EP 49 - Stupid

4.3K 553 27
                                    

Dalam konteks manusia, core memory dapat terdiri dari berbagai jenis pengalaman atau ingatan yang membentuk inti dari identitas seseorang. Ini bisa termasuk kenangan penting, trauma, kegembiraan, atau bahkan peristiwa yang memalukan. Semua ini membentuk inti dari siapa kita dan bagaimana kita melihat diri kita sendiri serta dunia di sekitar kita. Bagi Nadia, hal yang baru saja ia lalui tadi sudah jelas akan tersimpan dalam core memory-nya sebagai salah satu peristiwa paling memalukan dalam hidupnya.

Ia menatap wajahnya di cermin wastafel kamar mandi rumah itu. Ia sengaja meninggalkan Tobby sendiri di ruangan tadi. Suasana hatinya begitu buruk setelah mendengar balasan yang Tobby katakan padanya. Ia menyesal karena telah melontarkan pertanyaan itu. Pada awalnya ia hanya bermaksud untuk bergurau, ia tidak menyangka Tobby akan terlihat begitu serius ketika menanggapinya.

"Tolol.. lo tolol." Katanya pada dirinya sendiri.

Kenapa? takut ya kalau nyokap beneran suka sama gue dan nyuruh lo untuk cepet nikahin gue?

Yes. It'll make me uncomfortable.

"You make him uncomfortable, Nadia." Gumamnya. "Oh God.. Should I just go home? I think I should just go home.." Katanya. "Argh.. It's embarrassing.."

Ia semakin yakin Tobby jelas tidak pernah menaruh perasaan spesial apapun untuknya, lebih parah lagi ia membuat Tobby tidak nyaman dengan usahanya mengakrabkan diri dengan keluarganya. Apa yang mereka lakukan di bukit itu tidak berarti apa-apa. Tidak berarti apa-apa. Nadia mengulanginya seakan itu sebuah mantra yang harus ia lontarkan untuk tetap waras.

Tok tok tok..

Nadia menoleh ke arah pintu.

Deg. Siapa yang menyusulnya ke sini? Tobby?

"Nadia.. sayang, kamu di kamar mandi?" Tanya Ibu Tobby di luar pintu kamar mandi.

"Ah iya tante.. ." Katanya menutup keran wastafel dan mengecek wajahnya sebelum keluar dari kamar mandi untuk menghadapi semuanya.

"Kamarnya sudah siap. Kalau kamu mau mandi dan ganti baju udah disiapkan juga di dalam kamar." Katanya.

Pada saat itu, Nadia semakin yakin bahwa menginap di rumah Tobby tak lagi menjadi sebuah pilihan. Ia harus mengakhiri semuanya dengan segera.

"Baik, Tante," kata Nadia. Ibu Tobby begitu hangat padanya, hingga Nadia merasa seperti dianggap sebagai bagian dari keluarga itu. Itu sungguh menyentuh hati Nadia. Namun di balik sikap ramah dan dukungan dari keluarga besar Tobby yang begitu menggembirakan, serta harapan akan pernikahan yang terus menerus diungkapkan, ada ketakutan yang menghantuinya. Semuanya terasa terlalu nyata. Kata-kata Tobby tadi tak akan terasa sesakit ini jika Nadia tak terjebak dalam sandiwara mereka.

"Ayo, biar Bunda antar ke depan.." Kata Ibu Tobby.

"Hmmm.. Tante.. sepertinya malam ini aku gak jadi bisa menginap di sini dan harus langsung pulang." Katanya. Ia bisa melihat perubahan raut wajah Ibu Tobby ketika mendengarnya. Namun Ia yakin ia harus melakukan ini sebelum semuanya terlambat.

"Hah? Oh ya? Kenapa Nadia?"

"Tadi dapat kabar kalau aku harus pergi dinas ke luar kota besok pagi. Maafin aku tante, lain kali Nadia akan niatin untuk menginap kalau kesini lagi." Katanya berbohong. Sepertinya tidak akan ada lagi lain kali.

"Yah.. Bunda kecewa sih tapi ya mau bagaimana lagi, masalah kerjaan sih ya." Katanya kemudian menggandeng tangannya. "Tobby sudah tahu?" Tanyanya.

"Belum tante, ini mau aku kasih tahu sekarang." Katanya.

Kemudian ia melihat Tobby telah mengenakan pakaian santainya. Mata mereka kembali bertemu, ada rasa canggung yang kemudian muncul di antara mereka. Nadia mengikuti mata Tobby yang sekilas menatap gandengan tangan Ibunya padanya. Menyadari hal itu Nadia mulai memindahkan tangannya dan merangkul bahu Ibu Tobby sebelum benar-benar melepaskannya.

"Dek, kata Nadia dia gak bisa nginep dan harus pulang malam ini karena ada dinas besok pagi."

"Oh ya?" Tanya Tobby padanya terdengar benar-benar terkejut.

"Hm." Angguk Nadia. "Baru dapet kabar kalau besok aku harus pagi dinas ke luar kota. Bisa berangkat besok malem sih kalau naik pesawat, tapi kayaknya mau naik kereta aja besok pagi." Jawab Nadia sekilas menatap Tobby kemudian memalingkan wajahnya, entah mengapa takut jika kebohongannya terdeteksi. "Tapi kalau hm.. kamu mau tinggal di sini gak apa-apa, kayaknya kamu masih gak fit untuk nyetir ke Jakarta. biar.. aku beli tiket kereta atau mini bus aja dari Bandung."

"No no.. I'll take you home." Katanya.

"Beneran, gak usah maksain Tob.."

"Ada Pak Amin yang bisa anter ke Bandung." Tukas ibu Tobby memotong perdebatan tak berujung mereka.

"Ah, thank you tante." Tukasnya. Ia kemudian menatap Ibu Tobby dan mencoba menyunggingkan senyumnya padanya. "Tapi aku diantar sampai stasiun aja gak apa-apa kok."

"Wah gak akan tante biarkan itu, Pak Amin antar sampai Jakarta ya." Tukas Ibu Tobby.

"Aku ikut pulang juga ya Bun, ke Jakarta bareng Nadia." Tukas Tobby. Nadia kali itu pasrah meskipun sebenarnya enggan untuk berada di dekat Tobby selama perjalanan mereka. "Aku ganti baju dulu ya Nad." Tukas Tobby padanya yang ia balas dengan anggukan sekilas.

"Maafin aku ya, Tante." Katanya lagi bersungguh-sungguh.

"Gak apa sayang, bunda tahu kamu pasti sibuk.." Tukas Ibu Tobby padanya lagi.

"Makasih banyak ya Tante.." tukas Nadia tersenyum pada ibu Tobby sebelum menatap senyum hangatnya sebagai balasan.

***

Tobby sudah menunggu di dalam mobil ketika dirinya mencoba berpamintan pada keluarga besar Tobby untuk terakhir kalinya. Ia merasa getir menyelinap di setiap kata yang terucap. Mungkin, pikirnya, ini akan menjadi perpisahan terakhir dengan orang-orang baik ini.

Ia menatap satu per satu wajah ramah yang telah menyambutnya sepanjang hari, menghargai setiap senyum terakhir mereka. Pandangannya jatuh pada Ibu Tobby, yang tersenyum padanya dengan hangat. Nadia mendekat, menggenggam tangannya dengan lembut. "Terima kasih," ucapnya, rasa syukur memenuhi hatinya atas keramahan yang diterima, meski sudah tidak terhitung lagi berapa kali. Ia kembali meminta maaf karena harus pergi begitu cepat, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Tobby yang dikemudikan oleh Pak Amin.

Setelah mobil mereka melaju, Nadia sengaja memejamkan mata, berusaha menenangkan diri nya, seolah tidak peduli dengan kehadiran Tobby di sisinya, meskipun sebenarnya ia sama sekali tidak mengantuk.

"Nad.." Kata Tobby mencoba memulai percakapan dengannya.

"I'm really tired, Tob. I just want to sleep before my trip tomorrow morning," ucapnya dengan suara dingin. Padahal tidak ada perjalanan besok pagi, tapi saat ini dia tidak ingin mendengar satu kata pun darinya. Dia begitu lelah dengan segalanya. Merasa malu pada dirinya sendiri karena sempat mengharapkan sesuatu dari seorang Tobby.

Malam itu, sesuai permintaannya, Tobby tidak mengeluarkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan mereka, dan Pak Amin tampaknya mengerti. Kesunyian menghiasi dua setengah jam perjalanan mereka menuju Jakarta. Nadia tidak mengucapkan selamat tinggal kepada Tobby begitu mereka tiba di depan rumahnya. Bahkan, ia langsung berjalan menuju kamar tidurnya tanpa memedulikan untuk mengganti pakaian atau mencuci wajahnya. Ia memejamkan mata di atas kasurnya, dan tanpa disadarinya, air mata mulai mengalir dari sudut matanya.

"Stupid."

Ternyata ia benar-benar menyesali keputusannya untuk pergi menemui keluarga Tobby. Sementara malam berlalu dalam kesunyian, Nadia tersadar bahwa keputusannya membawa dirinya pada konfirmasi yang tak terduga: perasaan yang tumbuh dalam diam di hatinya. Dalam kesunyian itu, hatinya masih berdegup kencang, ia menyadari bahwa kini, ia harus menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. Bahwa dirinya telah jatuh hati pada Tobby, begitu dalam.

***

Terima kasih telah menunggu dan membaca episode selanjutnya dari Impossible Attraction..

Thank you for all the loves and supports..

See you again later..

Love,

Sadddh.

IMPOSSIBLE ATTRACTIONWhere stories live. Discover now