[ 3 ] Perjodohan Lutung Kasarung

90.6K 9.2K 899
                                    

"Kalau aku yang menang, kamu traktir es krim," ujar Cipta seraya berancang-ancang siap berlari.

"Tapi kalau aku yang menang, kamu masuk kelas Seni Budaya!" balasku tak ingin kalah, dengan posisi serupa Cipta.

Dua anak kecil dengan seragam SD tengah menaruh kuda-kuda untuk siap berlari. Sepetak sawah membentang di antara kami yang berdiri di atas pematang sawah. Sejauh sepuluh meter ke depan, terdapat tanah lapang berumput yang luas, dengan gawang dari batang bambu di tepi penghujungnya. Siapa yang lebih dulu menyentuh batang gawang, maka dialah pemenangnya.

Aku mengangkat rok yang sudah pendek, menampakkan celana ketat yang melapis seluruh kaki mungil seorang gadis sepuluh tahun, sementara Cipta menenteng sepatu sekolahnya, dan sekarang sudah berdiri dengan kaki telanjang.

"Satu," Cipta memulai aba-aba.

"Dua," Aku melanjutkan. "Tiga!" pekikku tanpa jeda dari hitungan kedua, kemudian lekas memulai pelarian lebih dulu.

"Woi! Curang!" Cipta tak ingin kalah, maka ia segera berlari menyusulku yang telah dua puluh langkah berada di depannya. Lidah laki-laki itu menjulur mengelap bibir bawahnya dengan gemas hendak membalap gadis yang tak ia sangka dapat berlari dengan cepat bersama rok, sepatu, dan celana ketat. Ia tak boleh kalah.

Sementara aku terus berlari di depannya sambil tertawa mengejek dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang, memastikan Cipta tak membalap langkahku. Sampai tiba-tiba saja tak kusadari bahwa tanah di bawah kakiku berceruk, dan sepatu baruku menginjak lubang licin tersebut. Tanpa bisa dihindari, aku terpeleset dan memekik nyaring sebelum tercebur ke dalam sawah berlumpur.

Cipta terhenti dari larinya, menyaksikan persis bagaimana aku terjatuh. Lalu ia tertawa sedemikian lantang; mengakak. "Anya kualat! Mampus!" teriaknya.

Aku yang telah duduk dari posisi terjerembap, mendapati kain sepanjang seragamku terlumuri air cokelat, rambut dan kepalaku lengket oleh lumpur pekat, satu sepatuku terlepas, terpental entah ke mana. Sementara sepatu yang masih di kaki terjebak oleh tanah tanaman padi yang terlalu dalam. Aku menoleh ke arah Cipta dan mendengar bocah laki-laki itu tertawa sedemikian keras, berbahagia penuh atas diriku yang tekena musibah.

Tiba-tiba saja aku dirundung panik dan malu, lalu wajahku memberengut seketika. Aku menangis. Mencoba menarik-narik kaki yang terjebak, dan tak bisa ditarik, maka pecah lebih keraslah tangisku.

Tawa Cipta menyusut perlahan, ia lantas celingukan ke kanan dan kiri, apakah ada orang memperhatikan. Mendengar tangisanku yang semakin keras, mau tak mau, Cipta menghampiri dan melihat keadaanku.

"Udah, jangan nangis!" rayu Cipta yang lebih seperti membentak.

Aku masih menangis dengan tangan berusaha menarik-narik kaki dari tanah dalam.

Cipta melihat dan memahami bahwa kakiku terjebak. Ia lalu meletakkan sepatunya di atas tanah yang tak basah, kemudian mencemplungkan kedua kaki telanjangnya ke dalam tanah padi. "Mana kakinya?"

Aku masih menangis dan berusaha menarik.

"Udah dulu nangisnya, Anya!"

Aku mengamuk dan melempari Cipta lumpur-lumpur di bawah tubuhnya dengan sadis, tanpa ampun, hingga seragam Cipta turut kotor dan lemparan lumpur terakhir mengenai wajahnya sampai ia jatuh terduduk. Kini seragam kami sama-sama penuh lumpur dan bau kotoran kerbau.

Barangkali Cipta teringat akan ibunya, lalu membayangkan akan semarah apa ibunya mendapati ia pulang dengan baju sekotor tahi kerbau itu sendiri. Sebagai akibatnya, ia ikut marah dan turut melempariku dengan lumpur baru. Melempari kepalaku sampai sehelai rumput padi ikut menancap di sela-sela rambutku.

Mari Jangan Saling Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang