Skenario Gagal

8 0 0
                                    

Agung bergeming. Ia sudah terlalu lelah. Ia duduk di kursi ruang tamu. Di depannya, rekan – rekannya sudah bersiap untuk pulang. Hanya Guntur yang berbalik dan bertanya kepada Agung. Bahkan Guntur pun sudah memakai jaket tebalnya, juga menenteng helm motornya. Namun, melihat Agung putus asa, Guntur pun duduk di sebelahnya.

"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan, Agung. Hal ini terjadi setiap hari. Bambang memang director yang strict. Ia menginginkan naskahnya sempurna."

Agung mengeluh, "Sudah dua minggu naskah direvisi, namun director konyol itu masih belum puas juga."

"Hus!" ujar Guntur, sambil menoleh ke samping dan ke belakang, memastikan tidak ada yang mendengar, "Percayalah, Bambang memang ingin yang terbaik. Nah, sekarang, mari kita pulang."

"Sebentar lagi, Guntur, aku masih ingin mendinginkan diri. Lagipula, shooting hari ini gagal karena naskah dariku belum siap. Sia – sia saja merental rumah besar ini hari ini. Kegagalan hari ini pun adalah kesalahanku."

Guntur membuang napas panjang. Nampaknya tidak ada lagi yang ia bisa lakukan untuk menghibur sahabatnya. "Ya, sudah. Aku benar – benar mau pulang. Sudah malam. Besok Bambang mungkin akan marah – marah lagi. Lihat saja, lighting ku pun bakal kena recok."

Agung pun melambai kepada Guntur ketika ia mohon diri. Kini tinggallah ia seorang diri di ruang tamu. Ia mengenang hari – hari ke belakang. Sebelum memulai projek film FTV "Senapati Hati", ia sudah diwanti – wanti oleh para sahabat – sahabatnya, para penulis skenario, bahwa directornya terkenal sebagai seorang yang perfeksionis. Bambang Syahduga namanya. Ia pendatang baru, dan karya – karya yang terkenalnya baru satu dua buah. Namun, bagi Agung, ini adalah sebuah tantangan.

Aku akan membuat naskah FTV yang lain daripada yang lain, tekadnya ketika rekrutmen proyek dilakukan. Ketika diwawancara oleh Bambang sendiri, Agung menyatakan mental bajanya. Aku menginginkan tantangan, jenis skenario yang tidak mainstream seperti yang terjadi sekarang ini, cinta dan cinta melulu. Seperti itulah perkataannya dahulu. Bambang menyukainya. Ia memintaku bergabung ke dalam timnya.

Maka mulailah kami berdiskusi. Sebenarnya temanya masih tentang cinta. Namun, dibandingkan dengan menjual kesedihan pura – pura yang konyol, Bambang ingin menemukan kesedihan yang sebenarnya. Maka dibuatlah karakter yang tidak memiliki ayah, ibu, dan saudara. Ya, karakter sebatang kara. Sampai di sini aku masih memiliki ide tentang apa yang akan terjadi dengan tokoh utamaku.

Namun, Bambang masih memiliki ide lain. Karakter ini harus memiliki cacat fisik, entah tangan atau kakinya. Bahkan jika perlu, dibuat tidak mampu melihat sekalian. Aku mulai merasa kelewatan. Namun, belum selesai. Karakter ini, katanya, tinggal di bawah jembatan layang, tanpa adanya akses air bersih dan udaranya bercampur dengan sampah. Sudah kelewatan, pikirku. Ini sudah tidak manusiawi lagi. Namun aku sudah terlanjur tanda tangan kontrak.

Maka terjadilah. Sudah dua minggu dan naskah masih belum diapprove. Produksi sudah berjalan dan scene harusnya sudah ditake. Namun belum ada. Karena naskahnya belum siap. Aku kena marah besar hari ini. Sebagai pemimpin tim skenario, akulah yang bertanggung jawab atas kerusakan besar hari ini. Menyewa rumah Paminangan, yang akan dijadikan sebagai rumah sang antagonis di FTV ini, adalah sebuah hal yang sangat mahal dan menghabiskan uang. Dan semuanya sia – sia. Wajar jika bos marah besar.

Huff. Aku membuang napas panjang, lalu menatap ke depan. Ada sebuah TV flatscreen yang lumayan besar, juga patung – patung kayu di sampingnya sebagai ornamen. Wajar saja, rumah orang kaya, pikirku. Lalu aku melihat ke atas. Ada lambang salib. Ya, pemilik rumah ini adalah seorang Kristiani.

Aku pun orang Kristen, pikirku. Biasanya aku relijius. Namun, di tengah kesibukan belakangan ini, aku jarang mengingat hal – hal rohani. Bahkan ayat – ayat Alkitab sekali pun, yang biasanya aku senandungkan, tidak lagi muncul di kepalaku. Sekarang pula aku sedang kalut dan tertekan, aku tidak merasa ada hadirat Tuhan menyertaiku. Pelan – pelan aku bertanya dalam hati, apakah Tuhan berkenan atas pekerjaanku? Itulah mengapa sebabnya aku tidak berhasil?

Aku lama memandang salib sebelum akhirnya disadarkan dengan teguran seseorang. Di seberang sudah ada seseorang duduk berjongkok di atas kursi, dengan mengenakan sarung. Ia adalah penjaga rumah besar ini. Namanya Pak Suryanta.

"Masih melamun aja, mas?"

"Ah, iya Pak Surya, aku masih beristirahat. Hari ini sangat hectic. Oh, iya, Pak Surya mau beres – beres? Kalau begitu, saya harus segera pulang."

"Ah, tidak apa – apa, mas. Santai saja. Malam masih panjang."

Pak Suryanta pun mengisap rokoknya. Ia sempat menawarkan rokoknya, namun karena aku tidak merokok, aku menolak dengan sopan. Kami berdua pun berdiam terbisu di ruang tamu. Beberapa saat kemudian ia berkata.

"Saya mendengarnya, loh mas, tadi siang di ruangan sebelah. Ada yang membentak – bentak. Itu pak bos?"

Aku memandang Pak Suryanta dan mengangguk pelan, "Iya, itu Pak Bambang. Dia tidak puas atas kinerja kami hari ini."

"Sampai sore pun ia masih berteriak – teriak."

"Memang seperti itulah tabiatnya. Semua itu untuk produksi film yang lebih baik."

"Mas boleh bilang saya orang yang suka mengintip dan kepo. Tapi saya sempat memerhatikan mas dan teman – teman mas. Sepanjang hari berada di dalam ruangan dan terlihat tegang sekali. Sepertinya mas sedang tertekan karena pekerjaan ini."

Aku tidak menjawab atas pertanyaan ini dan hanya terdiam. Memang benar, aku tertekan. Bahkan kini air mataku mulai menitik di ujung pelupuk. Aku terharu karena ada yang setuju bahwa aku telah bekerja dan mengerahkan kemampuan terbaikku.

"Pak Surya setuju bahwa saya sudah bekerja dengan sebaik – baiknya?"

"Tentu saja, mas. Ketika istirahat siang pun masnya tidak keluar ruangan dan lanjut bekerja. Begitu pula dengan teman – teman mas. Pak Bambang saja mengambil waktu istirahat dan menyantap mie kocok buatan saya."

Kini air mata mulai mengalir dari mataku, membasahi pelupuk dan pipiku. Pak Suryanta lanjut berkata.

"Saya sebenarnya bukan orang Kristen, mas. Tapi bos saya, pemilik rumah ini, sering mengucapkan petuah – petuah yang bijaksana. Mungkin diambil dari kitab suci atau darimana. Tapi sedari tadi perkataan ini terus terngiang – ngiang di kepala saya. Mungkin harus diucapkan kepada mas. Perkataannya seperti ini. Marilah kepadaKu yang letih lesu dan berbeban berat, aku akan memberikan kelegaan kepadamu."

Pada saat ini aku sudah tidak peduli dengan air mata yang menuruni wajahku. Ya tentu, aku ingat dengan ayat itu. Ada di Matius. Dan Pak Suryanta mengatakan ayat itu bukan karena kebetulan. Tuhan memerhatikanku. Tuhan menyertaiku di tengah semua kepiluan dan tekanan berat ini. Dan Ia memintaku untuk datang kepadaNya. Ia memintaku untuk masuk ke hadiratNya. Terima kasih, oh Tuhanku.

Aku menyeka air mataku. Dengan terisak aku berterima kasih kepada Pak Suryanta. Aku ingin segera pulang dan mengangkat penyembahan. Pak Suryanta tersenyum.

"Bagaimana mas, sudah lega? Masnya kok buru – buru pulang? Rokok saya ini masih setengah lagi mas, hehehe."

"Tidak apa – apa mas. Saya ingin bersiap – siap untuk besok. Besok saya bakal kena marah si bos lagi. Hahaha."

"Syukurlah." ujar Pak Suryanta.

Aku bersiap untuk pulang. Di dalam hatiku aku bersenandung kidung pujian. Kepiluan hatiku telah reda. Aku bersiap untuk menyambut tantangan di hari depan. Lagipula, petuah bijak yang dikatakan Pak Suryanta sebelumnya masih ada lanjutannya. Lanjutannya seperti ini.

Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan.

Ya, Tuhan sendiri mengatakan untuk bersiap diri menyambut tantangan ke depannya. Ia tidak akan memberikan tantangan yang melebihi kekuatan kita. Ia adalah Allah yang Mahapengasih dan Mahapenyayang. Jika kita belajar menerima 'beban' dari Tuhan, jiwa kita akan mendapat ketenangan.

Aku berada di parkiran ketika memikirkan ini semua. Hatiku kini telah berbalik. Aku akan datang esok hari dengan sukacita. Aku berterima kasih. Kunyalakan motorku dan beranjak ke atasnya. Esok hari aku akan berusaha sebaik – baiknya. 

Selamat malam. 

Your Cloudiest Day is My Brightest DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang