PSIKOPAT 18

1.3K 114 18
                                    

Sorry kemarin nggak update😃

Sebelum baca, bisa kali ah pencet bintang. Dan kalau bersedia, Follow hehehe. Eh kalau follow mah nggak maksa suer.

Terus nih, aku juga butuh masukan, atau apalah itu dari kalian. Jadi jika berkenan, tolong komen pendapat kalian tentang ceritaku ini.

Beside that, thanks yang udah setia ngevote atau antusiasin ceritaku di komentar.




***
 My Eyes On You 18

“Masih sakit nggak perut lo?” oscar memalingkan wajah tidak acuh sambil membakar sebatang rokok. Kepulan asap itu menguar di udara yang pastinya mencemari ruangan. Tania memang perokok, tetapi jika menghirup asap rokok dari orang orang lain, Tania cukup sensitif, makanya gadis itu beberapa kali mengibaskan tangan di depan wajah. Sialnya, melihat hal itu, terbitlah ide buruk di benak Oscar.

Fiuuh.

Oscar sengaja mengembuskan asap itu tepat di wajah Tania. Langsung terbatuk dan reflek hendak mengambil minum, Oscar tidak kalah cepat mengangkat tinggi gelas itu. Dia terkekeh puas melihat Tania kelabakan.

“Gue males bercanda sama lo!” ujar Tania menatap Oscar tajam. Sakit di perutnya memang sudah mendingan, namun jika dipaksa gerak terlalu banyak, maka sakitnya akan bertambah tidak karuan.

“Keliatannya gue lagi bercanda?”

“Lo pikir? Mau bunuh gue, hah?” Tania membentak.

“Dosa dong gue?” tanya Oscar polos mencelupkan rokok yang baru ia hisap sekali ke minuman milik Tania. Kenapa setelah insiden penusukan Oscar di lapangan mereka jadi sok kenal seperti ini? Dua tahun lalu keduanya bersembunyi di mana, sampai fakta menghirup oksigen dalam satu lingkungan pun mereka tidak sadar.

“Wajah lo kondisiin, macem bagong nggak ngotak,” serobot Tania emosi lalu bangkit hendak pergi jauh dari manusia kurang kerjaan ini. Mendengar ucapan frontal itu, Oscar berpikir keras. Entah dia yang  hidup di lingkungan elit dan berkualitas atau memang benar benar tidak memiliki otak, Oscar mengerutkan kening mengartikan kata ‘bagong’.

“What is Bagong?”

Tidak sampai satu menit setelah Tania bangkit, gadis itu memekik nyaring memegangi perutnya.

“Perut gue sakit,” lirih Tania mencengkram pinggiran kursi yang tadi ia pakai. Sebagai laki laki yang dididik dengan penuh tanggung jawab, Oscar menyingsatkan jas sekolahnya sebatas siku lantas menghampiri Tania. Berjongkok di depannya seraya memberi kode naik.

“Ngapain lo?”

“Menurut lo? Cepet naik! Perut lo harus diamputasi kan?” Oscar hanya memiringkan kepalanya memerhatikan Tania yang masih diam mematung. Dalam hatinya, Tania merutuk. Mana ada perut diamputasi. Sumpah, kalau niatnya melawak, itu sama sekali tidak lucu.

“Gue masih bisa jalan.”

“Kalau lo jadi istri gue, bakal gue potong kedua kaki lo, supaya nggak bisa jalan.”

“Setan!”

“Panggilan sayang? Ok Fix. Makasih.” Sekali sentakan karena terlalu gemas menunggu Tania, Oscar berinsiatif sendiri menggendong Tania keluar dari restoran. Semua pasang mata tentu saja menyorot ke arahnya. Sebagian ada yang menggelengkan kepala karena miris melihat mereka masih memakai seragam sudah menebar keuwuan.

“Turunin gue!”

“Nanti.”

“Kapan?”

“Kapan kapan,” balasnya cuek.

My Eyes On YouWhere stories live. Discover now