PSIKOPAT 7

2.4K 147 15
                                    

MY EYES ON YOU

Chapter 7

Tania's POV

Dulu, sebelum hidupku terabdi untuk Araz. Aku bisa dibilang siswi bengal yang ditakuti orang lain. Bukan bad girl juga, sih. Aku cenderung pemberontak ulung ditunjang dengan wajah datarku. Jadi, kalau diibaratkan tokoh novel atau film, aku si antagonis yang memiliki pasangan hidup yang tak kalah antagonis juga. Yaitu, Araz.

Kita masih di uks. Meski kepalaku hanya robek bagian kulitnya saja, Araz keukeuh menahanku untuk masuk kelas. Tadinya, cowok gila itu mau langsung membawaku ke rumah sakit. I think he is doing to much, cih.

Posisiku sekarang menyender di dada bidang Araz, sedangkan si empunya sibuk mengelus kepala sesekali mengecupi pelipis selagi atensinya fokus pada ponsel di tangan lain. Aku tidak tahu apa yang sedang ia urus, yang pasti setiap notifikasi pesan masuk, Araz mengembuskan napas kesal.

"Aku janji akan bahagiain kamu," gumam Araz tiba tiba. Aku berdeham singkat menanggapi ucapan Araz. Jika tidak ada sesuatu yang penting diobrolkan, Araz selalu begitu. Hanya agar atensiku tetap menjurus padanya.

"Tania, aku nggak suka kalau kamu cuek."

Aku juga nggak suka diatur, Araz. Hidupku setelah bertemu kamu rasanya mustahil bisa menghirup udara bebas. Terpaksa, aku memiringkan badan, meraih salah satu tangannya dan kuarahkan ke pipi.

Meski hati aku benci dia setengah mati, ragaku sudah terbiasa dengan afeksi yang diberikan Araz.

"Maaf, aku pusing. Rasanya pengen muntah," aduku melemah memainkan jari jemari Araz yang bertengger di pipi.

Araz paling tidak suka aku sakit, dia akan kalang kabut kesetanan dan panik. Jika ada luka di tubuhku atas kecerobohanku atau orang lain, suatu saat dia akan membayarnya juga di luka tersebut. Katanya, aku ini milik dia. Dari ujung kuku sampai ujung rambut. Beruntungnya aku yang sempat berontak saat Araz menginterogasiku. Tapi, percayalah dunia memang tidak adil.

"Aku udah bilang, kita ke rumah sakit."

"Nggak usah lebay, aku Cuma pusing." Aku memijit dahiku sekedar meringankan rasa pengar, tidak lama Arab pun ikut memijat kepalaku dari pangkal hidung sama ke dahi dan itu sedikit membantu.

"Kamu mau jujur sekarang, siapa yang udah ngelakuin ini semua?" tanya Araz begitu tatapannya mengarah pada luka melintang di leher.

Aku menggeleng lemah. Sial, Araz malah menyibakan rambutku ke samping dan menekan kuat luka tersebut hingga aku kelimpungan menahan sakit.

"Jangan ditekan, perih Araz."

Tidak ada jawaban, Araz masih sibuk menjelajahi leherku. Saat kurasakan napasnya semakin memburu, aku mulai siaga. Wajahnya mendekat ke area leher napasnya bisa kurasakan memburu tidak beraturan. Araz ini...serba ingin tahu, tidak ada secuil pun informasi tentangku yang tidak dia ketahui.
"Kamu cantik banget, bikin aku gila aja," bisik Araz di sela napasnya yang memburu. Jujur, ini menggelikan. Aku sedikit takut saat Araz mulai hilang kendali, aku bukan wanita murah.
Tidak nyaman berada posisi seintim itu, aku sedikit menjauhkan kepala Araz dan memeluk diriku sendiri, takut jika Araz kembali gila.
"Maaf, aku kelepasan." Araz mengusap luka lebam ulah Oscar dengan penuh kasih sayang. Aku tidak bisa marah, apalagi menyuruh Araz untuk tidak melakukan ini itu di area sekolah. Tapi aku masih punya rasa takut pada psikopat ini.

"Mungkin untuk hari ini, aku nggak bisa anter kamu pulang."

Syukur deh. Aku bisa mangkir dulu ke toko buku.

My Eyes On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang