Bab 21

64 7 0
                                    

Hanya karena cinta yang tidak pernah terbalas, Nick sampai memojok di sudut kamar saraya mengusap-usap peluh air matanya menggunakan tisu. Sembari itu matanya kesana kemari, beberapa detik kemudian tatapannya jatuh pada papan balok yang melintang jauh dari ventilasi pintu kamar hingga ventilasi pintu jendela. Satu tahun lalu, balok itu biasa dipakai keponakannya untuk bermain ayunan, kini terlihat terbengkalai tak berguna.

Hati Nick berkecamuk, sesuatu yang buruk menguasai otaknya.

Seketika matanya memindai ke arah laci, di dalamnya ada beberapa peralatan pramuka; tali, peluit, belati kecil, dan cincin dasi. Singkatnya, dulu ia sempat menjadi seorang anggota pramuka di sekolahnya. Setelah lulus sekolah, ia keluar dari organisasi itu dan menyimpan alat-alat pramukanya ke dalam laci. Dia paling lihai tentang tali-temali -pionering-, dari simpul pangkal hingga simpul rantai semua ia kuasai.

Pernah sempat juara 3 kategori pionering sekali di acara perkemahan penggalang di kota Hereford -wilayah perbatasan England dan Wales-. Bahkan hingga kini piagam penghargaanya masih terpajang di lemari kamarnya. Itu menjadi pencapaian terbaiknya, setelahnya ia tak pernah lagi mendapat piagam apapun.

Nick berderap ke arah laci itu, mengingat saat-saat dirinya bersama dengan tali-tali pramuka itu. Ia menarik kasar laci itu, lalu mengobrak-abrik isinya. Ditemukannya gulungan tali pramuka yang sedikit kusut, bagian ujungnya sudah memudar.

Perasaanya benar-benar membuatnya kacau. Wajahnya mendongak ke atas, menerka-nerka berapa tinggi posisi lintangan balok dari dasar lantai, sementara tangannya berkutik-kutik memudarkan gulungan tali itu. Ia perlu sebuah tangga untuk mengikat talinya, lalu dengan begitu ia bisa mengaitkan tali pramuka itu di lingkaran lehernya sebelum dirinya menggantungkan badannya hingga napas terakhir.

Otaknya sudah gila hanya karena cinta.

Ia pergi ke arah lorong yang menghubungkan kamarnya dengan ruang tamu. Dibukanya lubang loteng menggunakan sapu, lalu sekonyong-konyong sebuah tangga teleskopik meluncur ke bawah. Nick menaiki tangga itu, berderap-derap mengambil tangga lipat di ujung loteng, beberapa detik kemudian kembali lagi ke kamar. Ditenggerkannya tangga itu menjulang ke arah papan balok, digeser-geser pelan hingga posisinya sesuai.

Ia menghela napas, lagi dan lagi. Ia dikuasai oleh otak dangkalnya. Mati mungkin akan lebih baik. Dengan begitu, semua permasalahan di hidupnya akan selesai.

Nick menaiki tangga dan mulai mengaitkan talinya dengan papan balok. Tangannya agak gemetar, bulu-bulu kakinya menajam merasakan kedatangan malaikat pencabut nyawa di atas balkon kamarnya. Sepasang matanya berlinangan air mata.

Ia memotong talinya menjadi dua, bagian pertama ia kaitkan tali pada papan balok menggunakan simpul jangkar, satu lagi ia buang ke arah laci. Dua ujung tali yang akan terlingkar di lehernya ia sambungkan menggunakan simpul mati, menyempurnakan peranti bunuh diri yang sempurna.

Sembari menangis, ia memasukan kepalanya ke dalam lingkaran tali. Ditariknya tali itu pelan-pelan dari dagu hingga menyentuh jakun. Ia menghela lagi, sekali saja loncat dari tangga itu, sakaratul maut menjumapainya, lalu perlahan ia mati kelabakan.

Satu kakinya menggantung ke udara, mengayun-ayunkannya. Ia mendadak ragu, dan sekonyong-konyong dering handphonnya berbunyi. Kringgggg! Benda berbentuk persegi panjang itu terus memanggil-manggil di bentangan ranjang.

"Siapa? Mengganggu saja!"

Naluri Nick bereaksi, tangannya bergerak melepaskan lingkaran tali di lehernya. Ia mengurungkan niat bunuh dirinya, tahu-tahu sudah meloncat ke atas ranjang.

"Hallo!" Ia mengangkat panggilan tak dikenal itu, menempelkan handphonnya di perumukaan daun telinga kanan.

"Hai sahabatku! Apa kabar?" suaranya terdengar familiar. Tapi siapa?

"Ya baik." Nick membersut, menelaah siapa pemilik suara cempreng ini. "Siapa?"

"Ahhh sombongnya sampai tidak menganalku lagi. Memangnya kau sudah sukses?"

"Kau terdengar familiar, tapi aku sungguh belum tau. Ini siapa?"

"Temanmu yang hitam pekat itu."

"Ahh!" Nick melebarkan pupil matanya, terkejut dan terpelongo. "Siapa?"

"Masih tak ingat juga?"

"Victor?"

"Ahh akhirnya kau ingat juga."

Nick terkekeh. "Suaramu tidak berubah."

"Wajahku juga tidak berubah, masih tampan seperti dulu."

"Ya!" Nick tersenyum-senyum, sudah lama sekali tidak berbincang-bincang dengannya. "Kau apa kabar?"

"Baik."

"Masih di Negara asalmu?"

"Aku sekarang ada di London. Aku ingin mampir ke rumahmu bisa?"

"Sungguh?"

"Ya!" suara itu meninggi bersemangat. "Bagaimana jika hari ini kita bertemu?"

"Keputusan bagus." Nick tersenyum-senyum. Hanya sebentar saja, ia melupakan juga angan-angan keputusasaan. Secara tidak langsung, Victor telah menyelamatkan nyawanya karena Nick lupa dengan niat bunuh dirinya, seakan piranti-piranti bunuh diri itu telah dicampakannya dalam waktu sesingkat-singkatnya dan balok panjang yang melintang di atasnya dibiarkan lagi terbengkalai tak berguna bersama teman-teman tambahannya berupa kursi lipat dan tali pramuka. "Kau di mana sekarang?"

"Aku di depan rumahmu."

"Sungguh?"

"Ya. Aku membawakan pizza untukmu. Kau ada di rumah kan?"

"Tunggu di situ. Aku akan membuka pintu." Nick memasukan handphonenya ke dalam saku, lalu membuka pintu dan bergegas menuju lantai bawah.

Dibukanya pintu depan rumah. Victor meringis memamerkan gigi putih yang agak mendongos. Sementara di samping kanannya ia menggandeng seorang wanita tambun berkulit cokelat dengan rambut warna-warni menyerupai pelangi, gincunya merah jambu tebal, payudara timbul menggoda-goda, serta dress warna biru ketat memperlihatkan lipatan-lipatan perutnya. Wajahnya mirip Margot, hanya saja yang satu ini lebih berbobot.

"Kau dengan siapa?" Nick mengerutkan kening, menjatuhkan tatapannya pada wanita buntal itu.

"Pacarku." Victor tersenyum, sembari itu memeluk erat badan Nick. "Waahh badanmu sudah sangat kekar. Kenapa tidak menjadi pegulat saja?"

"Kau lupa denganku?" Wanita tambun itu bersuara sambil berkacak pinggang. Jika ditilik dari tatapannya dan suaranya, itu adalah Margot. "Aku Margot, murid paling populer di angkatan kita dulu."

Nick berdeham, lalu menelan ludah sebelum akhirnya melepaskan pelukan erat Victor. "Wahh kau meningkat," ujarnya.

"Maksudmu, aku bertambah seksi?" tanya Margot. Kepalanya dimiringkan ke kanan. Ekspresinya dibuat elegan dan merayu-rayu, tapi Nick justru sungkan menatapnya.

"Ya... banyak orang yang bilang begitu." Victor menyaut. "Dia memang bisa dibilang tambah seksi."

"Bukan itu maksudku." Kini tatapan Nick memindai ke arah Victor. Victor Si Anak Nigeria ini memang tak pernah berubah, seleranya adalah wanita seksi bergaya antimeanstrim semacam Margot ini. Barangkali sampai sekarang otaknya masih mesum.

"Apa?" Alis Margot terangkat sebelah.

"Kau meningkat Margot. Jumlah warna di rambutnya sekarang sudah banyak varian. Berat badanmu juga sudah meningkat kan?"

Seketika Margot mengulum bibir bawahnya kasar-kasar, wajahnya bermuram durja. Ia meredang pandang ke arah Nick. Tak pantas sekali Nick berujar seperti itu. "Jangan karena badanmu sudah kekar, lantas kau seenaknya ber----."

"Ayo kita makan pizza ini!" Victor memotong ucapan Margot sebelum hati pacarnya itu mendidih. Ia mengengkat kantong berisi Pizza setingga dada dan tanpa sopan santun tiba-tiba masuk saja ke dalam ruang tamu sembari menggandeng Margot dan melewati Nick yang bediri di ambang pintu. "Aku anggap ini rumah sendiri yan Nick. Lagian dulu aku seperti itu."





Play List
Tulus - Ruang Sendiri




Terimakasih sudah membaca,
Jangan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya...

Pays to Be a LoveWhere stories live. Discover now