[ 10 ] Dilematis yang Tak Realistis

44.1K 7.6K 278
                                    

[ KIRA'S NOTE ] - Aku gak tau adakah di antara kalian yang menunggu cerita ini atau enggak, tapi aku cuma mau minta maaf karena hari ini apdetnya malem hehe. Dan ya, bab ini singkat banget.

***

Masa-masa sesudah tawaran pertemanan itu mengingatkanku pada Anya yang waktu itu nyaris kecebur empang dekat rumahku. Kami masih belum terlalu dekat, sebab itu masih ketika kami duduk di kelas 5 SD. Setelah ia beberapa kali menemaniku berjaga di perpustakaan berjalan yang hanya bermodalkan buku-buku dan tiga lembar terpal besar, aku ingin mengajaknya rekreasi sebagai hadiah untuknya. Oleh karena aku tak memiliki uang untuk datang ke tempat rekreasi betulan, maka kuperkenalkan sebuah empang luas di balik petak-petak sawah yang membentang, tanpa memberi tahu padanya bahwa rumahku berada di perkampungan dekat sana.

Kami memancing ikan-ikan air tawar dengan pancingan bambu muda tanpa alat pengulur tali pancing. Sekadar bersenang-senang, dan kalau beruntung dapat ikan, bisa dibawa pulang dan dimasak.

Anya beruntung. Ia mendapatkan ikan lele raksasa—yang barangkali tersasar dari genangan air sawah. Ukuran ikan lele terbesar yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Awalnya Anya girang bukan main melihat pancingan bambunya membengkok tertarik-tarik, tetapi lama-kelamaan, tubuhnya turut tertarik mendekati air.

"Cipta, Cipta!" ia panik dan memekik-mekik.

Aku melempar pancinganku, kemudian membantunya menarik pancingan yang justru berujung putus talinya. Ia terlempar ke belakang dengan wajah seperti menyaksikan hal menyeramkan, sebab wajahnya cengo dan memerah oleh keringat. Aku menertawakannya.

Hal yang mengingatkanku pada kejadian itu jatuh pada hari menjelang perpisahan. Bagas mengajakku dan Anya berekreasi di danau pinggir kota. Tempat rekreasi yang cukup terkenal sebagai tempat favorit untuk piknik. Aku iya-iya saja, toh dibayarkan. Berangkat pagi hari, kami menempuh perjalanan selama tiga jam untuk sampai di sana siang hari (kami sama-sama tahu Jakarta rawan macet). Berbincang-bincang di atas tikar berpola serbet dengan beragam kudapan mengisi perut.

Pada senja hari, aku memasuki tenda yang hanya ada Anya di sana sedang tengkurap dengan ponsel di tangan. "Kok kamu boleh menginap, Nya?" tanyaku selagi menunggu Bagas buang air kecil entah di mana.

"Awalnya enggak boleh, karena laki-laki semua. Tapi, ketika kuberitahu kalau dua cowoknya adalah Bagas dan kamu, jadi boleh."

Aku terkekeh menanggapi. Kemudian duduk di sampingnya, memperhatikan kedua kakinya yang berayun bergantian, lalu pada wajahnya yang tak terhalang sehelai rambut pun, sebab dikuncir kuda. "Kok bisa?" tanyaku.

"Kata Papa, ada Cipta ini."

Aku tertawa. "Bisa aja becandanya, Pak Wisnu."

"Tapi Papa serius, Ta," ujarnya untuk kemudian mengalihkan pandangan dari ponselnya ke wajahku. Ia pun memasang raut serius.

Seketika aku merasa tersanjung. Apa iya Wisnu Candra memercayakan putrinya padaku sebegitu besar? Keheningan mengelilingi udara, membiarkan kami saling tatap sesaat. Menyadarkanku bahwa ternyata, aku masih jatuh cinta pada Anya.

Tiba-tiba pintu tenda tersingkap, dan Bagas menyembul dari luar, turut bergabung di dalam tenda sampai gelap merayapi langit dan tengah malam tiba. Anya telah terlelap dalam tidurnya di tenda kuning yang terpisah dengan tendaku dan Bagas.

Kami duduk memandang keasrian danau yang memantulkan bintang-bintang di langit pukul dua dini hari. Bagas mengeluarkan segenggam kotak dari kantong jaketnya, kemudian sebatang rokok tiba-tiba telah berada di antara jari telunjuk dan tengahnya untuk ia selipkan pada celah bibirnya. Api dipantik, dan bubungan asap tembakau yang terbakar melayang ke udara. Ia memandangku, lalu menyodorkan bungkus rokok itu, menawarkan.

Aku menggeleng.

Rokok telah merusak paru-paru Bapak dan membuat kesehatannya menjadi tidak stabil, meski kematiannya tak semata-mata disebabkan oleh gulungan berkandungan tar itu.

"Udah lama merokok?" tanyaku.

Bagas mengembuskan lagi asap rokok dari dadanya. "Lumayan. Kira-kira kelas sepuluh."

"Anya tahu?"

Ia terdiam sesaat, kemudian merontokkan abu rokoknya di atas rumput. "Belum."

Aku tak menanggapi. Selain kebohongannya soal rokok, Bagas orang yang baik.

"Aku sayang Anya," lanjutnya. "Aku takut kebiasaan burukku melepasnya jauh dariku."

Aku memandangnya heran. "Kalau gitu, kenapa masih merokok?"

Bagas tersenyum miring. "Kalau aja semudah itu."

Aku memandangi rokoknya yang kembali tertempel di bibir dengan api menyala-nyala. "Jadi itu alasan kalian putus?"

Bagas menggeleng.

"Lalu?"

Ia mendesah dalam senyum. "Bagian dari rahasia lelaki."

Aku tertawa rendah mendengar ucapannya. Lalu mengambil sebotol soda dan menenggaknya banyak ke kerongkongan.

"Perasaanmu sendiri gimana? Sayang juga sama Anya?"

Aku mendesah dalam senyum, meniru gayanya tadi. "Bagian dari rahasia lelaki."

Bagas serta merta melirikku terkesan, ia tertawa seraya mencomot botol soda dariku.

Aku sayang Anya melebihi kamu menyayanginya.

***

Mari Jangan Saling Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang