The Widow of Zarephath

2 0 0
                                    

THE WIDOW OF ZAREPHATH

Kita akan mati hari ini.

Selena menatap Gio yang sedang bermain rumah kayu di lantai. Mungkinkah ia paham bahwa hanya ada satu genggam lagi tepung di dalam tempayan di rumah kita ini? Tidak, walaupun ia tahu, aku tidak akan memasang wajah menderita dan memelas. Tidak akan pernah.

Selena mengusap wajahnya, walaupun tidak ada air mata mengalir dari matanya. Gio melihat hal ini. Ia meninggalkan mainannya, dan menyentuh kaki ibunya.

"Mah, Gio sepertinya tidak lapar sore ini. Mama saja yang makan roti malam ini. Gio besok pagi saja. Mungkin paman Hornes sudah datang dari Sidon besok pagi. Kita bisa bersenang – senang besok pagi."

Dan pada saat itulah justru air mata mulai mengalir di pipinya. Selena memaksa untuk mengembangkan senyum.

"Tidak, sayang, tidak. Justru mama yang tidak lapar sore ini. Kamu tunggu di sini, ya, sayang, mama ingin keluar mengambil minyak dalam buli – buli, lalu akan membuatkan kamu roti kesukaan yang biasa kamu santap. Tunggu, ya."

Tanpa menunggu reaksi Gio, Selena segera bangkit dan berjalan keluar menuju pintu. Sebelum mencapai pintu, Gio menyusulnya. Ia memeluk Selena dari belakang.

"Aku sayang mama."

"Mama juga, Gio. Sekarang, masuklah dan bermainlah. Jangan lupa berdoa kepada dewa agar ia mengasihani hidup kita."

Selena keluar dan menutup pintu. Ia akan mengambil minyak di dalam buli – buli yang berada di gudang bawah tanah, tepat di belakang rumahnya. Juga akan mengambil beberapa kayu untuk pembakaran. Sebelum menuju ke sana, ia melempar pandang ke sekeliling. Tidak ada pemandangan hijau. Pada dewa sudah menutup langit dan awan, sehingga hujan sudah tidak turun selama tiga setengah tahun. Yang ada hanya pemandangan pohon gersang dan tanah pecah.

Kelaparan terjadi di mana – mana. Air tidak mengalir. Kematian merebak layaknya serangan hama di ladang. Selena mendengar keadaan orang Israel di selatan lebih parah. Namun ia tidak peduli. Pada saat ini yang ada di pikirannya adalah membuat roti terakhir, baginya dan anaknya, lalu pergi menuju dunia orang mati.

Wahai Tuhan, jika engkau ada, biarlah aku dan anakku menikmati roti terakhir dari hasil olahanku ini.

Ia masih sibuk dengan pikirannya ketika ia sadar bahwa ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Tangannya sudah mengangkat papan menuju gudang bahwa tanah, lalu diurungkannya. Suara ini suara orang tua. Ia berbalik dan mendapatkan seorang tua yang berpakaian lusuh dan tidak terawat. Aku harus berhati – hati. Mungkin ia adalah orang yang sakit jiwa dan tidak waras.

Sebaliknya, perkataannya benar – benar berwibawa dan menenangkan.

"Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum."

Tidak tahukah ia bahwa aku dan anakku berencana akan mati sesaat lagi? Dan persediaan air minumku tinggal sedikit. Namun, sepertinya orang ini pun sudah kelaparan dan hendak mati. Mungkin ia lebih putus asa. Lebih baik kuturuti permintaannya.

Selena mengangguk dan mengambil kendi yang berada di gudang bawah tanah, yang tadinya diperuntukkan baginya dan anaknya. Orang tua itu pun minum dengan puas. Seusai minum, Selena mendengar kata – kata yang sepertinya tidak akan pernah ia percayai akan didengarnya.

"Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti."

Aku tidak tahan lagi. "Demi Tuhan, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli – buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah memakannya, maka kami akan mati."

Orang tua itu hanya tersenyum dan berkata, "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu."

Orang itu lalu berdiri dan mengembangkan tangannya, seperti sedang hendak memberi berkat. "Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli – buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi."

Selena hanya terpaku mendengar ucapan orang tua itu. Di dalam hatinya ia bertanya, siapakah dirimu sebenarnya? Apakah seorang Nabi Tuhan? Tuhan, Allah Israel? Di sini kami menyembah Dewa Phoenicia, Dewa Baal.

Lalu apakah benar perkataannya itu? Bahwa Tuhan, Allah Israel, akan membuat tepung dalam tempayan dan minyak dalam buli – buliku tidak berkekurangan sampai hujan tiba nanti? Apakah hujan akan muncul lagi nanti? Ah.

Ada banyak pertanyaan dalam benak Selena sehingga orang tua itu mengatakan dua tiga patah kata yang membuat Selena mengikuti ucapannya.

"Namaku Elia. Berimanlah dan lakukanlah."

Selena pun mematuhi ucapannya dan mengumpulkan beberapa kayu api, lalu mengambil minyak dalam buli – buli di gudang bawah tanah. Ia kembali ke rumah dengan tergesa – gesa, tidak memedulikan Gio yang keheranan di pinggir ruangan, lalu berdiri di depan tungku olahan.

Ia mengambil segenggam terakhir tepung yang ia miliki, memejamkan mata, lalu memutuskan untuk beriman kepada Tuhan. Tepung itu pun jatuh ke dalam tungku olahan, dan ia mengolahnya menjadi sebuah roti bundar. Setelah jadi, ia membawanya ke belakang, menuju sang Nabi Tuhan.

Elia duduk di bawah pohon dan tersenyum. Ia memakan sembari bersenandung. Selena bernapas dengan terburu – buru. Ingin sekali ia menagih janji sang nabi bahwa Tuhan akan mencukupkan kebutuhannya. Tapi tidak ada perkataan keluar dari mulutnya. Sampai seseorang memanggilnya dengan suara ketus.

"Ma! Ma! Tadi bukannya Gio melihat mama memakai semua tepung dalam tempayan untuk mengolah roti itu, bukan? Mengapa sekarang isinya penuh? Lihat ini, ma!"

Selena menoleh dan melihat Gio dengan susah payah membawa tempayan yang telah penuh dengan tepung. Ia terkejut dan terharu. Ternyata orang di hadapannya ini benar – benar seorang nabi Tuhan. Sang ibu tersungkur di dan berlutut di tanah berdebu. Sementara itu Gio memerhatikan pintu gudang bawah tanah yang terbuka.

"Ma! Lihat, bukankah kita seharusnya hanya punya tiga atau empat buli – buli? Lalu mengapa sekarang jumlahnya ada sepuluh? Ah, tidak, mungkin dua puluh! Sebentar, coba Gio ke bawah dan hitung dulu."

Air mata mengucur dari wajah Selena. Ia tidak berani memandang kepada Elia, sang Nabi Tuhan. Elia, yang telah menghabiskan roti bundarnya, bangkit dan membantu Selena berdiri.

"Hari ini imanmu sudah menyelamatkanmu. Berterimakasihlah kepada Tuhan Allah. Ucapkan puji – pujian dan syukur kepada – Nya."

Ia pun melangkah pergi meninggalkan Selena dan Gio yang masih sibuk di gudang bawah tanah. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Selena untuk menghentikan tangisnya. Seusai itu, ia berlutut dan menyembah.

"Tuhan Allah benar – benar ada. Ia memerhatikan umat – Nya yang berharap kepada – Nya. Bagi – Nyalah segalah kemuliaan dan ucapan syukur!"

Your Cloudiest Day is My Brightest DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang