PSIKOPAT 25

1.3K 106 15
                                    

Ekehm😏

Seriusan kalian mau baca part ini? Banyak adegan kurang pantas. Mending nih yang usianya 17 ke bawah skip aja. Sumpah nggak apa apa aku mah.

Tolong yah nanti kasih pesan dan kesan buat hari terakhirnya Araz. Gw juga emosi soalnya.

Selamat baca.



PSIKOPAT 25

Pergelangan tangannya sudah lebam akibat cengkraman Araz yang tidak melonggar. Sakit dan ngilu berbaur sampai terasa kebas. Tania juga tidak tinggal diam, selagi Araz menyeretnya ke sebuah ruangan asing, ia memberontak kuat. Kini bukan hanya kebas yang ia rasakan, namun peraliran darahnya seperti tersumbat.

Araz membawanya ke rumah. Jika saat masa pacaran, Araz selalu membawanya ke kamar, sekarang berbeda. Menuruni tangga curam yang menghubungkannya ke ruang bawah tanah, seketika seluruh tubuh Tania bergetar hebat karena panik.

“Berhenti Raz, tolong. Jangan sakiti aku, lepasin aku, Raz.” Bagaimana tidak panik. Di ruang bawah tanah itu terdapat ruang rahasia milik Araz yang sangat tidak manusiawi. Banyak perkakas tumpul di sana, rantai dan alat alat mengerikan lainnya. Tania hanya takut, Araz lepas kontrol dan membunuhnya.

Beralih ke rambut, Araz menjambaknya kasar sampai Tania mendongak. Araz sangat marah, bukan pada Tania, tapi kepada hatinya yang menyulitkannya. Dia ingin Tania membencinya, namun dia juga sudah ketergantungan akan hidup bersama gadis itu.

“Apa kamu takut, hmm?” Araz mendorong Tania dari anak tangga sampai terjerembab di lantai. Dinginnya suasana ruang bawah tanah membuat Tania menggigil bercampur takut. Dia terus mundur selagi Araz meneliti rangkaian cambukan yang tersusun rapih.

Napas Tania tersendat, Araz benar benar gila dan di luar dugaan. Menguatkan pijakan, Tania buru buru bangkit melawan semua rasa takutnya lantas hendak kabur menaiki tangga kembali. Sayangnya dia kurang cepat.

Splash

Splash

Dua cambukan mendarat di kaki, Tania kembali terjatuh. Perihnya tidak bisa dijabarkan oleh kata kata, yang pasti, Tania bisa melihat ada darah bercucuran dari luka bekas cambukan. Tania merangkak sambil menangis, ia masih berusaha kabur dari tawanan Araz.

“Apa kamu merasa sudah benar benar lepas dari aku, Tania? Ingatkah kamu dua tahun lalu masa masa indah kita?” Araz berjongkok di sampingnya seraya mencengkram rahangnya. Tania kesusahan berbicara, dia hanya menangis minta pengampunan.

“Kamu membuatku kesal dan marah. Aku juga ingin melupakanmu, benar benar ingin, tapi kenapa wajah cantikmu ini selalu terpatri di otak, hah? Sial, aku sudah memiliki Sefa dan tidak mau menyakitinya lagi. Sayangnya aku marah setiap kamu bersama laki laki lain, Tania.”

Tangan Tania merayap ke jari jemari Araz yang mencengkram wajahnya. Meremasnya sekuat tenaga lalu dihempaskan. Untung saja Araz tidak mempersulit pekerjaannya, jadi Tania bisa lepas dan berbicara.

“Apakah itu kesalahanku, hah? Aku bukan boneka Raz, kamu juga sudah melepaskanku. Maka mari hidup masing masing, kita masih sangat muda. Ada banyak sekali impian besar di luar sana untuk kita raih. Hubungan kita tidak sehat, aku mohon jangan mempersulit semuanya.”

Lucu sekali gadis itu membicarakan tentang masa depan. Dan ... impian? Apa itu? Ingin sekali Araz tertawa kencang dengan semua omong kosong yang Tania ucapkan. Hidup Araz sudah sempurna, bahkan masa depannya kelak sudah diatur sedemikian rupa. Dia dilahirkan dari sendok emas, tidak usah gagal dan tinggal menerima kesuksesan secara instan.

“Aku ingin memilikimu, Tania. Aku terlanjur menyukai semua yang ada di tubuhmu. Rambut, mata, hidung, leher, semuanya, aku menyukai semuanya.” Jari Araz membelai anggota tubuh yang ia sebutkan tadi. Turun ke kaki tepatnya di mana luka cambuk itu masih mengeluarkan darah segar, tidak segan Araz meremasnya kuat.

“Arghhhhh.”

“Ya terus berteriak! Aku menyukainya. Darimu tidak ada yang tidak aku sukai,” ucap Araz semakin keras meremas kaki Tania. Gadis itu bergetar, meronta minta dilepaskan, namun sebelah tangan Araz yang lain menahan tubuh Tania.

“Tolong! Araz ini sakit, hiks. Lepas!” Alih alih menjawab, Araz malah tertawa kencang bak orang gila. Dirasa ia sudah puas menyiksa Tania, Araz melepas cengkramannya lalu melumuri wajah Tania dengan darah dari tangannya. Terlihat lebih cantik menurutnya.

“Kamu sangat cantik,” bisik Araz seraya ikut berbaring di samping Tania. Dia tidak memedulikan lantai ruangan yang kotor, atau bahkan di mana ia berada. Araz membawa tubuh Tania yang bergetar ke dalam pelukannya seraya memaksa Tania mengulum kelima jarinya yang masih berlumuran darah.

Tania ketakutan. Melakukan semua perintah Araz agar hidupnya baik baik saja. Memulai dari jari telunjuk, Tania membersihkan sisa darah di jari Araz sampai bersih.

“Anak baik,” gumam Araz gemas. Dia tidak berkutik saat tangan Araz perlahan merayap ke punggung belakangnya dan mengusapnya seduktiv. Sedikit demi sedikit, dapat Tania rasakan, Araz memeluknya erat.

“Aku tidak paham dengan jalan pikirmu, Raz. Tolong perjelas saja, di antara aku dan Sefa siapa yang akan kamu pilih?” tanya Tania setelah mengumpulkan keberanian besar.

Araz tersenyum miring, mengecup kening Tania lumayan lama lalu beralih ke bibirnya, namun Tania dengan cepat menghindar. Najis, diperlakukan seperti wanita murahan padahal hubungan di antara keduanya tidak lebih dari mantan.

“Sefa.”

“Maka kamu tidak ada gunannya mengikatku seperti ini,” bentak Tania frustrasi.

“Jelas saja, aku mencintai Sefa sejak kecil. Ah, bukan, resminya sih saat aku duduk di kelas 8 smp. Sefa orang baik, dia selalu membuatku merasa dilindungi dari orang orang jahat. Saat mereka membulliku karena punya kulit putih tidak wajar dan mata merah, Sefa tidak. Dia tetap menemani dan menguatkanku. She is my best friend, and i loved her.”

“Treat her better Raz. Dengan kamu begini malah akan menyakitinya beribu kali lipat. Meski Sefa tahu kamu mencintainya dan menganggapku hanya pelampiasan, hati wanita sangat rapuh, Raz. Tolong berhenti, tidak ada gunannya seperti ini. Biarkan aku bebas, dan kamu hidup bahagia dengan Sefa.”

Araz termenung. Semua yang Tania katakan tidak sepenuhnya salah. Namun jika mengingat kembali saat Tania dengan leluasa bepergian dengan Oscar dan mendapat banyak teman laki laki, itu membuatnya sakit kepala dan frustrasi.  Menjawab ucapan Tania, Araz menggeleng ragu.

“Kamu akan tetap menjadi milikku Tania. Tunggu sampai aku bosan dan melupakanmu, maka aku akan pergi dan melepasmu begitu saja,” gumam Araz mengeratkan pelukannya. Tania mencengkram jaket Araz kuat, dia tidak tau lagi harus bagaimana menghadapi Araz. Putus pun tidak ada gunannya, Araz makhluk paling egois yang pernah ia kenal.








#arazsiapdihujat#
#savetania#

My Eyes On YouМесто, где живут истории. Откройте их для себя