Aku menatap kesal ke arah mas Saga, berapa hari ini aku pengen makan bakso pedas, tapi aku urungkan niat karena sikapnya yang menyebalkan.
Sekarang lihatlah, dengan tidak berperasaanya dia mengiyakan permintaan Renata untuk membeli sate."Ga, kamu nggak tanya istri kamu mau apa?"
Pertanyaan dari mama buat aku makin kesal. Entahlah sejak hamil aku tensi mulu. Benar-benar pria tua menyebalkan. Dia tidak memikirkan diriku sama sekali.
"Kalau dia mau pasti udah minta aku beliin Ma."
Kami bersitatap sebentar saja. Tentu saja aku menatapnya sinis. Tiba-tiba ide cemerlang muncul begitu saja.
"Sebenarnya ma, aku nggak enak ngomongnya."
Semua mata menatap ke arahku. Termasuk mas Saga dan Renata yang masih berdiri di seberang sana.
"Ngomong ajah Ning, kenapa?"
"Gini loh ma, Nining tuh pengen makan bakso campur daging ayam gitu ma, tapi pengennya sama mas Konan. Udah berapa hari Ningrum pengen banget. Tapi takut mas Konan nolak. Nggak enak."
Aku tersenyum menatap mas Saga. Kena kita satu sama. Aku lihat wajah mas Saga yang datar-datar saja.
"Kenapa nggak ngomong sih. Nggak boleh ditahan Ning, kamu lagi hamil. Konan, temani kakak ipar kamu."
Aku menatap mas Konan nggak enak. Duh kenapa aku harus bawa-bawa nama mas Konan sih. Tapi nggak apa lah.
"Konan nggak masalah ma. Ayok kakak ipar, aku temani. Buat keponakan."
Aku melirik mas Saga yang masih diam di tempatnya.
"Ga, jadi jalan nggak sih?"
"Jadi kok. Ayok."
Aku menatap kepergian Renata yang menggandeng tangan mas Saga. Dasar suami nggak tahu diri, dasar cewek kegatelan. Aku membuang nafas berkali-kali.
"Satu mobil aja."
Aku dan Konan berhenti seketika.
"Nan, kita ke tempat biasa aja. Ada sate sama bakso juga di sana."
Aku hanya mengikuti saja kemana mereka pergi.
Sungguh aku kesal, Renata duduk di depan. Pengen aku teriak, aku istrinya. Tapi nggak ah nanti di hina mas Saga. Mulutnya lebih tajam dari silet.Aku hanya menatap luar. Pemandangan malam begitu indah. Bagaimana kalau aku melihat dari atas ketinggian. Pasti lebih indah.
Aku merindukan kampungku. Jika dari atas bukit, rumah-rumah penduduk dari papan dan bambu begitu indah dengan lampu seadanya.
Aku merindukan kampungku. Benar kata orang, sejauh manapun kamu pergi, tetap tanah kelahiran yang paling dirindukan."Ga, entar sampe sana aku pengen sate ayam yah. Sausnya harus dilumuri sambel yang enak."
Aku menggerutu dalam hati, udah kayak istrinya ajah. Dasar ganjen.
"Ningrum, umur berapa?" Aku menatap Renata yang juga sedang balik menatapku. Sedangkan Konan lebih asik denga handphonenya. Mas Saga masih fokus nyetir."Tahun ini delapan belas."
"HAH?" Teriaknya kaget.
"Ga, kamu benar-benar hamilin anak remaja. Kamu kok bisa gitu sih?"
"Ren, nggak usah dibahas."
"Kamu utang penjelasan, buat aku."
Aku mendengus malas, jalannya kayak lama banget.
" Aku diperkosa mbak Renata." Terangku polos.
Tapi sedetik berikutnya, aku hampir terjungkal kedepan sebelum Konan menarikku cepat.
Pria tua sialan mau bunuh aku sama bayi aku apa. Untung pakai sabuk pengaman."Ga, kamu gila yah? Kalau kita kenapa-kenapa gimana?"
"Gila lo bang. Mau rem kira-kira dong. Bisa mati kita."
Saga berbalik menatapku tajam. Aku menatapnya menantang.
"Udah sampai ya?" Tanyaku polos.
"Diam kamu, sebelum mulut kamu saya jahit."
Aku bergidik ngeri. Mas Saga melanjutkan laju mobilnya.
"Mas pikir bibir aku baju bolong apa yang harus dijahit."
"Pfuuuut." Aku berbalik menatap mas Konan yang menutup mulutnya menahan tawa.
Aku masa bodoh dengan Saga yang melihat tajam ke arahku dari kaca di sana, nggak tahu masa bodoh.
*
Aku menatap sekitar. Warung pinggir jalan. Ternyata orang tajir melintir kayak mereka suka makan di pinggir jalan.
Aku melirik Renata yang biasa aja."Kamu masih ingat tempat favorit kita Ga."
Sedetik berikutnya aku pengen pergi, duh nggak lucuhkan reuni sama mantannya suami di tempat biasa mereka pacaran, kurang lagi nostalgia kayaknya.
"Kakak ipar, mau bakso apa?"
"Memangnya di sini ada bakso rasa apa aja?" bisikku pelan. Tidak ingin menganggu orang yang lagi makan di meja seberang. Ku lihat begitu ramai.
"Bakso rasa rindu dan cinta juga ada."
Aku menatap cemberut ke arah Konan, dia pikir aku bodoh apa.
"Dih, bohongin anak SD sana."
"Benaran ada loh kakak ipar."
Aku lihat Konan terkeke pelan, lalu menunjuk spanduk yang menempel di gerobak.
Mataku melebar, emang ada. Wah, kreatif dan unik.
"Biasa aja kali. Kampungan."
Aku mendelik sebal. Selalu berujar kasar kepadaku.
"Ga, nggak boleh gitu sama Ningrum."
Mas Saga hanya diam, masih dengan muka ubin lantainya.
Sedangkan Konan kembali sibuk dengan handphonenya. Tidak tertarik dengan pembicaraan kami mungkin."Udah biasa mbak. Orang desa kayak aku mah emang selalu dikasarin."
Saga menatapku. Aku cepat memutuskan kontak mata rasanya malas menatapnya.
Keduanya seperti orang pacaran sajah. Dasar nggak tahu diri. Aku muak melihat keduanya bermesraan."NINGRUM KAN?"
Aku mengerutkan dahiku bingung. Mataku menelisik pria tinggi, dan tampan di depanku. Apa aku kenal dia.
"Kok tahu namaku mas?" Tanyaku polos.
Aku melihat dia tersenyum, astaga tampan, nggak kalah tampan dari mas Saga. Tapi kok kayak nggak asing.
Pria itu menarik kursi di sampingku. Sebelah tanganya menopang kepala, menatapku sambil tersenyum. Duh, kayak drama korea aku ditatap cogan. Jangan salahakan aku, mbak Azalea emang hebat banget ngajarin aku bahasa gaul anak muda." Kamu lupain aku?"
Aku menatapnya dalam, mataku membelak. Mengamati lekuk wajahnya yang tampan, mataku membelak."MAS HIRO." Pekikku kencang, hingga semua menatap kearahku.
Sungguh aku nggak nyangka bisa ketemu cinta pertamaku. Cowok turunan jepang, cucu pemilik kebun teh dan kebun karet didesaku. Sungguh pria yang sepuluh tahun di atasku. Cinta pertamaku di usia tujuh tahun. Pantas saja dia tidak asing. Kami harus terpisah karena dia kembali ke jepang, katanya kuliah di sana. Singkat cerita dia menolongku saat aku tersesat dihutan saat mencari kayu bakar.
"Semakin manis."
Aku tersipu malu. Sungguh jantungku berdetak kencang. Aku sangat menyukainya."EHEEM."
Aku dan Mas Hiro sontak berbalik."Ningrum ingat bayi kita."
Pengen aku tabok pake kapak sekarang juga.

ŞİMDİ OKUDUĞUN
Istri Ndeso Sang Dokter [End]
Romantizm"Mas Gagak, nyalain kompornya gimana toh iki?" "Mas Gagak, opo toh iki?" Saga menatap jengah perempuan muda tapi o'on ini. Punya istri ndeso kayak gini. Ini kisah tentang dua manusia beda umur, dengan segala perbedaan. Dari perbedaan ini lah kisah m...