingkaran kpopers yang menjamur di benua Asia.

Pays to Be a LoveWhere stories live. Discover now