Bab 26

56 6 0
                                    

Jowan menghentikan langkahnya, padahal selangkah lagi ia menginjak garis pintu perpustakaan. Di hadapannya, Emma tengah melipat tangannya di dada dangan gaya pakaian simple seperti biasa sembari mengunyah-unyah permen karet, matanya memandang skeptis ke arah Jowan.

Jowan sedikit tergemap ketika menemukan Emma tengah santai mengulum-ulum permen karetnya. Ia tidak pernah melihat Emma menikmati makanan perekat itu sebelumnya.

"Kau pasti menungguku ya?" Jowan dengan kepercayaan dirinya tersenyum-senyum jemawa.

"Aku tidak paham kenapa kau rajin sekali ke perpustakaan." Emma menyunggingkan senyumnya. Padahal dia baru tidak bertemu selama 4 hari, tapi hati Emma sungguh menginginkan dirinya berada di hadapan pria Jawa itu. "Padahal aku tidak melihat kecerdasan dari dirimu."

"Memangnya perpustakaan hanya untuk orang cerdas?" Jowan mengangkat alisnya, mempertanyakan argumen Emma. "Aku lebih suka tempat yang hening seperti perpustakaan, lagipula bagi pelajar perantauan sepertiku perpustakaan bukan hanya tempat untuk membaca tapi juga tempat untuk menghemat isi dompet." Jowan menyengir di ujung kalimat.

"Okey." Emma menceraikan lipatan tangannya, kini ia menghela napas dan mulai membuka poin utama arah obrolannya. "Aku hanya ingin memastikan apakah kau punya jas atau tidak?"

"Jas untuk pergi ke pesta maksudmu?"

"Ya."

"Aku tidak punya," ujar Jowan. "Memangnya harus memakai jas?"

"Oke. Tunda dulu acara penghematan uangmu, sekarang juga aku akan membelikanmu Jas."

Tanpa aba-aba apapun, Emma menarik lengan Jowan. Mereka berjalan menyusuri koridor kampus. Langkah Emma yang begitu cepet membuat sedikitnya kewalahan untuk Jowan yang berkaki pendek. Sambil meringis-ringis ketetaran, ia terus mengikuti arah langkah Emma yang terus menggengam erat lengannya sampai mereka berdua tiba di parkiran mobil kampus.

"Aku belum mau pulang," kata Jowan sembari menarik langkah sekali ke belakang ketika badannya berdekatan dengan pintu depan mobil sedan berwarna hitam.

Emma lantas tersenyum pelik, pria di depannya masih tidak berubah setelah perdebatannya di depan rumah Eliza. Ia masih saja lugu seperti anak kecil. "Aku bukan mau mengantarmu pulang. Aku ingin membelikanmu Jas, ayo masuklah."

Jowan secepatnya mengangguk-angguk ketika memahami maksud Emma. Ia segara masuk ke dalam mobil dan memposisikan duduknya, disusul dengan Emma yang bergerak cepat masuk dari pintu sebaliknya yang kemudian memposisikan diri di jok kemudi.

Emma melajukan mobilnya, ia keluar dari area parkir hendak menuju mall, menyusuri jalanan kota London yang diiringi dengan bangunan-bangunan estetika di tepian jalan serta orang-orangnya yang tengah betaktivitas di sore hari, beberapa ada yang pulang dari kerja, ada yang sedang bekerja, ada yang berangkat kerja, dan ada yang sekedar bersantai-santai atau hanya berjalan-jalan berkeliling kota London sambil duduk di banch trotoar.

Bagi Jowan, London adalah ibukota  terindah yang pernah ia jumpai, paduan kota bersih dan bangunan-bangunan indah khas Eropa sangat menyegarkan pandangannya. Estimasi itu ia tanamkan di benaknya sejak pertama kali ia menginjaki tanah Britain ini, sebab selama hidup ia hanya menjajaki dua ibukota yaitu London dan Jakarta. Jika harus memilih antara Jakarta dan London, tentu saja ia memilih London, sebab di kota ini ia tidak mendapati kemacetan dan bau busuk sisik-sisik ikan bekas orang berjualan di pinggir jalan.

Bukannya ia tidak mencintai ibukota negaranya, tapi pandangan ini berdasarkan fakta apa adanya yang tak perlu malu-malu disembunyikan. Sebab harusnya sebuah perbandingkan bisa dijadikan sebagai intropeksi diri agar bisa menciptkan sesuatu yang lebih baik.

Untuk Jakarta sendiri, ia memiliki kesempatan mengunjungi kota itu ketika melakukan aktivitas study tour kala masih berseragam SMP. Hanya ragunan, monas, dan Masjid Istiqlal yang berkesan untuknya, sisanya semuanya gerah di sana sini. Itu sekitar 9 tahun yang lalu. Tanpa melihat berita media, dia tidak pernah tau keadaan di Jakarta lagi sejak kunjungan terakhir. Yang ia tahu, Jakarta selalu banjir saat musim hujan di penghujung tahun, berita itu selalu ada di media-media.

"Kau mau yang mana?" tanya Emma pada Jowan. Mereka berdiri di depan deretan jas yang saling menggantung dan memanjang di barisan trolley hanger.

"Yang standard saja. Warna hitam dan cocok untukku."

"Tidak mau yang ini?" tawar Emma sembari terkekeh ketika menjinjing Jas bermotif kulit harimau.

"Itu lebih cocok untuk memburu harimau," kata Jowan tergelak, padahal ia juga tertarik dengan jas unik itu meski tak tau akan digunakan untuk acara apa. Di benaknya, unik saja.

"Matamu tidak bisa berbohong kalau kau tertarik dan sejak tadi kau mengamati jas kulit harimau ini," kata Emma. "Kalau kau suka, aku akan membelikanmu tiga style. Satu berwarna hitam, yang bercorak harimau ini, satu lagi kau bisa pilih sendiri."

"Ahhh." Wajah Jowan tersimpul malu-malu. Ia memukul pelan pundak Emma seperti gerakan gemulai seorang waria. "Kau berlebihan. Belikan satu saja untukku," ujarnya.

"Jangan sok jual mahal. Aku tahu, kau miskin."

"Ya sudah." Jowan menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. "Kalau dipaksa, mau gimana lagi. Dengan berat hati, aku akan menerima tawaranmu." Jowan tersenyum sembari tersipu-sipu.

Setelah beberapa negosiasi mengenai mau atau tidaknya dibelikan 3 style jas, Jowan akhirnya mencoba satu persatu jas pilihannya. Ia mondar mandir pergi dari ruang ganti lalu kembali lagi hanya untuk mendengar penilaian Emma tentang penampilannya mengenakan jas yang akan ia borong ke rumahnya. Ia benar-benar mengantongi 3 jas setelah beberapa kali langkahnya terpijak-pijak menuju ruang ganti. Dia sungguh membawa 3 jas masing berwarna hitam, bercorak kulit harimau, dan berwarna coklat yang ditentengnya menggunakan reusable shopping bag.

Dengan langkahnya yang riang menuju parkiran mobil, Jowan bertanya kepada Emma, "Jika ada temenku yang membutuhkan Jas, apa aku boleh meminjamkannya?"

"Kira-kira siapa yang ingin meminjamnya? Bukankah teman-temanmu jarang bergaya modis? Temanmu di sini hanya orang Korea itu kan?"

"Ya barangkali Jae-yong akan kuajak ke pesta ayahmu," ujar Jowan sambil terus berjalan menggandeng tangan Emma, sementara satu tangannya lagi menenteng reusable shopping bag. "Karena pasti di pesta ayahmu akan ada Eliza kan?"

Eliza mengernyitkan dahinya. "Harus begitu?" Ia mengangkat satu alisnya dan tangannya menengadah dengan gestur bertanya-tanya. "Jika ada Eliza harus ada orang Korea itu?"

Jowan seketika  memelankan langkahnya, menatap ganjil wanita gandengannya. "Kau sungguh belum tahu?" tanyanya.

"Tentang apa?"

"Jae-yong dan Eliza sudah resmi pacaran."

"Hah?" Emma tercengang dan menghentikan langkahnya. "Sejak kapan?"

"Kemarin."

"Wahhhh." Emma masih belum berhenti dari keterkejutannya. Ia lantas menoleh genit ke arah Jowan dengan mengedipkan satu matanya sekali. "Kalau begitu kita kapan?"

"Apanya?" Jowan memindai ke arah Emma, ronanya kebingungan dengan tingkah centil Emma yang tak biasa. Ia sempat berpikir wanita di depannya seperti bisa berubah-ubah sifat; kadang asik, kadang genit, kadang dingin, dan kadang arogan.

"Kapan kita bisa memulai pacaran tanpa embel-embel kontrak dan bayaran?"

"Hah?" Jowan mengerutkan alisnya, tergemap atas lontaran pertanyaan Emma. "Untuk sekarang, aku masih membutuhkan uang. Jadi belum bisa. Lagi pula, itu tergantung dirimu serta banyak sekali sekatan-sekatan antara kita."

"Maksudmu?"

"Misal kau dan keluargamu mau tidak menerimaku apa adanya? apalagi kita beda ras, kepercayaan, dan kebiasaan. Itu adalah yang paling sulit untuk dibaurkan."

Sementara Emma hanya berdeham dan memicingkan mata ketika mendengarkan ujaran Jowan yang tampak benar adanya. Sikap genitya pudar beriringan dengan jaraknya dengan area parkir yang mulai menciut.





Play List
Shawn Mendes - In My Blood




Terimakasih sudah membaca, jangan lupa taburi bintang agar author semangat nulisnya..





Pays to Be a LoveWhere stories live. Discover now