PSIKOPAT 33

1.3K 121 11
                                    

My Eyes On You 33

Lima hari Tania tidak masuk sekolah hanya untuk merenungi suruhan sang ayah. Selama itu, dia tidak mengaktifkan ponsel, menutup pintu rumah rapat rapat dan tidak menerima tamu, mau siapapun itu. Keluar jika ada yang ia perlukan saja. Hubungan dengan sang ayah pun mulai runyam. Tania bahkan tidak memedulikannya sama sekali.

Ada dua pikiran bimbang tentang keputusannya perihal hubungannya dan Araz. Pertama, jika Tania kembali memohon mohon kepada Araz, bukannya itu peluang bagus bagi laki laki itu untuk menginjak injak harga dirinya? Dalam situasi tidak menyakinkan ini, kembali berhubungan pasti akan menjadi boomerang bagi hidupnya nanti. Dan jika sampai itu terjadi, Tania tidak akan pernah bisa lepas, kecuali Araz mati.

Kedua, mempertahankan hak sebagai individu, seperti kebebasan, kebahagian dan emosi lainnya.  Sialnya, sang ayah terlalu pengecut mengorbankan anak gadisnya sebagai jaminan masa depan keluarganya. Itu terlalu ... merugikan.

Tepat di hari keenam setelah Tania meliburkan diri, akhirnya gadis itu kembali memulai aktivitas seperti biasa. Renungannya tidak membuat kesimpulan pasti, karena jujur saja, Tania bingung. Entah kenapa juga dia harus bingung. Ini hidupnya, kenapa orang lain yang gencar sekali mengurusnya?

Suasana sekolah begitu hangat kelihatannya. Bersenda gurau dengan sahabat, menjalin hubungan romantis dalam batas wajar, sekelebat Tania membandingkan dengan hidupnya. Dapat ia rasakan, sekarang ia hidup sendiri. Dulu terlalu angkuh tidak memerlukan sahabat dan teman. Seiring berjalannya waktu, Tania paham, sahabat ataupun teman sangat sangat ia butuhkan dalam masa masa sulit.

Lalu, peran Oscar di hidupnya sebagai apa? teman? Tania tidak bisa begitu saja mengclaim Oscar adalah temannya hanya karena laki laki itu beberapa kali bertingkah baik kepadanya. Bisa saja sosok Oscar si periang akan tiba tiba menjadi iblis transparan. Sebaiknya kita jangan sok tau tentang hati manusia.

Kemungkinan kemungkinan yang dianggap tidak mungkin bisa saja berbalik dengan kenyataannya.  

BRUK

Seorang perempuan terlempar dari lantai tiga dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Kepalanya remuk, jari jemarinya hilang dengan mulut tersumpal lakban. Semua yang menyaksikan kejadian itu menjerit histeris lalu berlari mencari pertolongan.

Melihat banyaknya darah berhamburan hampir menutupi lapangan utama, membuat perut Tania serasa diaduk aduk. Termenung di pinggir lapangan seraya menatap kosong pada korban perempuan itu, seketika kedua tangan dan kakinya bergetar hebat. Kepalanya pusing. Ambruk begitu saja saat terdorong kesana kemari oleh kerumunan siswa siswi yang ingin tahu lebih jauh kejadian itu. belum sempat menghindar, jari jemarinya terinjak tidak sengaja. Sesak napas, Tania melindungi kepalanya sembari menahan tangis.

Kejadian itu mengingatkannya akan sesuatu. Kejadian sembilan tahun silam di mana sang ibu memilih mengakhiri hidupnya dengan melompat dari gedung perusahaan di mana ia bekerja. Setelah keadaan mulai renggang, Tania berusaha bangkit, namun tubuhnya terlalu lemah. Pikiran dan mentalnya belum sepenuhnya pulih. Di antara keramaian orang orang, Tania menangis tertahan menutupi gendang telinga. Sirine ambulan dan polisi yang berdatangan semakin membuatnya geram.

“Berhenti!” lirihnya frutrasi. Masih berjuang dengan traumanya, seseorang melindungi kepala Tania dengan ransel lalu menariknya ke dalam pelukan. Terkejut merasakan aroma yang dulu sering merengkuhnya, tidak segan Tania mencengkram seragam sosok itu lalu mencurahkan semua ketakutannya.

“Kamu masih ingat bagaimana dulu menangani ketakutanmu, hmm?” Tania menggeleng lemah. Dia tidak bisa mengingat apapun sekarang. Araz tersenyum maklum, laki laki itu tersenyum lembut merapihkan rambut Tania yang berantakan.

“Mau melakukannya?” tanya Araz menggenggam lembut kedua tangan Tania. Netra keduanya saling bertemu. Kristal bening itu masih bercucuran di wajah Tania, reflek saja, Araz menghapusnya telaten.

“Araz?” gumam Tania tidak percaya.

“Hmm?”

Untuk sekali ini saja biarkan Tania memeluk Araz meminta perlindungan di balik dada bidangnya itu. Sungguh, biarkan hanya sekali, untuk seetrusnya, Tania janji tidak akan lagi. Menubruk dada bidang itu, Tania kembali merasakan degup jantung Araz yang semakin menggila di pendengarannya.

Dari lantai tiga di mana sosok perempuan itu terlempar, seseorang meremas puntung rokoknya yang masih terbakar lalu membuangnya begitu saja di koridor. Lacia melewati Oscar begitu saja dengan mood berantakan.

“Lacia!”

“Hmmm?” Lacia berbalik menyahut.

“Apa yang lo lakuin sama Ayu?” tanya Oscar panik.

“Oh namanya Ayu? Gue ngelakuin apa yang lo suruh aja sih. Jagain Tania. Kenapa?”

“Dia mati!”

“Syukur deh, beban dunia berkurang satu,” ucap Lacia hendak melanjutkan langkahnya. Sebelum itu terjadi, ada sesuatu yang ingin gadis itu sampaikan. “Oh ya, kalau Ayu nggak mati, tingkahnya bakal menjadi menjadi. Lo nggak tau kan ya kasus mendiang ibunya Tania?”

“Maksud lo?”

Lacia mengembuskan napas jengah. Merogoh saku seragamnya lantas mengeluarkan ponsel Ayu yang sudah berlumuran darah. “Jejak digital ibunya Tania ada di ponselnya Ayu. Demi melindungi martabat seorang wanita, gue melarang keras lo kepo. Bye. Gue mau ngasih suprise ke Araz. Perasaan gue sama tuh cowok belum kenalan deh.”

Oscar mematung di tempat. Apa Lacia memang sudah sejauh itu menyelidiki semua tentang Tania? Menatap punggung gadis itu yang berjalan santai seolah tidak merasa bersalah atas apa yang ia lakukan, Oscar pun mengintip kejadian heboh di bawah sana.

“Gila, gila. Gue nggak ikutan pokoknya.”





A/n: masih ada yang nunggu cerita ini update? Yeahhh Tania back. Hehehe. Selamat membaca. Jangan lupa pencet bintangnya yo.

Btw gimana menurut kalian part ini? Yang jatuh itu Ayu ya kawan. 🐻

My Eyes On YouМесто, где живут истории. Откройте их для себя