EP 46 - Indeed, Pretty

852 87 2
                                    


Setelah sampai dan membagikan makanan kepada kordinator kebun yang akan membagikannya lagi pada seluruh pemetik daun teh yang masih bekerja sore ini, Tobby membawanya mengelilingi kebun teh yang luas itu.

"Jadi ini perkebunan teh yang membentang sepanjang mata gue memandang punya lo?"

"Lebih tepatnya punya keluarga besar gue."

"So cool."

Tobby menatap Nadia yang terlihat kegirangan. Matahari sudah mulai redup, cahaya kekuningan senja sudah mulai muncul menghiasi langit sore ini.

"The sky is pretty." Lanjutnya sambil tersenyum menatap langit.

"Indeed, pretty." Timpal Tobby tanpa memalingkan wajahnya dari apa yang sejak tadi dipandanginya.

"Jadi siapa yang mengurus manajemen perkebunan ini?" Tanya Nadia tidak sadar sama sekali kini sedang dipandangi dengan khusyuknya.

"Bokap masih in charge sih sekarang, dia lagi kaderisasi penerusnya." Tobby akhirnya mengalihkan matanya.

"Kak Kelvin sama lo lagi dikaderisasi?"

"Bukan kita, sayangnya anak pertamanya lebih milih jadi dokter ketimbang pebisnis teh, dan anak bungsunya yang kuliah bisnis malah lebih suka masak ketimbang ngurusin bisnis keluarga. Jadi kewajiban itu diturunkan ke sepupu kita, Okan." Jawab Tobby.

"Dan bokap lo fine dengan itu?"

"Kayaknya gue beruntung punya bokap kayak ayah gue yang gak pernah memaksakan kehendak pribadinya untuk anak-anaknya."

"Iya, lo sangat beruntung." Benar, tidak semua orang seberuntung dirinya, memiliki keluarga yang masih lengkap dan harmonis.

Mereka kemudian sampai di puncak bukit perkebunan teh tersebut, Tobby sedikit membantu Nadia ketika ia harus melalui jalur dengan tekstur tanah yang cukup curam baginya. Anehnya tangan mereka hingga kini masih bertaut, tidak ada yang benar-benar berinisiatif untuk melepaskan. Tidak sebelum Nadia melepaskan tangannya karena merasa perlu untuk mengikat rambutnya. Hal yang sepertinya gadis itu sesali karena udara dingin Bandung Utara di sore hari menuju malam itu membuat Nadia terlihat sesekali menggigil kedinginan. Hal yang membuat hati Tobby entah mengapa tak tega.

"Lo dingin?" Tanyanya.

"Gak sih."

"Yakin?"

"Yakin." Tobby hanya bisa mengangguk dan membiarkannya walaupun sesekali menoleh khawatir.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat lampu-lampu gedung dan perumahan di kota Bandung yang kini mulai berkelip ramai. Sebuah pemandangan yang selalu dirindukannya ketika lama tak pulang ke Bandung karena kesibukan. "Kalau malem pemandangannya bakal cantik banget di sini, tapi dingin banget pasti kalau kita nunggu sampai malam." Tukas Tobby.

"Wah masa? Gak apa-apa sih gue, masih kuat kok kalau sampai malam." Tobby sudah begitu familiar dengan sifat Nadia yang seperti ini. Perjalanannya ke New Zealand mengajarkannya untuk tidak pernah berdebat mengenai hal ini dan mencari jalan lain untuk membuat Nadia tidak merasa diremehkan.

Tobby kemudian hanya mengangguk-angguk lalu merespon "Gue yakin lo pasti masi kuat dan gak akan menggigil." Walaupun sengaja memberikan penekanan dalam kata-katanya.

Nadia sepertinya menyadari pesan dibalik ucapannya tadi karena kini ia menatapnya sengit. "Hmm.. but i might have a way better place for us.. let's go.." Tukas Tobby kemudian menarik lengan Nadia dan menuntunnya ke sebuah tempat yang ia tahu akan melindungi mereka dari angin dingin Bandung Utara, namun membuat mereka tetap bisa menikmati pemandangan indah itu.

IMPOSSIBLE ATTRACTIONWhere stories live. Discover now