Sang Pelayan Kebaikan

1 0 0
                                    

SANG PELAYAN KEBAIKAN

Cindy bergegas menuju meja yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggan kafe. Dengan cekatan ia membersihkan tumpahan minuman, sisa makanan, dan piring yang berantakan. Namun terdengar celotehan tidak menyenangkan.

"Sudahlah, Cindy, tidak perlu berusaha lebih keras. Ini malam minggu, lho. Kamu tidak lihat kafe ini? Kosong melompong. Pelanggannya hanya mereka yang baru saja keluar. Tidak perlu rajin – rajin amat."

Cindy mengabaikan orang yang berkata di belakangnya itu. Bahkan ia sama sekali tidak menoleh. Tetapi orang itu terus merongrongnya dengan sindiran. Tadinya bersender di tembok kafe, ia kini berjalan pelan ke sebelah Cindy.

"Mau bersemangat menjadi pelayan of the week? Jangan repot – repot, toh pelayannya hanya kita berdua. Ditambah koki seorang di belakang sana. Bahkan manajer kafenya saja enggan menampilkan batang hidungnya."

Kali ini Cindy menggubrisnya, "Tidakkah kau berterima kasih karena masih memiliki pekerjaan, Johnny?"

Johnny menaikkan alis dan tersenyum licik. "Kau tahu sendiri bahwa ini hanya pekerjaan sampinganku. Aku adalah seorang agen asuransi. Aku mengambil pekerjaan ini karena dekat dengan rumah. Huh, apa pulang sekarang saja ya? Toh tidak ada pengunjung juga."

Cindy terdiam mendengarkan ucapan Johnny. Ia kembali membereskan meja. Ucapannya itu benar. Bagi Johnny, ini hanya sampingan belaka. Sedangkan baginya ini adalah pekerjaan satu – satunya.

"Jangan lupa untuk merapikan kaki meja yang bengkok itu, Cindy. Aku mau keluar dulu, mau merokok." ujar Johnny sambil melangkah keluar kafe.

Cindy hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Johnny. Tentunya perkataan tentang kaki meja itu hanya sarkas belaka. Namun, seperti itulah nasib kafe ini, pikir Cindy. Tidak besar, dan tidak terkenal. Pelanggannya hanya sedikit. Terletak di pinggiran kota, pamor kafe ini kalah dari kafe – kafe kekinian yang berada di tengah kota, nyaman menjadi tempat nongkrong.

Bahkan akhir pekan pun sepi. Mungkin karena menunya yang itu – itu saja, pikir Cindy. Hanya beberapa orang yang menjadi pelanggan tetap. Yang baru saja meninggalkan kafe, dan seorang bapak tua berjenggot dan berkaca mata hitam, selalu datang setiap jam 8 malam.

Cindy menengok jam. Sudah hampir jam 8 malam. Dan tepat pada saat itu, pintu kafe terbuka. Bapak – bapak berjenggot dan berkaca mata hitam itu memasuki ruangan. Ia sekarang mengenakan jaket army lusuh dan celana pendek. Cindy tersenyum. Dengan wajah ramah, ia mempersilakan sang pelanggan untuk duduk di tempatnya biasa bersantap.

Cindy menawarkan buku menu namun dalam hati ia sudah tahu apa yang akan dipesan oleh bapak – bapak ini. Sepotong roti panggang cokelat, ditemani kopi dalgona.

"Roti panggang cokelat, juga dalgona satu."

Cindy tersenyum dan mengangguk, membawa pesanan kepada koki. Untuk memberikan kesan positif, ia membersih – bersihkan meja lainnya. Sang bapak bertanya.

"Orang yang sedang merokok, di luar sana, saya lihat ia mengenakan seragam kafe ini. Apakah ia adalah temanmu?"

Cindy terkejut mendengar pertanyaan ini, namun ia segera menjawab. "Betul, pak."

"Lalu mengapa ia tidak berada di dalam dan melayani pembeli?"

"Ia sedang beristirahat, pak. Pengunjung kafe ini lumayan ramai di akhir pekan ini."

Sang bapak melihat sekeliling namun ia mengangguk – angguk. Aku harus melindungi kafe dan memberikan kesan positif, itulah yang berada dalam benak Cindy. Ia sudah akan beranjak dan mengambil pesanan, sebelum sang bapak bertanya lagi.

"Katakanlah, nona, apakah puding stroberi karamel ini cukup lezat untuk dinikmati sebagai penutup?"

Cindy berbalik dan melihat bahwa ia sudah membuka kembali buku menunya. Cindy memuji – muji puding stroberi itu, membuat sang pelanggan yakin untuk memesannya. Sebelum Cindy berbalik, ia menurunkan kaca mata hitamnya.

Your Cloudiest Day is My Brightest DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang