[ 1 ] Barisan Buku di Atas Terpal

252K 14.6K 904
                                    

Semua kerumitan itu berawal dari bertemunya mata kami di bangku kelas lima SD Negeri 48. Dia, Pakubuan Cipta. Anak laki-laki dari keluarga miskin yang kerjanya hanya diam, tidur, makan, dan oh, membaca buku. Pandangan matanya selalu dingin dan menyedihkan, jarang bicara di kelas, tetapi sering mendapat nilai sempurna di pelajaran Matematika. Tidak pernah hadir di kelas Seni Budaya, dan desas-desus yang beredar selalu mengumumkan bahwa Cipta pernah tinggal kelas hanya karena selalu membolos kelas tersebut. Itu sebabnya ia terpaut setahun lebih tua ketimbang aku dan anak-anak lain. Awalnya kami tidak dekat sama sekali, tetapi suatu waktu, di tengah tatapan yang tiba-tiba terjadi sesaat sebelum guru pelajaran pertama datang, aku tersenyum padanya.

Aku yakin Cipta terkejut, sebab aku sama terkejutnya ketika melihat bibir di wajah muram itu akhirnya tersenyum. Ia membalas sapaanku. Sungguh, aku tak menduga bahwa Cipta juga ternyata manusia biasa, dan sama sekali tak berbahaya.

Pada suatu kesempatan, aku melihat Cipta yang tengah memikul ranselnya dan menyelip di antara semak untuk kemudian memanjat dinding rendah di belakang sekolah. Pukul dua siang pada hari Selasa adalah waktu bagi kelas Seni Budaya untuk mulai.

"Cipta!" panggilku yang tengah kesulitan menggendong gitar.

Cipta menoleh gelagapan—kaget.

"Jangan kabur!" Untung hari itu lorong kelas sedang sepi, jadi takkan ada yang mendengar seruanku. "Ayo, kelas!"

Dalam posisi tanggung dengan satu kaki hendak melangkahi dinding, Cipta memandangku dalam gamang. "Aku enggak bisa."

"Kenapa?"

Cipta memandangku kikuk. "Pokoknya, aku enggak bisa." Ia lalu melompat keluar dengan mulus dan meninggalkanku bersama gitar, tanpa patahan kata apa pun lagi.

Dua minggu sebelum ujian tengah semester, aku terpaksa pulang berjalan kaki. Pak Suta—supirku—mendadak pulang kampung, karena ibunya sakit. Papa dan Mamaku masih sibuk syuting di Singapura. Sebetulnya, bisa-bisa saja aku naik angkutan kota atau ojek. Tetapi, siang itu langit sedang benar-benar mendukung dan jarak dari rumah ke sekolah hanya tiga kilometer. Aku, meski putri dari sepasang suami-istri kaya raya (karena mereka aktor dan aktris kawakan), selalu lebih suka memandang jalanan pelan-pelan, tanpa diburu mesin beroda.

Sampai di perempatan jalan dekat gerbang depan kompleks, aku melihat Cipta. Dia sudah menanggalkan kemeja, menyisakan celana sekolah dan kaus dalamannya yang berwarna abu-abu usang nan berkeringat, tengah duduk di trotoar jalan, menggelar terpal dengan buku-buku tertata rapi di atasnya. Buku-buku terbitan lama dan baru. Orang-orang berlalu lalang, berjongkok, beberapa membaca di tempat.

Aku yang tak menduga pertemuan ganjil berikutnya akan terjadi sedemikian rupa, lekas menghampirinya dengan agak memekik, "Cipta?!"

Bahu Cipta meloncat, ia termundur beberapa langkah dari duduknya. "A-Anya?"

Aku memandang sekelilingnya sekilas. "Kamu ngapain?"

Cipta tak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangan dan diam, sebagaimana dirinya seperti biasa. Lalu baru aku sadari, bahwa selama ini, terpal dan buku-buku bekas inilah yang menjadi alasan Cipta selalu membolos kelas Seni Budaya. Ia mencari uang.

"Kamu jualan semua buku ini?"

"Sebetulnya, meminjamkan—dan dibayar."

"Perpustakaan berjalan?" aku terpana.

Cipta menggaruk tengkuk. "Enggak sebagus itu."

"Dan semua buku ini punyamu?"

Cipta mengangguk.

Aku terpana sekali lagi, lalu memandangi buku-buku menarik dalam berbagai genre. "Aku mau pinjam. Mana yang paling bagus?"

"Banyak yang bagus. Kamu mau genre apa?"

"Kalau genre yang bagus apa?"

Cipta bingung kali ini.

"Kalau gitu, aku mau pinjam buku itu." Aku menunjuk buku dengan judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Cipta berkerut kening. "Kamu sudah baca-baca sastra sebelumnya?"

Aku semakin bingung dan hanya menoleh, "Hah?"

"Kata empu buku-buku ini sebelum aku, buku itu terlalu berat untuk kamu baca, yang ada kamu cuma bosan. Aku sendiri belum membaca buku itu. Coba baca ini dulu." Lantas Cipta memberiku buku berjudul Astrid dan Bandit karya Djokolelono.

"Oke, aku pinjam dulu ya."

Cipta dengan gesit menarik kertas biru seukuran kartu nama dan menuliskan namaku pada kolom teratas, tanggal dan buku yang dipinjam pada kolom di bawahnya. Selepas ia menulis tenggat waktu dan menyalinnya pada buku kecil miliknya, ia memberikan kartu biru itu padaku. "Ini. Jadi seribu rupiah."

Aku membayar dengan uang pas.

"Kamu punya masa waktu tujuh hari untuk membacanya. Kalau lebih, kamu akan kukenai denda. Kecuali kamu mau memperpanjangnya dengan bayar lagi."

Aku tersenyum. "Oke!"

Sebelum pergi sepenuhnya, langkahku tertahan, lalu aku berbalik dan menampakkan kekhawatiran pada raut wajahku. "Cipta, hati-hati."

Cipta memandangku tanpa perhatihan penuh, lalu tersenyum dan mengangguk, untuk kemudian kembali fokus pada pelanggan berikutnya yang mengambil buku yang aku tunjuk pertama. Lalu aku melangkah ke rumah, yang langsung disambut panik oleh Mbok Inah karena melihat wajahku merah penuh peluh dan tanpa kendaraan yang menggiringku pulang.

***

[ KIRA'S NOTE ] - Hai, selamat datang di MJSJC, terima kasih sudah berkunjung. Gimana impresi pertamanya? :>

Mari Jangan Saling Jatuh CintaWhere stories live. Discover now