Persembahan

5 0 0
                                    

Andika benar – benar tidak habis pikir. Ia paham bahwa ia adalah seorang introvert dan penyendiri. Oleh karena itulah temannya sedikit. Di gereja ini, mungkin hanya Robert dan Cendanalah temannya. Dan Robert sedang berada di sampingnya di kebaktian saat ini.

"Bert, aku benar – benar tidak mengerti."

"Hush, sebentar, aku sedang menyiapkan kolekte."

"Bert, aku tidak mengerti."

Sekali lagi Robert menjawab sebentar. Usai memberikan kolekte, barulah ia meladeni Andika. Robert tahu bahwa Andika memang seorang yang pemikir, dan penuh dengan keresahan. Perkataan berikutnya pasti berupa sebuah komplain. Robert benar.

"Untuk apa sebenarnya kita memberikan kolekte ya, jika hanya dipakai untuk gaji pendeta saja? Bukannya lebih baik diberikan kepada mereka yang membutuhkan? Misalnya, anak jalanan dan fakir miskin. Atau, sumbangkan ke panti asuhan dan panti jompo."

Robert tersenyum menyindir, "Jadi menurutmu, pendeta tidak boleh bergaji, begitu?"

"Bukan begitu. Namun menurutku sumbangsih pendeta bagi kualitas kehidupan kita tidaklah besar. Hanya berdoa, berdoa, dan berdoa. Lalu berkotbah. Aku pun bisa melakukan itu semua."

"Kalau kau bisa berkotbah maka gantikanlah beliau di depan altar sana. Gih."

"Kau paham maksudku, sobat. Maksudku, bolehlah pendeta digaji dari persembahan kita, hanya saja proporsinya harus diperhatikan. Jangan besar – besar amat."

"Ya, memang seperti itu, Andika tampan. Persembahan kita memang tidak digunakan sepenuhnya untuk gaji pendeta. Ada untuk pembangunan gereja, ada juga untuk misi penginjilan, lalu untuk sumbangan kepada yang tidak mampu."

Andika menatap Robert, "Aku baru tahu itu. Aku benar – benar baru tahu."

Robert sekali lagi tersenyum. "Perluaslah pengetahuanmu. Bergaul di kalangan gereja itu juga penting. Jangan hanya datang di hari Minggu, lalu pulang ketika kebaktian selesai. Ingat, gereja bukanlah gedung atau menaranya, melainkan orang – orangnya."

Andika mengangguk – angguk. Ia mendapatkan pelajaran berharga lagi hari ini. Namun Robert belum selesai dengan ucapannya.

"Lagipula, sob, menurutku tidak perlulah kita terlalu memusingkan akan ke mana persembahan kita. Tuhan menguji hati. Ingat dengan perumpamaan di Alkitab di mana seorang janda miskin memberikan uang lebih sedikit daripada seorang yang kaya raya?"

Andika mengangguk dan mengingat perumpamaan yang dikatakan Yesus.

"Siapa yang lebih diperkenan oleh Bapa di surga? Apakah persembahan orang kaya itu, atau sang janda miskin?"

Andika menjawab, "Sang janda miskin, karena ia memberikan setengah dari hartanya, sedangkan si orang kaya walaupun jumlah persembahannya besar, hanya sedikit dari kekayaannya."

Robert mengangguk. "Sekali lagi, Tuhan melihat hati. Sebenarnya, jumlah tidaklah penting, melainkan hati. Jika hati kita dipenuhi amarah dan berbeban dalam memberikan persembahan, Tuhan enggan berkenan. Contoh paling mudah adalah persembahan dari Kain. Kita tahu pada akhirnya Tuhan menolak persembahannya."

"Kau benar, sob. Sekarang aku bisa menghentikan kegusaranku. Ngomong – ngomong, sudah mau khotbah, kita berhenti dulu."

"Oke – oke."

Keduanya pun berhenti berbincang dan mendengarkan khotbah sang pendeta. Kebetulan temanya adalah tentang persembahan. Berkali – kali Robert menyenggol Andika dan tersenyum. Hampir semua ucapannya diulang oleh sang pendeta. Ada beberapa tambahan, seperti berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah, menurut perjanjian lama berikanlah sepersepuluh dari penghasilanmu. Lalu ketika memberikan sedekah, janganlah diketahui oleh tangan kiri apa yang diperbuat oleh tangan kananmu. Artinya, dalam memberikan persembahan, tidak perlu untuk memamer – mamerkan kepada khalayak umum.

Usai berkhotbah, berdoa, melakukan berkat penutup oleh sang pendeta, maka acara kebaktian pun selesai. Para jemaat bersaat teduh dan bangkit menuju pintu gereja untuk memberikan salam kepada pendeta dan penatua liturgis. Termasuk Andika dan Robert. Keduanya mengantri untuk menyalami pendeta. Ketika tiba giliran keduanya, tiba – tiba pendeta menyalami tangan Andika dengan erat. Matanya menatap sang pemuda dengan serius.

"Bagaimana keadaan ibumu? Apakah sudah pulang dari rumah sakit?"

"Sedang dalam taham pemulihan, pak pendeta. Mungkin seminggu lagi bisa pulang ke rumah."

"Syukurlah. Di usia seperti ibumu, sakit tulang pinggul akan sangat menyakitkan. Masih untung tidak terkena hernia. Besok kami tim penatua akan menjenguk ibumu sekali lagi. Sampai jumpa besok. Tuhan memberkati."

Andika melangkah dengan terbata – bata. Di belakangnya Robert usai menyalami pendeta mengikuti. Ia memegang pundak temannya itu.

"Pendeta mungkin tidak layak untuk mendapatkan gaji besar, tapi tentu ia mendapatkan berkat melimpah dari Tuhan usai ucapannya kepadamu."

Andika memandang Robert dengan mata berkaca – kaca. "Kuharap Tuhan mengampuni dosa perkataanku di dalam gereja tadi. Bagi Tuhanlah kemuliaan dan keagungan."

Robert mengangguk dan bersama Andika berjalan menuju pintu keluar. Keduanya masih berbincang – bincang tentang kebaikan sang pendeta.

Your Cloudiest Day is My Brightest DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang