PSIKOPAT 9

1.9K 140 15
                                    

Ada beberapa adegan yang nggak pantas. Mohon bagi kalian yang belum cukup umur, jangan baca ya.

Rasanya malas sekali bangun pagi lalu berangkat sekolah dan melakukan rutinitas seperti biasa. Kata orang, masa SMA adalah masa terindah. Nyatanya, bagiku tidak.

Sama sekali.

Aku masih bergelung di bawah selimut. Semalam aku pulang pukul 1 dini hari. Ayah tidak menginterogasiku karena beliau kira aku dari rumah Araz.

Aku mendengar derap langkah lalu ceklekan kunci pintu. Awalnya tidak ada yang aneh, aku kira pun itu ayah. Ternyata, saat merasakan dinginnya besi di telingaku, bulu kudukku langsung bergidik.

"Punya ponsel gunannya untuk apa hm?" Satu kecupan mendarat di leher. Aku meremas sarung bantal masih memejamkan mata. Kini aku sadar, bahwa hidupku benar benar tidak akan lepas dari manusia satu ini.

"Kamu berani main belakang, ayah dan adikmu yang lagi sarapan sekarang, sebentar lagi masuk rumah sakit karena keracunan."

Sontak aku balik badan lantas duduk di tepi ranjang dengan Araz yang masih menodongkan jarum suntik di leher.
Apa lagi ini Tuhan?

"Aku pernah bilang, kalau kamu mau lepas dari aku, siap siap aja mati."

"Bisa tidak jangan menggunakan ayah dan Jian sebagai tekanan ancamanmu? Yang melakukan kesalahan itu aku bukan mereka." Aku tidak tahan lagi terkungkung tekanan yang selalu membawa keluarga, dengan berani aku mendorong tubuh Araz sampai terjerembab di teras.

Araz menatapku datar, tapi aku tau dia sedang sangat murka. Liat saja wajahnya, sudah benar benar merah dan rahangnya mengetat.

"Jadi kamu mengakui sudah melakukan kesalahan?" Araz bangkit menghampiriku lagi. Aku otomatis mundur, tapi sayangnya iblis itu sudah duduk di sampingku dan mencengkram erat tanganku.

"Pak Robert kenapa bisa dirawat di rumah sakit ya? Perasaan, aku menyuruhnya untuk mengantarmu pulang."

"Ah dan kenapa kamu bisa tidur nyenyak seperti ini? Kalau pak Robert saja sampai luka parah, kenapa kamu baik baik saja? Ponselmu juga tidak aktif." Araz semakim meremas tanganku. Ini sakit dan ngilu. Aku menggigit bibirku guna menahan ringisan.

"Jangan gigit bibir, nih gigit telunjukku aja." Tanpa aba aba, Araz memasukan jarinya ke mulutku. Ah, sial. Hampir saja aku tersedak. "Jilat dan hisap." Aku menurut karena tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain patuh. Araz tersenyum puas.

"You are mine!" ucap Araz tiba tiba sambil menatapku lamat yang sedang sibuk menjilat dan menghisap telunjuknya.

"Tania, You are mine!!" Aku ingin menangis saja saat telunjuknya masuk lebih dalam seperti ingin menyiksa tenggorokanku. Tidak berhenti di sana, jari jari lain yang bertengger di pipi mencengkram kuat dan Araz mendorong tubuhku sampai berbaring lagi.

"Hhh mau ngapain?" Aku tidak bisa bicara dan mau muntah saat telunjuknya bermain main di tenggorokanku.

"Bikin kamu nggak bisa bicara."

"Lepash."

Saat perutku ingin mengeluarkan isinya, Araz dengan sigap mengeluarkan jari lalu membungkamku dengan ciuman ganas. Dia memblokir akses pernapasan dari hidung dan mulutku.

Pertahananku runtuh, aku menangis tidak karuan. Kedua tangan mencengkram seragamnya kasar minta dilepaskan. Ini sangat sakit.

"Aku benci dibohongi, Tania. Aku benci pengecut. Kenapa kamu tega sekali bermain main dengan Oscar, hah?"

Dia keterlaluan! Seharusnya aku yang marah karena sudah berani menyentuh perempuan lain.

Aku tidak bisa menjawab, suaraku tercekat, begitupun tenggorokanku perih. Aku menangis sesegukan dengan saliva berhamburan di rahang.

My Eyes On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang