2

18K 1.2K 31
                                    

Saga Pov

"Haiiici."

Gue menatap jengah Ningrum yang terus saja bersin, dan sesekali menggosok hidungnya yang sudah semerah tomat.
Sungguh gue risih banget, punya istri kok model gini.

"Sini biar saya periksa. Jangan gosok terus hidung kamu, nanti makin merah."

Ningrum mengeratkan selimut, lalu menatap sebentar ke arah gue.

"Hidung saya gatal mas, kalau gak garuk, mana saya tahan."

"Nih, minum obat flu dan demam dulu."

"Ini salah mas Saga, buat saya mandi tengah malam. Tolong mas buat bak mandi, saya gak ngerti dengan leding di kamar mas.  Airnya keluar dingin banget, kayak es mas. Hacih."

Gue menatap jengah Ningrum.

"Sower Ningrum, kamu tuh ndeso bangat sih. Kamu tuh beneran tinggal di hutan atau di gua mana?"

Ningrum membuang tisu berisi ingusnya ke arah gue. Astaga menjijikan, sungguh wanita ini.

"Poko e Ningrum ora sudi, kalau dihina terus sama Mas gagak."

Gue memutar bola mata malas.

"Ningrum, nama gue Saga, Not Gagak. Lo kok samain gue sama burung arwah sih."

Enak aja ni cewek ndeso samain gue dengan burung berbulu hitam, dan dipercaya sebagai ada makhluk halus, atau hantu, biasanya selalu ada saat film horor.

"Lah, mas itu kan mirip burung gagak, berhati hitam mirip bulu Gagak."

Benar Ningrum cewek ndeso ini yang sering menjawab dan mendebat gue.
Lihatkan sekarang, nama gue aja berubah, besok-besok apa lagi.

"Kalau saya hatinya hitam, saya gak bakalan tanggung jawab telah menodai kamu."

"Harusnya kamu ingat, saya terpaksa nikahin kamu. Kamu bukan tipe saya, bahkan seribu kali lipat jauh dari mantan-mantan saya."

"AAWWWW, NINGRUM KENAPA TENDANG SAYA."

Gue melotot pada Ningrum yang berdiri dan memperbaiki selimutnya yang melorot.

Gue mengelus bokong gue yang berharga ini, sial pantat gue dicium lantai rumah gue.

"Aku juga ora sudi nikah sama kamu mas. Kaki Ningrum gatel pengen tendang orang bermulut cabe, jadi kelepas, maap mas. Ningrum ora sudi diinjak-injak."

Gue melongo menatap kepergian Ningrum.
Gue berteriak sebal, perempuan ndeso itu bahkan berani menendang.
Baru dua hari menikah dengan Ningrum hidup gue bagaikan di neraka.
Selain Ndeso dan cerewet, Ningrum juga bar-bar.
Gue pikir, Ningrum adalah cewek lemah lembut karena penampilannya seperti gadis desa lainnya. Tapi cover menipu segalanya. Bar-bar seperti itu.
Soal demamnya Ningrum, gue menyetel air sower sedingin mungkin. Karena kesal Ningrum yang menjadikan dasi gue sebagai tali jemuran.
Setelah pulang dari Rumah Sakit, gue cepat-cepat pulang sebelum rumah gue hancur berantakkan.
Benar saja, gue lihat Ningrum duduk kayak pengemis, sempat adu mulut, tapi tetap gue harus menunjukkan besi jemuran yang sebenarnya dan syukurnya perempuan itu mengerti dan tidak mendebatnya lagi.

Dengan kesal gue melangkah ke dapur, sudah jam 9.00 sejak adanya Ningrum sepertinya pola makan gue terganggu, sejak kemarin makan gue telat mulu, semuanya karena mendebat Ningrum.

Kali ini kepala gue mau pecah, mata gue melotot menatap beras  yang masih terendam di dalam magic com.

"NINGRUUUUUUUUUUUUUUUUUM."

Ningrum Pov

*
Aku tergopo-gopo berlari. Aku lagi demam, tapi teriakkan mas Saga membuat aku lekas pergi. Dokter edan tak punya hati itu meneriakki namaku seakan aku melakukkan kejahatan besar. Masih dengan selimut di tubuhku aku melangkah ke dapur.

"Ada opo to mas? Kok teriakki Ningrum sampe kayak gitu. Mas sendiri yang bilang kalau darah tinggi bisa menyebabkan struk terus mati mas."

"Gimana saya gak darah tinggi. Kamu bilang sudah masak, tapi ini yang kamu bilang masak hah?"
Aku menengok ke arah reskuker, iya aku gak paham soal magic, apa lah ini.
Aku kemarin lihatin mas Saga masak, yah aku ikutin. Bendanya ajaib bangat bisa masak tanpa api. Benda itu gantiin periuk ibu di kampung.
Aku menelan liurku kasar, menatap tempat ajaib itu yang tidak berubah menjadi nasi.

"Waduh mas, kok gak berubah jadi nasi sih. Padahal aku udah lihatin cara mas masak."

Aku merasa tak enak bagaimanpun aku sekarang telah menjadi seorang istri, bukan salahku juga, toh emang aku gak pernah tahu alat-alat ini. Aku orang ndeso, makan seadanya aja sudah bersyukur, masak pakai tungku dengan kayu bakar.
Aku memperhatikan mas Saga yang mulai mecolok kebel ke arah terminal.
Aku merasa tak enak, Mas Saga bahkan duduk menonton tanpa melihatku. Aku menelan ludahku kasar, astaga suasana kok jadi dingin kayak gini. Dua hari nikah, seperti ini.

"Mas Saga, anu maafin Ningrum ya mas!"

Bagaimanapun aku telah menjadi seorang istri.
Kata ibu seorang istri harus melayani suaminya dengan baik.

Tapi masak nasi saja gagal. Mas Saga masih terdiam, sebenarnya aku sebal. Sebagai suami yang berpendidikan mas Saga pasti tahu, aku ini masih asing dengan barang-barang mewah di apartemen ini.

"Sebagai orang berpendidikan mas Saga pasti ngerti, Ningrum masih asing mas sama barang-barang di sini. Ningrum biasanya masak di tungku mas."

Aku menahan napas saat mas Saga membuang nafasnya kasar.

"Ya, saya maklumi kamu itu ndeso bangat."

Aku menahan sebal. Aku memang ndeso, tapi si tua bangka ini tidak perlu berbicara seperti itu.
Dasar tak punya hati.

"Kowe bojo edan."

"Hah apa, kamu ngomong apa?Edan, siapa yang edan?"

Aku memutar bola mataku malas. Suami ku ini bukan orang Jawa.

"Diam aja lah mas. Kalau ora ngerti. Gak usah nyambung kayak dasi mas yang Ningrum sambung."

Istri Ndeso Sang Dokter [End]Where stories live. Discover now