[ 14 ] - Namanya Anya, yang Buatku Jatuh Cinta

26.7K 2.6K 202
                                    

Semakin hari, semakin penasaran aku pada sosok Anya. Rasanya, ingin sekali mengirim SMS dan sudah pasti dibalas olehnya. Tapi itu cara yang terlalu kentara dan mudah ditebak. Aku harus lebih misterius untuk memikatnya, karena perempuan suka dihampiri pelan-pelan, kan? Lembut, namun mengejutkan. Jadi, berhari-hari lamanya aku menahan diri untuk mendekati perempuan itu sampai pada suatu waktu ketika istirahat sekolah.

Tepat sebelum panggilan darurat calon-calon OSIS, aku bersama dua kawanku melenggang menuju kantin. Sepuluh langkah sebelum gapura kantin, sekelompok siswi kelas sepuluh melintas. Ada satu sinar yang membutakan wajah-wajah selainnya, sesosok perempuan berambut hitam legam sepanjang punggung dengan poni rata di dahinya. Ia yang paling bercahaya di mataku. Anya yang sedang tertawa bercanda dengan teman-temannya itu, tiba-tiba mengalihkan pandangan. Lalu mata kami bertemu.

Sempat kulihat ia agak terkejut.

Segera kuselamatkan dengan lambaian tangan dan senyuman.

Anya membalas serupa.

Kemudian kami sama-sama berlalu. Jauh di belakang, kudengar elu kawan-kawan Anya yang teredam angin siang, disusul Fernando yang langsung menyikut lenganku. "Siapa tuh, tadi?"

"Anak sultan udah mulai kayaknya nih," imbuh Jamal.

Aku cuma tertawa-tawa tanpa berniat menimpali lebih jauh.

"Cakep, Gas. Embat aja," sikut Fernando lagi seraya berbisik.

"Matamu," balasku akhirnya.

"Kalau enggak mau, biar aku yang embat." Serta-merta lidahnya jelalatan penuh nafsu.

"Sialan. Berani sentuh, kukebiri burungmu," tinjuku keras ke tulang rusuknya.

Fernando mengaduh dan menertawakan aku sepuas-puasnya bersama Jamal.

"Aku serius, Bangke!" makiku hampir ikut tertawa. Lalu bel darurat pemanggil para calon OSIS pun bergema, dan aku harus segera tancap gas meninggalkan dua anak tongkrongan itu.

***

Aku sudah dinyatakan lolos sebagai anggota OSIS. Terlepas dari tugas-tugas kacung (meskipun tetap saja nantinya dikacungi juga), aku bisa lebih leluasa melakukan hal-hal sesuai kehendakku, termasuk mendekati Anya dan mencari tahu tentangnya. Beberapa minggu kuamati, sering kulihat gadis itu berbicara berdua dengan anak lelaki dari kelas IPA. Kadang serius, kadang bercanda, yang jelas, mereka kelihatan dekat. Kuhafal wajahnya.

Lain waktu, aku mengetahui namanya dari selewat anak-anak pramuka. "Cipta! Sini!"

Aku menoleh, dan benar saja. Nama itu menunjuk pada si anak laki-laki yang sering berbincang dengan Anya penuh keintiman.

Siapa dia? Teman Anya? Pacarnya? Masa iya, Anya mau sama yang dekil begitu?

Tak banyak yang berhasil kudapat dari siswa IPA itu, tetapi informasi absolut yang berhasil kusimpan adalah: dia kalah tampan dan mapan dariku. Ya, dia tak populer, tak pula digilai. Cuma orang biasa. Jadi, kemungkinan besar bukan pacar Anya.

Tapi aku agak ragu, karena beberapa kesempatan kulihat Anya diantar-jemput olehnya dengan motor—butut pula! Kejam. Permaisuri seindah itu harus merusak pantat dengan duduk di atas jok kasar? Bisa-bisa bokong Anya tepos dibuatnya.

Dari tongkrongan, kuperhatikan keduanya. Anya bercuap-cuap tak terdengar, laki-laki bernama Cipta cuma manggut-manggut tak acuh, Anya kesal dan menonjok bahu Cipta. Cipta mengaduh, bibirnya monyong penuh cibir, lalu Anya yang hampir pergi, kembali ke arah Cipta dan mencubiti lengan, bahu, perut, disambung menendang pinggulnya. Mereka tertawa bercampur adu mulut. Sial, mereka kelewat dekat. Bagaimana bisa laki-laki sebiasa Cipta berkawan dengan Kanya yang itu? Diantar-jemput pula.

Aku mengembus asap rokok pagi itu.

Fernando berulah lagi. "Nah, kalah udah sama good boy. Siap-siap ganti target, Gas." Ia cekikikan seraya menepuk-nepuk bahuku.

Aku tak menggubris. Masih kutatap dua manusia itu sampai memasuki gerbang sekolah.

Ganti target? Mimpi.

***

Meski belum genting, tapi kalau sudah begini, aku sudah harus mulai bergerak cepat. Satu hari itu, kuberanikan diri bertandang ke depan kelas Anya yang bersebelahan dengan kelasku. Kutanyai salah seorang siswi yang duduk di dekat pintu.

"Ada Anya?" tanyaku.

Siswi yang sedang bedakan itu terbengong sejenak. Lalu berkedip-kedip dan mengangguk agak gelagapan. Lalu memanggil Anya. "Anya! Dicari Bagas!"

Seisi kelas mendadak hening, lalu alunan 'cie-cie' yang panjang melonglong dari dalam. Aku cuek saja.

Tak lama, permaisuriku muncul juga. Ia merapikan sehelai rambutnya ke balik telinga. Masih kudapati semu kemerahan pada pipinya ada di sana. Ia memandangku pada akhirnya.

"Iya, Gas?"

Kelembutan tuturnya hampir membuatku meleleh. Makin-makin saja ingin kuperistri bidadari ini.

Aku berdeham. "Hai, Nya. Mm ... pulang sekolah nanti kamu sibuk?"

Anya menahan senyumnya malu-malu. "Enggak, memang kenapa?"

Aku berdeham lagi, mengusir gugup yang sebelumnya tak pernah menghampiriku begini hebat dalam menghadapi perempuan. "Kita makan, yuk? Sekalian nonton. Malam ini ada film bagus, aku yakin bakal seru."

Mata Anya berbinar, ia tampak berpikir yang dibuat-buat. "Siapa aja yang ikut? Aku belum kenal sama teman-temanmu—"

"Kita berdua aja."

Hening sejenak. Mendadak aku disergap ragu, jangan-jangan Anya akan menolak.

Perempuan itu terlihat memilin-milin jarinya, lalu mengangguk. "Boleh."

Aku tersenyum lega. "Oke. Nanti aku jemput di sini sepulang sekolah."

Anya mengangguk, masih tersenyum.

"Dah."

"Dah." Ia melambai.

Aku kembali ke kelasku, membelakanginya, belum sempat kujotos tinju ke udara, Anya memanggilku dan membuatku menoleh kembali ke arahnya. Ia masuk ke kelasnya sebentar, lalu keluar lagi dengan sekotak makan siang yang dimasukkan ke dalam kantong katun.

"Buatmu," ujarnya.

Aku terkejut sampai tak bisa berkata.

"Untuk camilan makan siang," jelasnya. "Aku sebetulnya enggak bisa masak sih, tapi—"

"Makasih," potongku telanjur tersentuh. "Pasti enak."

Lalu kami benar-benar saling membelakangi. Sebelum tiba di kursiku, segera kubuka isi kotak makan itu. Roti isi tomat, telur, keju, dan selada segar menampang di sana. Lengkap dengan mayonais berbentuk wajah senyum. Begitu sederhana. Aku tertawa geli setibanya di bangku. Kututup kotak makan pemberian Anya, dan aku masih tertawa kegirangan. Kutahan mulutku dengan tangan terkepal. Bahkan ketika guru mata pelajaran pertama memasuki kelas, jakunku masih naik-turun menahan gejolak senang yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Aku terpesona. Aku berbunga-bunga.

Dicintai oleh kaum hawa, diterima pernyataan baiknya, diberi senyum sipu malu-malu oleh mereka adalah biasa untukku, tapi satu kali ini berbeda. Ketulusan yang tersampaikan, keluguan dan keinginan untuk memberikan kebaikan padaku. Belum pernah aku merasa sebahagia ini. Setelah makian, hujatan, dan pukulan dari Ayah bertahun-tahun, baru kali ini aku merasa berarti.

Anya mencintaiku.

Dan untuk pertama kalinya, aku juga mencintai dia yang mencintaiku.

Aku jatuh cinta.

Tak kukira, untuk yang terakhir kalinya pula.

***

Mari Jangan Saling Jatuh CintaWhere stories live. Discover now